Sinriliq; Terseok di Tengah Badai
Seni tradisional seperti perahu yang terseok-seok dihantam badai modernitas. Sinriliq salah satunya.
Di bawah temaram sinar lampu di malam yang gelap, pria itu duduk tegap sendirian. Di tangan kirinya sebuah alat musik berdawai berdiri tegak, di tangan kanannya tergenggam sebilah kayu yang juga berdawai. Kayu berdawai itulah yang digunakan untuk menggesek dawai pada alat di tangan kirinya untuk menimbulkan suara. Alat musik itu bernama kesok-kesok (dilafalkan dengan huruf E seperti ember), dalam bahasa Makassar berarti gesek atau menggesek. Mungkin diambil dari gerakan menggesek yang menghasilkan suara. Sepintas mirip biola, bedanya kalau biola disampirkan di bahu, kesok-kesok ditegakkan di depan tubuh.
Pria berambut gondrong dan berkumis lebat itu mulai mengalunkan nyanyian dalam bahasa Makassar. Nadanya sederhana, mendayu-dayu diiringi alunan musik yang keluar dari gesekan dawai kesok-kesok. Nyanyian itu kemudian berubah, dari bahasa Makassar menjadi bahasa Indonesia dengan nada yang lebih datar, seperti sebuah ujaran biasa. Suara dari kesok-kesok masih mengiringinya.
Pria itu adalah Syarifuddin Daeng Tutu, seorang seniman asal Gowa yang masih setia menggeluti seni tradisional. Seni yang ditunjukkannya malam itu bernama sinriliq (kadang juga ditulis sinrilik atau sinrili’), dia sendiri sebagai pemainnya disebut pasinriliq atau orang yang melantunkan sinriliq.
Seni sinriliq adalah seni tutur prosa peninggalan kerajaan Gowa, disinyalir sudah ada sejak abad ke-15. Saya belum menemukan catatan pasti dari mana sebenarnya sinriliq ini berasal, namun kemungkinan besar pengaruhnya datang dari Eropa melihat bentuknya yang mirip dengan biola. Pada masa itu kedekatan kerajaan Gowa dengan Eropa cukup kental, kerajaan Gowa menjadi salah satu pelabuhan yang ramai oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Eropa. Kemungkinan kedekatan itulah yang memengaruhi lahirnya alat musik sinriliq.
Sinriliq sebenarnya karya musik yang monoton, eksplorasi nadanya hanya sampai lima not dengan alunan yang nyaris sama dari awal sampai akhir. Di jaman kerajaan sinriliq digunakan sebagai media penyampai pesan raja sekaligus media yang menceritakan kisah-kisah para leluhur.
Sinriliq ada dua macam, sinriliq bosi timurung dan sinriliq kesok-kesok. Sinriliq bosi timurung dalam bahasa Makassar berarti sinriliq hujan turun, dilantunkan tanpa alant musik kesok-kesok. Nyanyiannya dilantunkan di kala sepi, ketika orang-orang sudah tertidur. Isi nyanyiannya biasanya adalah cerita sedih tentang kerinduan yang membuncah pada kekasih, orang tua atau kampung halaman.
Saya ingat semasa kecil saya pernah mendengarkan lantunan sinriliq bosi timurung yang dilantunkan seorang tetangga di rumah nenek di kampung. Sampai sekarang saya masih merinding kalau mengingat kejadian itu, padahal saya tidak mengerti sama sekali arti nyanyiannya. Lantunan nada sedih yang datang dari dalam hati itu sungguh mampu menyayat perasaan siapapun yang mendengarnya.
Berbeda dengan sinriliq bosi timurung, sinriliq kesok-kesok adalah sinriliq yang dibawakan dengan iringan musik kesok-kesok. Isinya lebih banyak adalah cerita heroik para leluhur, kisah-kisah percintaan, kearifan dan pesan-pesan bijak dari tetua. Sinriliq kesok-kesok inilah yang paling sering didendangkan. Salah satu kisah yang juga paling sering dihantarkan lewat sinriliq adalah kisah Tuanta Salamaka, gelar dari ulama besar Syech Yusuf. Selain kisah hidup beliau juga seringkali ajaran-ajarannya diselipkan dalam prosa sinriliq, ajaran yang mengandung filosofi hidup yang sangat dalam.
