Menikmati Semarang Dengan Cara Berbeda [Bag.2 – Tamat]
Bagian kedua dari perjalanan #FamTripBlogger2017 di Semarang.
Seorang perempuan muda yang cantik dan bertubuh tinggi semampai menarik perhatian sebagian besar rombongan #FamTripBlogger2017. Saya lupa namanya, tapi dia adalah salah satu finalis Denok-Kenang Semarang tahun 2017. Denok-Kenang adalah salah satu ajang pemilihan duta wisata kota Semarang. Sebagai duta wisata, pesertanya tentu cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Termasuk perempuan muda berkaos ungu itu.
Baca juga bagian pertama cerita ini di sini
Beberapa cowok dari rombongan kami mendekatinya, mencoba membuka percakapan. Biasalah, namanya juga musang berbulu domba. Tentu tak akan menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun, apalagi ternyata si perempuan muda itu kenal baik dengan Nina, peserta Denok-Kenang tahun sebelumnya yang juga menjadi pendamping rombongan kami.
“Mbak peserta Denok-Kenang tahun 2017 ya?” Tanya saya ketika si perempuan muda itu berdiri di dekat saya. Sepertinya dia mencoba mencari tempat berlindung dari tatapan-tatapan buas lelaki-lelaki yang mencoba mendekatinya. Mungkin aura kebapakan saya yang membuatnya mendekat.
“Iya pak,” jawabnya dengan senyum ramah.
PAK! PAK! Di antara sekian banyak sapaan yang sopan seperti “mas”, “abang”, “kak”, dia memilih PAK. PAK!
Duh dek, saya tahu umur kita mungkin hampir terpaut dua kalinya, tapi tidak pak juga kali. Seketika saya langsung merasa sangat tua, bahkan merasa seumuran dengan kota Semarang. Beberapa teman-teman yang ada di sekitar saya tidak mampu menahan tawa. Selesai sudah obrolan malam itu bersama perempuan muda finalis Denok-Kenang itu.
Tragedi “PAK” itu mewarnai malam ketika kami para rombongan #FamTripBlogger2017 diajak menyaksikan Semarang Night Carnival, acara tahunan yang digelar dalam rangka ulang tahun kota Semarang. Tahun ini, Semarang Night Carnival memasuki tahun ketujuh.
Mangrove dan Masa Depan Semarang.
Dua belas jam sebelumnya, kami berada di atas bis pariwisata yang mengantar kami menuju Dusun Tapak, Desa Tugurejo, Kecamatan Tugu, Semarang. Jadwal hari itu adalah mengunjungi hutan mangrove di Tapak, melihat langsung kondisi hutan mangrove yang jadi benteng terakhir kota Semarang dari abrasi laut. Selain melihat kondisinya, kami juga dijadwalkan akan menanam mangrove dan menikmati hasil tambak yang dipanen warga.
Perjalanan tidak terlalu jauh. Kira-kira sekitar 30 menit dari Hotel Pandanaran, kami sudah berbelok ke wilayah dusun tapak dan berhenti di ujung jalan. Kami disambut oleh beberapa orang yang menjadi pengurus hutan mangrove tapak itu. Dari keterangan Abdul Rofik –ketua kelompok sadar wisata (POKDARWIS) Bina Tapak, kawasan konservasi mangrove di Tapak itu baru ada sejak tahun 2012 dan bulan Agustus 2015 kelompok sadar wisata Bina Tapak baru terbentuk. Warga di kelompok sadar wisata itulah yang aktif melakukan konservasi hutan mangrove sekaligus mengelola desa wisata.
Di tahun 1990an, kerusakan lingkungan memang sangat meresahkan warga Tapak. Menurut penuturan Arifin – warga yang menemani kami – pencemaran lingkungan di Tapak memang sangat parah waktu itu. Sungai tercemar limbah dan hutan mangrove mulai hilang.
“Pencemaran besar-besaran di Indonesia itu dimulai dari sini,” kata Arifin. Dia mengisahkan bagaimana warga waktu itu melakukan perlawanan terhadap korporasi besar yang membuang limbah mereka ke sungai di Tapak. Perlawanan yang beresiko karena mereka harus berhadapan dengan aparat yang membela kepentingan korporasi itu.
Merosotnya jumlah dan kualitas hutan mangrove di Tapak juga menimbulkan banyak masalah. Dari abrasi, sampai naiknya air laut ke daratan yang membuat air tawar warga menjadi asin. Salah satu penyebabnya adalah reklamasi di tepian kota Semarang.
Sadar akan bahaya itu, warga lalu berinisiatif melakukan langkah-langkah konservasi hutan mangrove di dusun Tapak. Harapannya agar hutan mangrove di dusun Tapak bisa kembali menjadi penyelamat daratan Semarang dari abrasi dan naiknya air laut ke daratan.
Hahahaha.. dipanggil “pak” ? padahal lebih pas dipanggil “om” ya, Daeng?
sama aja keleusss hahaha
makasih mas daeng (atau harusnya panggil daeng aja?) buat rekaman mangrove nya ?
daeng aja udah cukup koq, soalnya daeng itu udah sama dengan mas hihihi
Maaf kemarin ngakaknya paling besar waktu tragedi “Pak” ya, Daeng. Eh mungkin dia memang masih belasan tahun, ya?
keknya gak sampai 20 deh, paling 19 kali ya? hihihi