Garis Batas ; Cerita Tentang Ragam Batas Dalam Kehidupan Manusia
Sebuah rekor baru. Di jaman digital ketika twitter jadi salah satu bagian yang paling menyita perhatian dalam kehidupan saya, membaca buku jadi sebuah aktifitas yang berat untuk dijalani. Tapi, sebuah rekor baru saja saya torehkan. Buku setebal 510 halaman berhasil saya selesaikan dalam 10 hari, berarti rata-rata 51 halaman per hari. Hal yang luar biasa di tengah godaan update status, membalas mention atau mengomentari ocehan orang di twitter. Buku itu berjudul Garis Batas.
Apa definisi anda tentang jalan-jalan ? mengunjungi tempat indah di negeri yang aman ? menikmati debur ombak, langit biru dan air laut yang hangat ? menikmati spa, makanan enak dan pelayanan kelas 1 di hotel berbintang 5 ? Jujur saja, banyak orang yang mendambakan jalan-jalan seperti itu. Anda mungkin salah satunya.
Tapi bagi seorang Agustinus Wibowo, bukan jalan-jalan seperti itu yang dia nikmati. Bagi Agustinus ( atau kemudian lebih akrab disapa Avgustin ) jalan-jalan berarti mengunjungi pelosok negeri yang tersembunyi jauh dari keramaian, jauh dari rasa aman atau bahkan tak ada dalam peta. Jalan-jalan berarti masuk ke dalam perkampungan kumuh, bertemu dengan orang-orang baru, tidur di hostel berfasilitas sangat minim, mempelajari adat-istiadat dan kebudayaan warga setempat, dan kadang bahkan berurusan dengan tentara, polisi atau agen rahasia.
Buang jauh-jauh bayangan tentang liburan seperti paragraf pertama di atas.
Agustinus Wibowo, seorang pemuda kelahiran Lumajang, Jawa Timur. Seorang kutu buku di jaman SMA yang kemudian seperti terlahir kembali sebagai seorang pengembara. Dia melangkahkan kakinya ke beberapa negara di Asia Tengah. Masuk ke Mongolia, Afghanistan, Tajikistan, Kyrgysztan, Uzbekistan, Kazakstan dan Turkmenistan dan kemudian mencatat banyak hal dari perjalanannya, menemukan banyak hal dan merenungkan banyak hal.
Dalam buku Garis Batas yang adalah buku kedua berisi catatan perjalanannya setelah Selimut Debu, Agustinus bercerita banyak tentang kondisi negara-negara pecahan Uni Sovyet tersebut. Negara-negara yang hampir selama satu abad tidak pernah didengar namanya oleh orang di Bumi sebelum akhirnya muncul satu persatu di atas peta meski tetap menyimpan sejuta misteri. Negara-negara yang menyimpan romantika kemashyuran ketika menjadi bagian dari jalur sutra tapi kemudian kabur, kerdil dan tunduk dalam pengaruh Uni Sovyet.
Selepas runtuhnya raksasa Uni Sovyet, negara-negara kecil itu gamang. Selama pendudukan Uni Sovyet identitas asli mereka dibungkam. Kaum Kazakh yang nomaden dipaksa menetap dalam satu negara, kebudayaan Islam yang mengakar selama berabad-abad dibungkam, bahasa lokal dikaburkan dan semua diseragamkan. Semua harus tunduk pada Stalin dan Lenin, patuh pada komunisme dan diam dalam jutaan aturan yang mengikat.
Efeknya, ketika Uni Sovyet runtuh negara-negara kecil itu kebingungan menggali kembali jati diri mereka. Kebingungan memaknai garis batas yang selama ini diciptakan oleh Uni Sovyet, bingung untuk menarik garis batas yang baru dan bingung untuk melintasi garis batas yang sudah ada selama ini. Hingga kemudian muncul kerancuan, ketidakteraturan dan bahkan kericuhan serta kemiskinan dan kemelaratan yang terus berlanjut.
Buku ini tidak sekadar bercerita tentang sebuah perjalanan ke negeri-negeri eksotis dan jarang diekspos. Buku ini bercerita banyak tentang beragam garis batas yang secara tidak sadar sudah ikut mengalir dalam darah kita di detik ketika kita hadir ke muka bumi.
Kewarganegaraan, suku, agama, warna kulit, bahasa, status sosial, semua adalah garis batas yang mengikut tanpa kita minta, dia lahir ketika kita juga lahir. Tidak semua orang bisa menerima garis batas tersebut. Sebagian orang menciptakan perang untuk melindungi garis batasnya, menciptakan garis batas yang baru meski harus berlumuran darah.
