Generasi Millenial A la Tribun Timur

Sebuah artikel di portal Tribun Timur berhasil memancing rasa ingin tahu saya dan kemudian berpikir tentang generasi millenial.

BEBERAPA HARI LALU, seorang kawan di Facebook mengirimkan tautan ke berandanya. Tautan itu menuju ke sebuah portal berita di Makassar; Tribun Timur. Judul tautan yang dibagikan kawan itu adalah; Siswi Smada Makassar Ini Mudik ke Soppeng, Sekalian Wisata ke Lejja.

Saya meng-klik tautan itu karena penasaran, siapa gerangan si siswi smada itu sampai berita mudik dan liburannya dimuat di sebuah portal berita semacam Tribun Timur? Portal berita yang mengaku sebagai salah satu (atau malah satu-satunya ya?) yang terbesar di kota Makassar.

Beberapa detik kemudian saya menyadari kalau keputusan meng-klik tautan itu adalah keputusan bodoh pertama yang saya lakukan di awal bulan Syawal. Tidak ada yang spesial dari tulisan di tautan itu. Tidak ada sama sekali.

Isi tautan itu saya sertakan di sini, agar kalian bisa membacanya sendiri tanpa perlu repot-repot meng-klik tautannya.

*****

JADI BEGINI. Soal “orang biasa” diangkat menjadi berita sebenarnya adalah sesuatu yang sangat saya dukung. Sudahlah para selebritis itu diberitakan kesehariannya sampai paling detail dan paling tidak penting, kadang pula kegiatan para pejabat diberitakan dari awal sampai akhir dengan gaya yang hmmm…saya terpaksa menggunakan kata “memuakkan” karena tidak menemukan kata lain yang lebih halus.

Tapi, ketika ada kehidupan “orang biasa” yang dijadikan berita hambok ya ada alasan kuat gitchu loch. Entah itu “orang biasa” yang punya prestasi tapi luput diberitakan media mainsetrum lainnya, atau “orang biasa” yang melakukan sesuatu yang “luar biasa”. Bukan sekadar pulang kampung ke Soppeng dan berwisata ke Lejja.

Berita yang terdiri dari 93 kata itu (iya, saya iseng sekali menghitung jumlah katanya), sungguh dangkal dan tidak ada informasi yang berarti sedikitpun.

Kenapa saya bilang begitu? Soalnya si siswi smada yang ada di dalam berita itu saya yakin bukan satu-satunya orang yang pulang kampung ke Soppeng dan sekalian berwisata ke Lejja. Mungkin dia menjadi spesial karena dialah satu-satunya siswi smada yang pulang kampung ke Soppeng. Siswi smada lainnya mungkin pulang kampung ke Bone, Sidrap, Toraja atau kabupaten lain selain Soppeng. Makanya dia spesial dan wajib dijadikan berita.

Eh tapi apa memang seperti itu? Saya koq jadi tidak yakin sendiri.

Soal tautan dan isi tautan itu sempat memicu diskusi singkat namun informatif di grup Line Blogger Makassar. Apalagi ketika ternyata ada salah satu karyawati Tribun Timur yang katanya begitu defensif mempertahankan pilihan kantornya mengunggah berita dangkal seperti itu. Saking defensifnya sampai ketika ada yang mengkritik isi berita itu, dia bukannya membuka ruang diskusi yang luas malah sibuk menyerang latar belakang si pengkritik dengan membawa-bawa institusi mahasiswa si pengkritik. Intinya dia menuding pengkritik tidak punya kemampuan jurnalistik, tidak pernah ikut pelatihan jurnalistik dan acara kampusnya tidak pernah diliput media.

Nice move!

Saya akhirnya kepo juga dan men-stalk akun si karyawati Tribun Timur yang saya duga adalah bagian dari rubrik Millenial, rubrik di mana artikel itu bercokol.

Saya tak hendak memperpanjang diskusi tak tentu arah soal kritikan dan balasan dari artikel itu, meski terus terang tangan saya gatal juga untuk ikut berkomentar. Saya akhirnya lebih tertarik untuk berpikir jauh tentang satu statement dari si karyawati Tribun Timur itu.

Secara tegas si karyawati Tribun Timur itu mengatakan kalau jenis berita yang dimuat oleh portal Tribun Timur itu adalah santapan generasi millenial, dan karenanya generasi sebelumnya tidak akan paham.

“Dulu hard news selalu jadi bahan. Tapi sekarang apapun bisa jadi bahan berita. Termasuk life style, trending issue/topic dan isu kekinian lebih bisa lagi. Intinya, Tribun memberi ruang untuk Mellennials.” Begitu katanya.

Sebagai penutup dia menarik kesimpulan kalau orang generasi sebelum millenial (atau katakanlah para orang tua) tidak akan mengerti dan tidak akan bisa menikmati berita macam begitu. Berita yang menurut orang-orang tua itu (iya, saya juga termasuk di sana) terlalu dangkal dan tidak ada gizinya, ternyata menurut generasi millenial sangat dibutuhkan.

Hmmm. Asumsi yang menarik.

*****

KARENA STATEMENT ITU juga saya sampai googling, mencari tahu apa itu generasi millenial dan apa ciri khasnya. Dari beragam sumber saya menemukan kalau yang dimaksud generasi millenial (kadang juga disebut generasi Y) itu adalah generasi yang lahir antara 1980 hingga tahun 2000 (bahkan ada juga yang bilang sampai tahun 1994).

