Keruntuhan Kedua Kerajaan Gowa

Balla Lompoa, istana kerajaan Gowa
Balla Lompoa, istana kerajaan Gowa

Kalau manusia sudah mengedepankan ego dan nafsu berkuasa, maka gunung mana yang bisa menghalanginya?

Andi Maddusila Patta Nyonri Karaeng Katangka Sultan Alauddin II atau lebih dikenal sebagai Andi Maddusila mungkin bisa dimasukkan ke musium rekor Indonesia. Beliau yang sejatinya adalah anak dari Raja Gowa ke 36, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, bisa jadi adalah orang yang paling sering ikut pemilihan kepala daerah dan selalu kalah.

Beliau pertama kali ikut pemilihan kepala daerah di Kabupaten Gowa sejak tahun 2005 namun tidak berhasil finish di peraingkat pertama. Lalu lima tahun kemudian ikut lagi dengan hasil yang sama, gagal menjadi bupati. Dalam dua perhelatan pilkada itu, Andi Maddusila selalu kalah melawan Ichsan Yasin Limpo, adik kandung gubernur SulSel saat ini; Syahrul Yasin Limpo.

Tahun 2015 selepas dua masa pemerintahan Ichsan Yasin Limpo, Andi Maddusila kembali maju sebagai calon bupati. Hasilnya? Masih sama. Kalau di dua pilkada sebelumnya dia selalu kalah dari Ichsan YL, maka kali ini giliran sang anak dari Ichsan YL yang mengalahkannya. Adnan Purichta menjadi bupati dan Andi Maddusila kembali mencetak rekor yang sama; kalah bersaing di pilkada kabupaten Gowa.

Dengan catatan itu sepertinya memang sudah waktunya beliau ini dimasukkan ke musium rekor Indonesia sebagai orang yang paling sering ikut pilkada dan selalu berakhir dengan capaian yang sama.

Tahun 2011, Andi Maddusila dikukuhkan sebagai Raja Gowa ke 37 oleh Sekretaris Jenderal Forum Keraton se Nusantara, Gunarso G. Kusumodiningrat pada Senin, 17 Januari 2011. Pengukuhannya sebagai raja ini tidak serta merta diakui oleh pemerintah Kabupaten Gowa dan dianggap sebagai pengukuhan yang tidak sah. Alasannya karena kerajaan Gowa yang sudah menjadi bagian dari NKRI itu harusnya mengikuti arahan pemerintah dalam setiap kegiatannya, termasuk pengukuhan raja baru.

Sebagai bentuk perlawanan dari pemerintah daerah, Selasa 2 September 2014 pemerintah Kabupaten Gowa dan dewan Hadat Batesalapang (pemangku adat yang berfungsi sebagai dewan legislatif) melantik I Kumala Idjo Daeng Sila Karaeng Lembang Parang sebagai Raja Gowa ke 37. I Kumala Idjo adalah adik kandung Andi Maddusila.

Kubu Andi Maddusila tidak tinggal diam. Minggu 29 Mei 2016, Andi Maddusila kembali mengangkat dirinya sebagai Raja Gowa ke 37 yang kali ini kembali disaksikan oleh beberapa raja-raja se Nusantara. Pelantikan ini kembali tidak mendapat restu dari pemerintah kabupaten dan dewan Hadat Batesalapang. Alasannya sama, plus beberapa tambahan seperti pelantikan tidak diadakan di Balla Lompoa (istana raja) atau di Batu Pallantikang (kompleks makam suci raja-raja Gowa). Andi Maddusila dianggap sebagai raja yang tidak sah.

Raja Gowa ke 36 memang tidak menyiapkan putra mahkota, dan menurut dewan Hadat Batesalapang, raja selanjutnya tidak otomatis menunjuk putra pertama melainkan melalui mekanisme pemilihan oleh Batesalapang.

Oke, sampai di sini cerita sudah cukup memusingkan bukan? Ada dua raja dari dua kubu berbeda yang sama-sama mengklaim dirinya sebagai raja yang sah dari kerajaan yang pernah berjaya di abad 16 ini.

Karut marut belum tuntas, datang lagi satu berita mengejutkan lainnya.

Kamis 8 September 2016, bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan YL dilantik oleh ketua DPRD Kabupaten Gowa sebagai Ketua Lembaga Adat Daerah. Dengan pelantikan ini, Adnan Purichta secara resmi bergelar Sombayya Ri Gowa atau yang disembah di Gowa. Semacam sebutan lain untuk seorang raja.

Lembaga Adat Daerah (LAD) ini adalah hasil keputusan DPRD Kabupaten Gowa yang dituangkan dalam peraturan daerah nomor 5 tahun 2016. Isinya adalah mengatur kegiatan pelestarian budaya dan pengembangan budaya di Kabupaten Gowa. Dalam perda ini juga diputuskan bahwa bupati yang sekaligus menjadi ketua LAD akan bergelar Sombayya Ri Gowa atau setingkat dengan raja.

Pengukuhan Adnan Purichta sebagai ketua lembaga adat daerah (foto: Tribun Timur)
Pengukuhan Adnan Purichta sebagai ketua lembaga adat daerah (foto: Tribun Timur)

Di laman Facebook Page-nya, Adnan mengungkapkan kalau pengangkatan ini tidak lain adalah untuk melestarikan budaya Kerajaan Gowa yang pernah sangat disegani itu.

