Mari Membincangkan Seks

Rasa Penasaran Yang Semakin Besar.

Memasuki masa akhir putih abu-abu, gejolak itu semakin membesar. Teori-teori absurd pun semakin banyak bermunculan, utamanya yang berkisar di soal membesarkan penis. Maklumlah, bagi sebagian pria ukuran adalah segalanya. Apatah lagi bagi anak-anak remaja seperti kami?

“Jangan pakai celana dalam kalau mau itumu panjang,” kata seorang kawan berteori. Dia menjelaskan, gravitasi akan membuat penis tertarik ke bawah tanpa ada halangan jika kita tidak bercelana dalam. Teori yang seolah-olah dicetuskan oleh Isaac Newton dan membuat kami mengangguk-angguk paham.

“Kamu pikir kenapa orang-orang Arab itunya bisa besar? Karena mereka tidak pakai celana dalam! Hanya jubah,” katanya lagi dengan sangat yakin dan meyakinkan.

Bodohnya kami, teori itu kami telan mentah-mentah. Sempat ada waktu beberapa lama, kami ke sekolah tanpa celana dalam demi mendapatkan bentuk kelaki-lakian yang lebih panjang. Teori ini berakhir ketika seorang kawan mengalami kecelakaan terjepit resleting. Tidak perlu saya jelaskan seperti apa kecelakaannya. Jelasnya, itu cukup membuat kami trauma. Hasil belum pasti, tapi risiko sudah mengintip setiap saat.

“Kalau mau itumu besar, onani pakai timun,” satu lagi teori gila dicetuskan kawan yang lain.

Saya lupa apa landasan teori ini, tapi kami yang sudah semakin kritis setelah kasus “tanpa celana dalam” itu tidak percaya begitu saja pada teori gila ini. Setidaknya saya tidak percaya, entah dengan teman yang lain.

Menjelang akhir masa sekolah, obrolan kami semakin banyak berputar di antara seks-seks-dan seks. Tentu saja tanpa panduan atau bimbingan yang seharusnya, karena kami terlalu takut untuk bertanya ke orang yang lebih tua. Kami pun belum hidup di jaman internet yang menyediakan banyak data dan pengetahuan.

Jadilah bahan-bahan pengetahuan kami hanyalah obrolan dengan sesama teman, tentu dengan teori-teori gila yang kadang tidak masuk akal. Keadaan makin parah karena kami berada dalam lingkungan yang sebagian besarnya adalah pria. Kami adalah anak-anak STM yang populasi perempuannya kalah banyak dari populasi kucing betina liar di sekolahan kami. Jadilah obrolan-obrolan tentang seks menjadi semakin liar, tidak ada perempuan yang bisa membuat kami malu-malu mengobrolkannya.

Beruntung saya dan teman-teman se-geng adalah anak-anak dengan orang tua yang melarat, yang membekali kami uang jajan seirit mungkin. Uang jajan yang hanya cukup untuk ongkos ke sekolah dan jajan seadanya, hanya agar tidak kelaparan di jam istirahat.

Teman-teman yang lain, yang orang tuanya lebih mampu lalu mencoba membelanjakan uangnya untuk mengisi rasa ingin tahu yang besar soal seks. Dari yang membelanjakan uangnya untuk membeli novel erotis karya Fredy. S atau Enny Arrow di pasar gelap, sampai yang mencoba sendiri beberapa tempat prostitusi yang ada di kota Makassar.

bicara tentang seks
Novel Enny Arrow
sumber: citizen.liputan6.com

Satu-dua teman datang dengan cerita petualangannya mencoba perempuan yang lebih tua –dan tentu saja lebih berpengalaman- di tempat-tempat prostitusi murahan. Salah satunya bahkan ada di balik dinding belakang sekolah kami. Sesekali kami melintas di depan rumah berlantai dua itu, bagian bawahnya bangunan batu dan bagian atasnya bangunan kayu. Tentu saja sepi karena kami melintas siang hari. Kadang ada juga satu-dua perempuan berdaster mini yang terlihat duduk manis di ruang tamu yang tembus pandang dari jalan. Melihat itu saja, pikiran kami sudah macam-macam. Mengawang-awang dan darah berdesir tidak karuan. Apatah lagi ketika mendengar cerita mereka yang sudah mencicipinya?

