Romantika Bertetangga

Bergosip (foto: shutterstock)

“Hidup bertetangga itu kadang harus buta, tuli dan bisu”

Itu kalimat yang pernah diucapkan ibu. Waktu itu saya masih kecil, belum paham apa arti kalimatnya. Belasan tahun kemudian saya baru paham maksudnya. Hidup dalam lingkungan yang relatif masih tradisional memang kadang membuat kita harus pura-pura buta, tuli dan bisu. Itu kalau tidak mau terseret dalam “politik bertetangga” yang kadang bikin tidak nyaman.

Adalah ibu-ibu yang biasanya sedikit punya waktu lowong untuk mengurusi sesuatu yang bukan urusannya. Tetangga beli tivi baru, mereka yang ribut. Ada friksi dalam rumah tangga orang, mereka yang sibuk menganalisa. Cerita yang sebenarnya hanya satu cerita bisa berkembang jadi sepuluh, lengkap dengan bumbu-bumbunya.

Pada posisi inilah pura-pura buta, tuli dan bisu jadi sangat berarti. Kalau tidak, bisa-bisa kita juga ikut terseret dalam hal-hal yang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

Tapi itu kejadian di kompleks perumahan yang masih tergolong tradisional. Beda dengan kompleks perumahan yang lebih modern, di mana penghuninya lebih individualistis dan nyaris tidak punya waktu bahkan untuk sekadar berbalas sapa dengan tetangga.

Boss saya tinggal di perumahan seperti itu. Deretan rumahnya semua mentereng. Beliau pendatang di kota Makassar, pun dengan sebagian tetangganya. Suatu hari beliau kena musibah, ibunya berpulang ke Rahmatullah. Karena beliau pendatang, maka kamilah para anak buahnya yang sibuk mengurus semua keperluan pemakaman. Tetangganya bagaimana? Ada beberapa tetangga yang turun tangan, membantu sebisa mereka. Tapi ada juga tetangga yang cuma menengok dari jendela, melihat keramaian dan kemudian menganggap tidak ada apa-apa yang terjadi. Termasuk tetangga tepat di samping rumah si pak boss.

Ini berbeda dengan kompleks perumahan yang lebih sederhana, apalagi di perkampungan. Beberapa kali saya dan keluarga besar merasakan hangatnya kekerabatan antar tetangga. Ketika kami menggelar acara dengan cepat para tetangga datang membantu. Tetangga wanita sibuk di dapur mengurusi segala tetek bengek makanan dan minuman sementara tetangga pria sibuk di halaman memasang tenda, kursi dan segala tetek bengek yang membutuhkan tenaga pria.

Semua terasa hangat dan akrab. Ketika masih bocah saya bahkan pernah melihat sendiri puluhan pria sibuk mengangkat rumah panggung ketika sang empunya rumah berniat pindah rumah. Ini benar-benar acara pindah rumah karena rumahnya memang ikut berpindah.

Kedua tipe bertetangga itu masing-masing menyimpan kelebihan dan kekurangan. Hidup dalam lingkungan yang modern dan individualistis membuat kita lebih lebih bebas menjadi diri kita tanpa peduli apa kata tetangga. Toh mereka juga punya urusan sendiri dan tidak punya waktu untuk memikirkan tetangganya.

Dalam lingkungan yang lebih sederhana dan komunal tetangga adalah satu faktor yang harus diperhitungkan dalam melakukan sesuatu. Mereka bisa ribut tak karuan ketika ada sesuatu yang menurut mereka menarik untuk digosipkan. Tapi, setidaknya mereka juga bisa diandalkan ketika kita membutuhkan bantuan yang cepat.

Sejak memutuskan tinggal sendiri dan berpisah dari orang tua saya tidak pernah terlalu akrab dengan tetangga. Sekadar kenal dan basa-basi yang tidak penting. Faktor utamanya karena waktu tentu saja, selain karena saya (dan dulu istri saya) tidak pernah mau membuang banyak waktu untuk sekadar berkumpul dan kemudian bergosip hal-hal yang tidak penting. Apalagi karena kami pernah punya tetangga yang benar-benar biang gosip dan hobinya menggunjingkan tetangga yang lain.

Sebisa mungkin kami menjaga jarak dan menghindari hal-hal seperti itu. Orang yang menggosipkan orang lain tentu akan menggosipkan anda juga ketika ada kesempatan bukan?

Rasulullah juga mengajarkan untuk memuliakan tetangga. Dalam prakteknya kita harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada, harus pintar-pintar membaca situasi agar tidak terjebak dalam situasi yang tidak nyaman.

Bertetangga itu memang banyak romantikanya. Sudahkah anda menyapa tetangga anda pagi ini?

[dG]