“Berangkat dari niat tulus dan ikhlas untuk menjaga seluruh asset-asset peninggalan sejarah dan melestarikan adat dan budaya Gowa, sehingga lahirlah Perda LAD,” begitu kata Adnan di statusnya.

Pernyataan itu sekaligus menyiratkan bahwa keluarga kerajaan Gowa dianggap tidak punya kapasitas untuk menjaga aset peninggalan sejarah dan melestarikan adat dan budaya Gowa sehingga dirasa perlu untuk diambil alih oleh pemerintah kabupaten melaui Perda. Perlu diketahui juga bahwa Adnan Purichta Ichsan YL tidak berasal dari garis keturunan raja atau berdarah biru meski keluarganya dikenal sebagai salah satu keluarga penguasa di Sulawesi Selatan.

Dalam bagian lain statusnya, Adnan juga memberikan alasan kalau sejak penyatuan kerajaan Gowa ke dalam pemerintahan NKRI maka otomatis tidak ada lagi raja setelah Andi Idjo Karaeng Lalolang yang merupakan raja terakhir dan sekaligus bupati pertama Kabupaten Gowa. Adnan mengisyaratkan bahwa siapapun yang menjadi bupati maka otomatis akan menjadi raja di Gowa. Sedangkan fungsi dan tugas dewan Hadat Batesalapang kemudian dilanjutkan oleh DPRD Kabupaten Gowa.

Pernyataan ini agak kontradiktif buat saya. Tidak ada lagi raja, tapi bupati otomatis menjadi raja? Tidak ada lagi raja tapi kemudian dia dilantik dengan upacara kerajaan dan kemudian bahkan menyandang gelar Sombayya Ri Gowa?

Kalau memang niatnya untuk melestarikan budaya dan aset-aset kerajaan, mugkin lebih bijak bila Adnan Purichta membuat lembaga independen saja yang tak harus mengusung simbol-simbol kerajaan. Toh kerajaan sudah dianggap tidak ada lagi, raja pun sudah pungkas di Raja Gowa ke 36.

Keputusan Adnan Purichta mengangkat dirinya sebagai ketua Lembaga Adat Daerah bergelar Sombayya Ri Gowa tentu menyakitkan hati para keluarga kerajaan yang sesungguhnya. Sudah mereka tak punya kuasa lagi secara politis dan hukum, sisa kejayaan sebagai keluarga kerajaan pun disunat. Beberapa warga Gowa juga bereaksi keras, mengutuk pelantikan yang mereka anggap tak berdasar dan pakasiri’-siri’ (memalukan) itu.

Minggu 11 September 2016 bentrokan sipil terjadi di depan Balla Lompoa, Sungguminasa. Beberapa prajurit kerajaan Gowa versi Andi Maddusila yang sedang mengawal prosesi accera kalompoang (pembersihan benda-benda pusaka kerajaan) diserang oleh kelompok warga lain yang diduga adalah orang-orang pendukung bupati Gowa.

*****

Karut-marut kerajaan Gowa ini sungguh memalukan. Sebagai orang Gowa saya jadi benar-benar merasa miris dan tidak habis pikir. Libido kekuasaan sudah sampai ke ubun-ubun dan membuat para pelakunya tak bisa lagi berpikir jernih. Apa saja dilakukan demi melanggengkan dan melebarkan kekuasaan.

Kerajaan Gowa memang sejatinya sudah tak lagi punya kekuatan politis dan hukum, hanya sebatas romantisme kejayaan masa lalu yang dibalut kalimat “pelestarian adat dan budaya”. Siapapun penerus sah raja Gowa harusnya berlapang dada untuk tidak menjerumuskan diri dalam dunia politik. Fokuslah mengurus pelestarian adat dan budaya saja tanpa harus merasa penting untuk ikut bertarung di dunia politik.

Pemerintah daerah pun seharusnya bisa meminggirkan ego berkuasa. Kalau memang niatnya mau melestarikan adat dan budaya, tak perlulah ikut-ikutan memanggul simbol kerajaan. Toh Jokowi juga tidak pernah merasa perlu menyandang simbol kerajaan meski dia didapuk menjadi pembina kerajaan-kerajaan se-Nusantara. Jusuf Kalla juga tidak pernah merasa perlu menghadiahi dirinya gelar kerajaan demi menjaga kemurnian adat dan budaya kerajaan Bone.

Raja dan bupati idealnya bisa duduk bersama-sama dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Raja bertugas menjaga dan melestarikan adat dan budaya, bupati bertugas menjaga dan melayani warga sesuai amanat pemerintahan. Toh banyak juga kerajaan lain di Nusantara yang berhasil melakukan praktik itu.

Tapi begitulah, kita memang akan sulit memahami ego dan nafsu kekuasaan manusia yang bisa jadi lebih besar dari gunung manapun di bumi ini. Ego besar itu bisa dibalut kalimat apa saja untuk menutupi tujuan yang sebenarnya. Ego besar itu juga yang serta merta menenggelamkan kejayaan kerajaan Gowa di masa silam.

Kalau dulu kerajaan Gowa takluk pada nafsu berkuasa orang-orang kulit putih berbendera Belanda, maka hari ini kerajaan Gowa takluk dan luluh lantak pada nafsu berkuasa orang-orang berkulit cokelat, anak-anak yang lahir dari rahimnya sendiri. [dG]