Rasa penasaran yang begitu tinggi, informasi-informasi yang tidak jelas, kesempatan dan uang yang ada membuat mereka memberanikan diri untuk bertandang ke tempat-tempat seperti itu. Melepas keperjakaan dan menyerahkan kemurnian pada perempuan yang lebih tua dan lebih pengalaman. Tanpa pengaman sama sekali.

Semua demi memuaskan rasa penasaran akan seks yang selalu dibincangkan dalam pertemuan-pertemuan rahasia, dan tentu saja untuk menikmati kekaguman dari teman-teman yang tak seberani dia. Sungguh naif.

Bagaimana Sebaiknya Bicara Tentang Seks?

Mengingat-ingat kembali masa itu, rasa geli dan sekaligus ngeri hinggap di dalam pikiran. Geli mengingat teori-teori tidak masuk akal yang sungguh absurd, ngeri mengingat eksperimen yang sungguh berbahaya. Saya ingat bagaimana kawan dari seorang kawan sampai terkena penyakit menular seksual akibat ulahnya sendiri. Bekas tanda basah nampak di dekat selangkangan celana abu-abunya, tanda nanah yang terus menetes tanpa bisa ditahan.

“Dia terlalu sering ke tempat begituan,” bisik kawan yang bersama saya bertemu dengan kawannnya itu.

Betapa mengerikannya masa remaja yang berkelindan antara hormon yang menggelegak dengan rasa ingin tahu tentang seks yang terus saja disembunyikan mereka yang lebih tua. Jaman kami, informasi belum sederas sekarang. Material-material pornografi pun belum sebanyak sekarang. Untuk bisa menonton film biru saja, kami harus melintasi setengah kota Makassar, membawa kaset VHS ke rumah kawannya kawan yang sedang kosong di selatan kota.

Alternatif lain yang bisa mendekati film biru itu adalah beberapa bioskop kelas kampung di kota Makassar yang kadang menayangkan potongan adegan-adegan dewasa. Dengan tiket Rp.1000,- yang sering kali bisa kami dapatkan dari hasil menyisihkan uang jajan, kami berdebar-debar di kursi penonton yang penuh kutu busuk, menantikan potongan adegan-adegan yang membuat darah kami berdesir, jantung berdegup dan mulut ternganga. Memang hanya beberapa detik, tapi itu sudah cukup membuat kami gelisah.

Sekarang? Dari genggaman saja, material itu bisa langsung didapatkan. Betapa bahayanya.

Rasa ingin tahu yang besar dimanfaatkan secara salah oleh sebagian orang dengan menyebarkan informasi yang salah atau belum tentu benar. Sebagian lagi memanfaatkan rasa ingin tahu dan hormon yang menggelegak itu untuk kepentingannya sendiri. Mengerikan.

Sementara kita masih terus berpegang teguh menolak untuk membicangkan seks di ruang-ruang terbuka, menghindarinya dengan alasan moral. Padahal anak-anak remaja atau yang beranjak remaja terus dilingkupi pertanyaan tentang seksologi atau alat reproduksi.

Mungkin memang sudah saatnya kita mencari cara yang aman untuk bicara tentang seks dengan mereka yang lebih muda, tanpa harus terjebak pada perbincangan tentang pornografi yang justru makin merusak imaji mereka. Ini berat karena garis tipis tentang seks dan pornografi kadangg tidak terlihat, pun dengan penyampaian yang salah anak-anak remaja justru semakin penasaran dan bisa saja terjerembab ke jurang yang salah.

Baca juga bagaimana anak-anak terpapar pornografi di sini.

Seks memang sangat rumit. Melekat secara natural di semua manusia, tapi pantang untuk diekspos di ruang publik. Tapi memilih membicarakannya secara terbuka juga beresiko, bukan? Ada norma dan aturan agama yang membatasinya. Apalagi sebagai orang timur, kita masih hidup dengan dua hal itu.

Jadi sebenarnya bagaimana kita sebaiknya bicara tentang seks? Agar anak-anak remaja tidak justru salah menerima informasi dan salah memilih jalan? [dG]