Terseok Di Tengah Badai.
Seperti kebanyakan seni tradisional di Indonesia, sinriliq juga seperti terseok-seok di tengah badai musik moderen yang datang dari negeri-negeri jauh. Jumlah pemainnya makin menyusut, demikian juga panggung-panggung yang memberi mereka ruang untuk bermain. Syarifuddin Daeng Tutu mungkin bisa dibilang masih satu era di bawah maestro sinriliq yang tenar di era dasawarsa 1980an sampai awal 1990an, Sirajuddin Daeng Bantang. Setelahnya nyaris tidak ada lagi yang menjadi pelanjut mereka.
Bulan lalu dalam sebuah acara komunitas di Makassar saya menyaksikan sendiri seorang anak muda berumur 20an tahun memainkan sinriliq kesok-kesok. Dandannya memang berbeda dengan dandanan pemain sinriliq pada umumnya. Kemeja hitam dengan celana jeans hitam menggantikan jas tutup dan sarung sutera, kepalanya pun tidak ditutupi patonro, penutup kepala khas Makassar.
Anak muda itu bernama Arif Rahman Daeng Rate. Dia memainkan kesok-kesoknya sembari menghantarkan lantunan prosa sinriliq dalam campuran bahasa Makassar dan bahasa Indonesia. Sebuah pemandangan yang buat saya seperti oase di tengah padang pasir, menyejukkan.
Ada harapan seni tradisional ini bisa bertahan di tangan anak-anak muda yang masih mencintainya. Ada harapan seni ini yang meski terseok-seok di lautan masih akan terus berlayar, menantang badai musik moderen. Setidaknya bencana karamnya seni tradisional ini masih bisa ditunda, entah sampai kapan.
Sayang sekali kalau generasi Bugis-Makassar di masa depan hanya tahu tentang budaya ini dari buku catatan atau rekaman tanpa pernah melihatnya langsung. Untuk saat ini saya bersyukur masih ada orang seperti Arief Rahman Daeng Rate, masih ada juga hotel seperti hotel Aryaduta yang kerap menampilkan pasinriliq di lobby mereka.
Jangan sampai musibah itu datang terlalu cepat. Karena sesungguhnya di dalam sinriliq selalu ada pesan kearifan yang bisa disesap. [dG]
Kukutaknangmi kalengku, kukutaknangmi iya kalengku / kukasukmang iya ri nyawaku, kukasukmang iya ri nyawaku / battu riapa iya assala’ kajariangku / ngasseangna karaengnu, pijagai mi kalengnu / kere mi mae pa’rimpungang nyawanu / battu ri ria ji antu, ka battu ri ria ji antu kajarianna iya nyawanu, siagang iya ria tojeng ji rama’liang tallasa’nu. (sinrilik pappasangna Anrong Gurutta)
Aku bertanya pada diriku, bertanya pada diriku sendiri / kutanyakan pada jiwaku sendiri, kupertanyakan pada jiwaku / dari mana asal kehadiranku / semua sepengetahuan Tuhanmu, jagalah dirimu sendiri / di mana nanti jiwamu akan kembali / semua dari Dia, jiwamu bisa ada hanya karena Dia, dan hanya Dia yang menjaga kehidupanmu. (sinrilik pesan Maha Guru)
Salah satu sinriliq yang bercerita tentang keberanian para pejuang kerajaan Gowa di masa lampau
[soundcloud url=”https://api.soundcloud.com/tracks/139033443″ params=”auto_play=false&hide_related=false&show_comments=true&show_user=true&show_reposts=false&visual=true” width=”100%” height=”450″ iframe=”true” /]
Sepertinya Arif Rahman ini yang saya lihat di Cakrawala TV (lokal Net TV) dan di seminar internasional yang saya hadiri di UNHAS bulan lalu.
Baguslah kalau ada anak muda seperti dirinya yang melestarikan sinrilik. Bagus ki karena dia campur dengan bahasa Indonesia supaya orang kayak saya ini bisa mengerti langsung saat dia melantunkan, sekaligus belajar bahasa Makassar sedikit-sedikit 🙂