Garis batas itu pula yang membuat Suhrat (bab : Dunia Tanpa Batas) menjadi manusia tanpa kewarganegaraan. Dia lahir di Turkmenistan tapi bersekolah di Tashkent, Uzbekistan. Waktu itu identitasnya jelas : warga Uni Sovyet. Ketika Uni Sovyet runtuh, dia kehilangan identitas. Tidak diakui oleh Uzbekistan dan ditolak Turkmenistan. Jadilah dia manusia tanpa kewarganegaraan. Sebuah garis batas mengungkung hidupnya, membuatnya sulit ke mana-mana. Bahkan untuk pulang ke kampung halaman sendiri.
Garis batas itu juga yang membuat dua buah negara yang hanya dipisahkan sungai berjarak 20 M tapi punya peradaban yang nyaris terpisah jarak 100 tahun. Warga Afghanistan di sisi yang satu masih akrab dengan keledai dan kuda, menatap penuh rasa penasaran pada warga Tajikistan di seberang sana yang melintas di atas mobil di aspal yang mulus. Sungguh ironis bagaimana sebuah garis batas membuat dua negara seakan terpisah jarak waktu yang panjang.
Buku ini berisi banyak cerita tentang pergulatan manusia di beberapa negara di Asia Tengah. Manusia yang bergulat melawan garis batas kehidupan, yang nyata ataupun imajiner. Garis-garis batas yang begitu nyata memisahkan manusia satu dengan manusia lainnya, mengkotakkan manusia menurut garisnya masing-masing.
Agustinus Wibowo menuliskan renungannya yang panjang, renungan yang muncul dari perjalanan panjangnya ke negeri-negeri berakhiran Stan itu. Sebagai warga keturunan, Agustinus juga pernah berada dalam posisi sulit akibat garis batas. Agustinus kecil selalu menjadi korban ejekan rasis karena asal-usulnya yang keturunan. Dia tidak dianggap Indonesia murni karena dalam darahnya mengalir darah China. Ketika berada di Beijing, dia juga tidak otomatis diterima di sana. Ras China-nya bukan jaminan dia bisa melebur dengan nyaman di negeri asal leluhurnya. Di sana dia juga harus menerima celaan akibat ulah sebagian orang Indonesia selepas kerusuhan Mei 1999. Garis batas imajiner yang begitu menyulitkan.
Jangan harap anda akan menemukan tips berwisata dalam buku Garis Batas ini meski isinya memang tentang jalan-jalan. Tidak ada daftar harga tiket, harga penginapan, pilihan moda transportasi, harga makanan atau daftar tujuan wisata. Buku ini sepenuhnya berisi cerita tentang perjalanan tidak biasa yang kemudian dibubuhi kesimpulan dari sebuah perenungan.
Garis Batas sesungguhnya adalah sebuah buku yang banyak becerita tentang garis-garis batas yang kita punyai dan kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan kita. Setiap dari kita punya garis batas sendiri-sendiri, tinggal bagaimana kita bisa berdamai dengan garis batas tersebut, menjadikannya sebagai sebuah keunikan dan bukan alasan untuk berpecah-belah.
Mari menemukan dan merenungkan garis batas itu.
sempat menyentuh buku ini, menyimak sekilas buku punya opa bradley.
perjalanan selalu memberikan hikmah dan pelajaran luar biasa, dan agustinus membuatnya berbeda dan menulisnya. Kita sering melakukan perjalanan seperti dia, namun jarang orang menuliskan dalam sebuah blog, awalnya dia ngeblog juga di wordpress lho 😀
jadi sekarang ditunggu daeng ipul menjadikan tulisan2 di blognya menjadi buku yg penuh makna 🙂
Hahahaha..saya ?
wadduh..susah kayaknya. soalnya blog saya tidak spesifik. tapi beberapa tahun lalu sebenarnya saya punya proyek kecil2an membuat buku perjalanan dalam kota Makassar..
sepertinya proyek itu akan saya kerjakan lagi..:D
Review yang sangat apik, menyimpulkan bukunya dengan sangat baik. Saya juga sangat menikmati buku ini meski bayangan tentang buku ini jadinya berbeda dari postingan di Kompas.com sebelumnya, di mana dulunya kisah ini berfokus pada pergulatan identitas dan balance antara komunisme dan demokrasi pasca era Sovyet. Sempat saya berujar, “kok jadinya begini?”
