Bali Kembali Menggeliat

Akhir 2021 saya ke Bali dan terasa sekali sepinya pulau Dewata ini. Juli tahun ini saya kembali ke Bali dan mulai merasakan ada yang menggeliat di Bali.

Bulan Desember 2021 lalu saya dan Mamie ke Bali, maksudnya berlibur meski setiba di sana kami lebih banyak berdiam di kamar hotel saja dan tidak ke mana-mana. Dari sedikit tempat yang kami datangi, salah satunya adalah Legian. Kalian mungkin tahu bagaimana ramainya daerah itu, salah satu pusat keramaian di Bali. Apalagi waktu itu kami berkunjung ke Legian di hari Sabtu, malam Minggu. Bayangkan, malam Minggu, di bulan Desember menjelang akhir tahun. Idealnya, suasana Legian pasti akan sangat ramai.

Idealnya seperti itu kan? Legian, bukan hanya di malam Minggu yang ramai tapi hampir setiap malam. Menjelang malam suara musik jedag-jedug menghiasi sepanjang jalan. Orang-orang asing berlalu-lalang dengan beragam gaya pakaian mereka, mbak-mbak penjaga toko menawarkan dagangan dan merayu orang untuk mampir. Pokoknya suasana yang benar-benar hidup dan khas Bali.

Tapi tidak dengan saat itu. Desember di akhir tahun 2021.

Sepi

Legian sangat sepi. Beberapa toko tertutup, tidak ada aktivitas. Tidak banyak orang asing yang berlalu-lalang, dan bahkan jalanan lengang. Kendaraan hanya satu-dua yang lewat. Mbak-mbak penjaga toko terlihat lesu dan tidak bersemangat. Benar-benar seperti hidup enggan, mati pun tak mau.

Mungkin bukan hanya Legian yang sepi, tapi juga tempat-tempat lain. Seperti yang saya bilang, kami lebih banyak di kamar hotel saja dan tidak ke mana-mana. Tapi kalau Legian saja sesepi itu, maka mungkin tempat lain juga sama sepinya.

Kamar hotel yang kami sewa saat itupun juga tergolong sangat murah. Satu kamar villa dengan kolam renang pribadi, satu kamar tidur, kamar mandi yang besar, dan satu ruang keluarga ditambah dapur dan tempat makan saja harga per malamnya hanya Rp.500ribuan. Sangat murah untuk sebuah villa yang nyaman. Kata penjaga villanya, harga normal mereka sebenarnya Rp.800rban per malam, tapi karena sangat sepi jadi mereka memotong harga hampir setengahnya.

“Sudah beberapa bulan sepi pak, hampir tidak ada tamu. Baru belakangan ini mulai ada tamu, satu-dua,” kata penjaga villa itu. Saya lupa namanya.

Menggeliat

Awal Juli 2022, saya kembali lagi ke Bali. Kali ini bersama teman-teman yang lain dan urusan berbeda. Tahun 2022, pandemi COVID-19 mulai melandai. Tidak lagi semenakutkan dua tahun lalu, atau bahkan setahun lalu. Pemerintah sudah menerapkan aturan bebas dari masker di ruang terbuka, dan penerbangan tidak lagi mengharuskan tes antigen, khususnya buat yang sudah menjalani vaksin minimal dua kali.

“Yah syukurlah pak, sekarang sudah ramai lagi. Sudah banyak tamu,” kata supir bandara yang menjemput kami. “Sekarang mulai macet di mana-mana,” sambungnya lagi.

Macet jadi salah satu tanda hidupnya sebuah kota. Mobilitas yang tinggi dan padat memang jadi simbol adanya pergerakan warga, dan tentu saja adanya pergerakan ekonomi.

Bali mulai ramai lagi, orang-orang mulai berdatangan ke sana. Dari wisatawan lokal, sampai wisatawan mancanegara. Mulai penuh kembali, dan tentu saja mulai ramai kembali. Orang berseliweran di mana-mana, dan jalanan mulai macet.

Dalam kunjungan kali ini saya memang tidak sempat ke Legian seperti bulan Desember lalu. Tapi saya sempat ke daerah Canggu dan terasa betul keramaiannya. Mulai seperti Bali yang saya ingat. Musik jedag-jedug di mana-mana, orang asing berpakaian minim berseliweran, dan tentu saja jalanan yang ramai dan macet. Bahkan bukan di malam Minggu.

Bali kembali menggeliat.

Kembali

Harus diakui, Bali memang jadi salah satu provinsi di Indonesia yang paling merasakan dampak dari pandemi COVID-19. Ini karena pariwisata menjadi urat nadi kehidupan di Bali. Pendapatan dari sektor pariwisata Bali jadi terbesar di Indonesia, bahkan menyumbang 50% dari pendapatan pariwisata Indonesia sebesar US$20 miliar. Bisa dibayangkan seberapa besar sumbangan devisa Bali dari pariwisata kan?

Makanya ketika pandemi COVID-19 menerpa, warga dilarang berkumpul, bahkan pintu-pintu masuk-keluar juga ditutup, maka Bali langsung merasakan efeknya. Bahkan di akhir 2021 waktu saya ke sana pun, rasa sepi masih sangat terasa. Apalagi di tahun 2020 ketika pandemi sedang ada di puncak-puncaknya.

Saya rasa Bali benar-benar sepi dan mungkin mati suri waktu itu. Tidak ada wisatawan yang datang, dan tentu saja ekonomi berputar pelan sekali.

Sekarang, ketika pandemi COVID-19 sudah mulai melandai dan orang sudah mulai bisa hidup bersama pandemi, pelan-pelan Bali mulai kembali. Keramaian mulai tampak, kepadatan pun mulai terasa, dan tentu saja beragam ekses dan efek samping keramaian itu juga mulai dirasakan oleh warga.

*****

“Sekarang Bali begini nih, macet di mana-mana. Jadi susah kita di jalan,” kata supir ojek daring yang saya pakai jasanya saat ke bandara. Dia mengeluh karena perjalanan kami ke bandara sangat sering bertemu macet.

“Tapi, kalau macet kan artinya bagus pak. Ekonomi berputar, dan banyak tamu lagi yang datang ke Bali,” kata saya membalas keluhannya.

“Iya juga sih pak,” katanya pelan.

Dan di samping semua rasa tidak nyaman karena kepadatan dan kemacetan Bali, masih ada hal yang bisa disyukuri. Apalagi kalau perputaran ekonomi yang kembali terasa. Bali kembali menggeliat.[dG]