Ciri khas yang paling kentara dari generasi millennial ini adalah keakraban mereka dengan internet. Sebagian besar dari mereka malah internet native, yang sudah akrab dengan internet sejak usia belia. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mengenal internet ketika sudah berada pada usia mapan atau kerap disebut internet refugee.

Keakraban dengan internet ini yang kemudian membuat banyaknya perbedaan antara generasi millenial ini dengan generasi sebelumnya. Pola interaksi berubah, pola komunikasi juga berubah. Mereka bukan lagi menggunakan televisi untuk meng-update pengetahuan tentang tren atau informasi terkini. Toh semua itu sudah bisa dipenuhi oleh gawai di tangan dan internet yang tersambung.

Generasi inipun kemudian menganggap semua hal adalah berita, semua orang bisa jadi pusat perhatian dan pusat pemberitaan. Tentu karena pola komunikasi yang tidak lagi satu arah tapi sangat kompleks. Mereka sering mendapatkan kritikan soal perilaku yang terlalu narsistik dan egosentris serta kehilangan kepekaan sosial.

Jumlah pengikut di media sosial adalah ukuran popularitas, jumlah like atau komentar di sebuah postingan Instagram adalah penentu popularitas, bahkan gaya hidup pun harus terus dimutakhirkan meski harus mengorbankan banyak hal. Jumlah retweet atau share untuk sebuah kampanye sosial sudah dianggap cukup sebagai tanda peduli, apalagi kalau kampanye tersebut sudah bisa menjadi trending topic. Tak perlu repot-repot turun ke jalan atau ikut berpeluh di lapangan. Semua hal bisa diselesaikan di dunia maya, begitu kata mereka.

Tentu saja tidak semua kritikan itu benar, tapi setidaknya ada yang benar.

Nah pola-pola yang berubah ini juga yang saya curigai menjadi salah satu penyebab lakunya genre daily vlog di YouTube. Vlogger semacam Laurentius Rando bisa menyedot subscriber sampai lebih dari 500 ribu dan videonya ditonton sampai ratusan ribu kali, padahal sebagian besar hanya daily vlog yang isinya adalah aktivitas dia dari pagi sampai malam, atau aktivitas di sebuah tempat.

Buat orang generasi sebelum generasi millenial, video-video Rando mungkin tidak masuk akal. Apa istimewanya mengikuti kegiatan orang biasa seperti dia? Apanya yang informatif dan mencerahkan? Tapi, bagi generasi millenial hal-hal seperti itu tentu saja menarik. Menarik karena mungkin dianggap sebagai sesuatu yang membumi, dekat dengan mereka dan tentu saja menghibur.

Suruh mereka menonton video ceramah agama misalnya, atau video-video perseteruan politikus. Mungkin belum semenit mereka sudah menguap bosan dan menekan tombol “next”.

*****

Artikel lain dengan tema yang sama di rubrik Tribun Millenial

 

BAIKLAH, KITA KEMBALI ke artikel yang dimuat oleh Tribun Timur itu.

Saya tetap berpegang pada kesimpulan saya bahwa artikel itu, ya Allah tidak ada penting-pentingnya sama sekali. Tapi saya bukan generasi millenial, generasi yang jadi target pasar artikel seperti itu. Mungkin saja artikel itu bagi generasi millenial dianggap menarik karena membumi, dekat dan tak berjarak dengan mereka. Jadi wajarlah kalau artikel seperti itu terus diproduksi, karena pasarnya memang ada.

Pada titik ini saya bisa berkompromi. Toh memang tak ada kebenaran yang absolut. Selalu ada sisi yang berbeda dari sebuah kejadian dan selalu saja ada persepsi yang berbeda dari kejadian tersebut, tergantung dari sudut mana kita memandang, tergantung dari label yang melekat di kita ketika memandang kejadian itu.

Tapi, sungguh saya menyayangkan kalau media arus utama terus memproduksi konten seperti itu hanya demi mengikuti selera pasar. Artinya mereka tak lain adalah hamba pasar, bukan pemberi informasi yang independen, apalagi yang punya misi mencerdaskan.

Kalau saja mereka mau sedikit bersusah payah, mereka bisa menciptakan sebuah konten yang sedikit berbobot tanpa harus meninggalkan karakter generasi millenial. Misalnya, membuat sebuah liputan naratif tentang mudik yang mengangkat beberapa tokoh dengan cerita mereka masing-masing. Sedikit lebih repot memang, tapi minimal hasilnya tidak sedangkal yang ada sekarang.

Kan kasihan generasi millenial kalau terus menerus dicekoki oleh konten dangkal seperti itu. Lambat laun kritikan generasi sebelumnya atas mereka bisa jadi seolah mendapatkan legitimasi. Pun jembatan antar dua generasi itu akan makin melebar, jangan harap ada saling pengertian, yang ada hanya saling mengeluh.

“Ah, anak jaman sekarang malasnya minta ampun,” keluh generasi sebelumnya.

“Ah, dasar orang tua! Tidak mengerti anak jaman sekarang,” keluh generasi millenial.

Begitu seterusnya sampai Tukul Arwana jadi Sekjen PBB. [dG]