Namun yang menakjubkan adalah bahwa sebuah cerita yang sudah selesai ditulis dari sudut pandang yang satu dapat dilahirkan kembali dari sudut pandang lain. Agus sudah melakukan itu dengan baik; cerita lama yang orang sudah gandrungi kini hadir lagi dengan bumbu, bahkan main course yang berbeda.
Thanks for sharing 😀
saya masih bertanya-tanya..
attachment yg dikirim ke saya kemarin itu dapatnya dari mana ?
😀
oh itu dikompilasi oleh seorang penggemar tulisannya, saya lupa siapa, kenalan di forum. Tenang aja, attachment itu semua sudah pernah dimuat, jadi gak ada hak cipta yang dilanggar 🙂
hehehe, nggak sih…
cuma penasaran aja, siapa gerangan yg mengkompilasinya
Mas Agustinus ini yang pernah ada di KickAndy itu ya Daeng?
Kisahnya memang mengharukan, sampai naik kuda di antara jurang-jurang..
Sayang rencana perjalanannya dari Cina ke Afrika Selatan gagal,,
iya bener, ini si Agustinus yang waktu itu hadir di Kick Andy
salam kenal daeng
dari review diatas bukunya kayak bagus ya
jadi pengen beli
hehe
salam kenal juga..
kalo buat saya sih bukunya memang bagus. sesuai selera saya soalnya 🙂
Saya mau tawarkan tukaran buku bacaan nih, Daeng. Saya pinjam buku ta “Garis Batas”, saya juga kasih pinjam buku “Prahara Benteng SOmba Opu” (Novel Sejarah) karangan SM Noor, Kompas 2011. Gimana, bro?
saya kasih versi digitalnya saja bagaimana ? 😀
wuih keren’e mas agus ini.. daeng ndak mau nyoba jadi pengembara? biar blognya makin keren gitu di isi cerita pengembaraan :Dhehe
waaa..sekarang agak susah mas mau jadi pengembara. udah ada keluarga sendiri soalnya 😀
di toko buku kemarin sore sempat juga pegang buku ini,
tapi gagal beli 😀 karena mengingat tumpukan buku yang masih berbalut plastik di lemari buku di rumah.
ini artinya wajib menuntaskan yg di lemari agar boleh beli buku lagi hehehe
apalagi sudah beberapa kali baca review buku ini yang selalunya berhasil membuat saya bernapsu untuk buka toko buku on line hehehe … *untungnya gagal beli on line terus karena ga pinter pake klikbca hohoho*
Hahaha..ya sudah, silakan diselesaikan dulu yang sudah ada
abis itu beli Garis Batas..
okeh ?
😀
ini salah satu buku best seller kan mas
tapi saya belom baca yang selimut debu
review mantap hehe..
hmm…review yang keren, mengundang hasrat untuk memburu buku ini sepulang ke negeri tercintah…insya Allah.
sebetulnya tempo hari sempat liat nih buku di etalase toko buku di Bogor, tp urung beli krn menganggap itu semacam tips perjalanan biasa, rupanya sarat dengan catatan istimewa ya…
thanks for sharing this interesting book, bro.
kayaknya bisa dijadikan referensi untuk menambah koleksi perpustakaan pribadi 🙂
Terima kasih banyak, Daeng, untuk reviewnya yang ditulis dengan kesungguhan hati. Terlihat sekali, Daeng pun membaca buku itu dengan hati yang terdalam. Sungguh merupakan kehormatan bagi saya, dan senang sekali karya ini bisa membangkitkan perenungan yang dalam juga.
Perjalanan, bagi saya, memang bukan lagi soal destinasi atau tempat yang dituju, tetapi lebih ke perenungan dan pendalaman. Bahkan, perjalanan pun bukan lagi soal perpindahan tempat. Karena itu saya juga tidak memberikan tips perjalanan atau daftar harga dalam buku saya, karena memang bukan itu inti perjalanan bagi saya.
Sedangkan garis batas sendiri, juga adalah perenungan yang pasti dialami semua orang yang pernah mengalami perpindahan dalam perjalanan, khususnya perjalanan darat antar negara. Semakin kita merenungkannya, semakin terbersit pertanyaan: Adakah masalah di muka bumi ini yang tidak berkaitan dengan garis batas?
waa..sebuah kehormatan besar bagi saya mas Avgustin datang berkunjung dan meninggalkan komentar.
terima kasih..
Sangat mengispirasi mas, ditunggu cerita – cerita yang lainnya..
Ulasan yg menarik, mohon ijin share ya. Saya kenalan lama si Agus. Ada salah ketik Mei 1999 – mestinya1998. Salam sindhiarta