Pikiran

Pakai Gelar Biar Sangar

Alamakjang! Gelarnya sangar!

Seberapa penting sih gelar itu? Apa memang harus diraih agar bisa dipajang dan dibanggakan?

Itu adalah bahan diskusi singkat di sebuah milis yang saya ikuti. Mengacu kepada kata-kata yang biasa disemburkan oleh beberapa entrepreneur yang mengklaim kalau gelar (akademik) bukan hal yang penting. Banyak orang yang berhasil menjadi pengusaha tanpa harus menyelesaikan jenjang S1 dan mendapatkan gelar.

Bukti itu memang tidak terbantahkan. Coba lihat sekeliling kita, ada berapa banyak orang yang dinilai berhasil tapi tidak menyelesaikan atau bahkan tidak pernah mencicipi bangku kuliah. Bahkan Tempo, raksasa media di Indonesia juga dibangun oleh 30 orang anak muda, beberapa di antaranya tidak sampai menyelesaikan kuliahnya dan tentu saja tidak mempunyai gelar akademik.

Sampai di sini urusan gelar dianggap tidak penting.

Tapi kemudian ada seorang kawan yang mengeluarkan pertanyaan menggelitik. Beranikah mereka yang menganggap gelar itu tidak penting untuk melarang anak mereka kuliah dan meraih gelar akademik?

Saya belum pernah melihat langsung bagaimana seorang yang dianggap berhasil dan sukses secara materi melarang anak mereka untuk lanjut ke perguruan tinggi karena menganggap kalau gelar itu tidak penting. Kalaupun ada mungkin mereka termasuk orang tua yang ekstrem.

Dari sini muncul pendapat dari kawan lain. Sebenarnya kuliah itu penting, tapi bukan karena gelarnya tapi karena proses pendidikannya. Para lulusan perguruan tinggi sesungguhnya disiapkan untuk menjadi seorang analis, seorang yang bisa melakukan analisis terhadap suatu masalah dan menemukan metode untuk menyelesaikannya. Berbeda dengan orang di level STM atau D3 misalnya, mereka memang disiapkan untuk menjadi praktisi tanpa persiapan menganalisa. Merekalah ujung tombak yang menyelesaikan masalah di lapangan.

Di Indonesia, gelar akademik masih sangat dihargai. Bukan cuma oleh calon mertua, tapi juga calon boss di perusahaan tempat kita melamar kerja. Biasanya hal pertama yang dilihat adalah ijazah beserta nilai-nilai yang tertera di sana, urusan pengalaman dan kemampuan ada di urutan berikutnya. Jadi kalau memang belum bisa menjadi seorang pengusaha dan masih memilih menjadi karyawan maka pameo kalau gelar akademik itu penting tentu masih berlaku.

Kita masih berbicara soal gelar akademik, belum lagi soal gelar kebangsawanan. Jaman makin modern, gelar kebangsawanan perlahan mulai memudar. Meski masih ada yang menggunakannya tapi tingkat kesakralannya makin memudar. Tentu tidak seperti jaman dulu lagi. Meski di beberapa daerah gelar kebangsawanan itu masih saja mempunyai efek yang besar.

Ketika menikah, seorang kawan bermaksud menuliskan namanya di undangan tanpa embel-embel gelar di belakangnya. Orang tuanya langsung bereaksi. Mereka tidak rela undangan yang beredar tidak menampakkan gelar akademik sang anak. Bagi orang tua, itu adalah perlambang keberhasilan mereka menyekolahkan anaknya hingga level sarjana. Jelas sebuah kebanggaan bagi orang tua jika mereka berhasil mengantarkan anaknya ke level tertentu. Kadang-kadang memang sudah berubah menjadi ajang pamer, sadar atau tidak sadar.

Jadi, sebenarnya gelar itu penting tidak sih? Yang jelas memang ada yang menggunakan gelar agar terlihat sangar.

[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (10)

  1. saya lebih suka menuliskan nama saya apa adanya. ga usah pake gelar sembarang kalir. wong orangnya yo sama aja saya juga. tapi kadang untuk urusan kepegawaian justru orang-orang kepegawaian itu yang ribut, katanya sayang, udah capek-capek sekolah kok gelarnya gak dipasang. lah saya yang capek kok mereka yang ribut :))

  2. Penulisan gelar seringkali jadi perdebatan saat akan menuliskan di undangan. tapi tidak halnya diabsensi project. dibeberapa project yg saya ikut, tidak pernah ada penulisan gelar disana, baik yg ekspatriat maupun orang indonesia 😀

  3. hehehe… itu yang di foto gelarnya lebih panjang dari namanya.. kalau saya, tidak penting menulis gelar kalau berada diluar forum akademik.. tapi, kasihan juga orang tua yang menganggap itu sebagai prestise mereka, wajib tulis..

  4. Kenyataanya, gelar akaddemik memang tetap dihargai sejak zaman dulu. Yang terpelajar dianggap bisa memimpin. Tapi ngga harus memajang semua gelar, kasian yang baca 😛

  5. saya ada liat keluarga yg sukses materi dan karena ortunya tidak punya latar belakang pendidikan yang tinggi, sehingga tidak menyarankan anaknya untuk belajar ke bangku univ. jadi anaknya diajari cara2 mengurus usaha. dan survive tuh 😀

  6. Semoga banyak yg sadar kalo ilmu yg didapat lebih penting daripada gelar…
    Tapi nda ada salahnya punya gelar 🙂

  7. Lomar Dasika

    Saya jadi inget guru Bahasa Indonesia yang dengan keras berkata “FEODAL!” ketika membahas soal gelar-gelar tersebut. Beliau, bapak yang saya kagumi ini sudah menulis banyak buku tentang Bahasa Indonesia dan turunan ilmunya namun tetap secara sederhana hanya menuliskan “Suroto” sebagai penulisnya, tanpa embel-embel manapun.

    bisa jadi, budaya pamer dan feodal bangsa ini dipengaruhi oleh begitu “dewa”nya apabila ada gelar yang menempel pada suatu nama. Bener banget apa yang Daeng bilang, proses pendidikan itu jauh lebih penting dibanding gelar itu sendiri. jadi, kalau ada wakil rakyat yang bisa membeli gelar, yah, geleng-geleng aja dech, udah kecapean buat dibahas. hahahaha.

    agak OOT sich, tapi dibanding gelar seperti S.apa… M. apa, atau apapun itu, saya malah lebih suka mendapatkan marga hihihi…. keren juga kali yah kalau memiliki seluruh marga dari banyak suku di Indonesia. permasalahan barunya hanyalah, bagaimana nanti menuliskan semua tsb di kartu undangan. hahahaha

  8. wahyumasud

    di kampus, ada dosen yang marah kalo tidak dipanggil prof. di undangan pernikahan juga, salah tulis nama dan titel kadang jadi penyebab mereka ogah datang. #palingindonesia

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.