Dua Hari, Ratusan Inspirasi
Mereka orang-orang kampung yang lebih senang bekerja daripada tinggal mengeluh.
“Berjalan sambil membuka jalan.” Kalimat itu dilontarkan La Asiru atau yang kerap disapa Bapa Tua. Saya sempat berpapasan dengan pria tua ini di lift menuju lantai 18 Hotel Aston Makassar. Dia datang bersama dua orang temannya, seorang pria yang lebih muda dengan rambut panjang yang diikat serta seorang lagi yang juga lebih muda.
“Ini pakaian apa pak?” Tanya saya. Mereka bertiga memang menggunakan pakaian dengan corak yang sama, mirip kain lurik dari Jawa. Coraknya sederhana, hanya garis lurus dengan dua warna berbeda. Kalau kain lurik dari Jawa coraknya berwarna hitam dan cokelat maka kain yang digunakan Bapa Tua dan temannya berwarna terang.
“Ini pakaian adat Wakatobi.” Jawab pria yang lebih muda dengan rambut yang gondrong. Pria itu memakai sarung dengan corak yang sama. “Kalau itu pakaian pemuka adat.” Katanya sambil menunjuk Bapa Tua yang berdiri tepat di samping saya.
Saya menoleh, memperhatikan pakaian yang dikenakan Bapa Tua. Pakaiannya seperti jubah panjang bergaris hijau dan putih. Penutup kepala dari kain berwarna putih menutupi kepalanya. Dia terlihat gagah dan kharismatik dalam balutan pakaian adat itu.
Mereka bertiga terlihat unik di antara para undangan dan peserta yang hadir dalam acara Festival Forum KTI yang digelar di Hotel Aston Makassar, 17-18 Nopember 2015. Sebagian besar peserta dan undangan datang dengan pakaian rapi dan berbatik sementara mereka berpakaian adat. Selain mereka bertiga memang ada juga beberapa peserta lain yang berpakaian adat khas daerah mereka.
Catatan acara yang dibuat dalam grafis menarikLa Asiru dan teman-temannya adalah salah satu dari enam pelaku praktik cerdas dari Indonesia Timur yang bersama delapan inspirator lainnya ikut berbagi cerita di Festival Forum KTI 2015. Selama dua hari mereka bergantian naik ke panggung, menceritakan kisah mereka dan membagikan inspirasi buat siapa saja yang datang hari itu.
Bapa Tua dan teman-temannya datang dari Tomia, salah satu wilayah di provinsi Sulawesi Tenggara yang lebih dikenal sebagai Wakatobi. Mereka adalah orang-orang yang terusik nuraninya melihat begitu banyaknya terumbu karang yang rusak akibat penangkapan ikan menggunakan bom dan bius. Melihat kenyataan itu, mereka mencetuskan ide untuk menetapkan satu wilayah di mana tak boleh ada kegiatan menangkap ikan sama sekali. Wilayah itu mereka namakan bank ikan, tempat ikan-ikan hidup dengan senang di antara terumbu karang yang sehat.
Lima belas tahun berlalu dan hasilnya, ikan makin banyak lingkunganpun makin sehat. Ini yang disebut Bapa Tua sebagai “berjalan sambil membuka jalan.”
Sebelum trio dari Tomina itu membagikan kisah mereka, sudah ada duo dari Sembalun, Lombok Timur yang lebih dulu berbagi cerita. Mereka adalah pak Kud dan ibu Sakinah yang tinggal di sebuah desa di kaki gunung Rinjani. Selama turun temurun, gunung Rinjai dianggap sebagai ibu bagi orang Lombok. Sayangnya, gunung Rinjani juga kadang memberikan beragam bencana yang menyengsarakan warga Lombok, utamanya mereka yang hidup di kakinya.
Melihat kenyataan ini, pak Kud dan ibu Sakinah mencari cara untuk mengenali bahaya gunung Rinjani dan meminimalisir ancamannya. Mereka mempelajari tindakan yang perlu dilakukan dalam taraf darurat bencana dan mempersiapkan diri dengan mata pencaharian alternatif sekiranya bencana kembali menimpa desa mereka.
Inspirasi yang Menohok
Selama dua hari, lantai 18 Hotel Aston Makassar benar-benar dipayungi ragam inspirasi dari banyak orang yang selama ini mungkin hanya dianggap sebagai “orang kampung”. Mereka datang dari banyak daerah di timur Indonesia. Dari Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku sampai Papua.
Dari Sulawesi selain Bapa Tua dan teman-temannya ada juga para petani dari Salassae, Kab. Bulukumba yang berhasil membawa kalimat “kedaulatan pangan” menjadi kenyataan. Ketika kalimat itu menjadi pemanis bibir pemerintah, mereka dalam senyap membuatnya menjadi nyata. Mereka belajar sendiri bagaimana bertani dengan cara alami-untuk menolak kata organik. Sampai kemudian perlahan tapi pasti mereka sudah berhasil memanen padi dari sawah mereka, padi yang ditanam dan dirawat tanpa sedikitpun melibatkan bahan kimiawi. Mereka menyebut diri sebagai petani pembelajar yang berdaulat.
Dari Sorong, Papua Barat ada sekelompok anak-anak muda yang bekerja tanpa pamrih, mendorong perahu ke lautan mengunjungi anak-anak di Raja Ampat. Tujuan mereka satu, mengajarkan anak-anak itu tentang ekosistem pantai dan laut beserta berbagai satwa yang ada di sekitar mereka. Tujuannya agar anak-anak itu kelak akan tumbuh sebagai orang-orang yang mencintai laut dan menjaga masa depan Raja Ampat.
Selain para pelaku praktik cerdas, ada pula orang-orang yang memberi inspirasi. Dari anggota DPRD yang berusaha menggolkan peraturan daerah yang memungkinkan penyakit malaria musnah di Halmahera Selatan, sampai ibu Agustina Apaseray yang seorang ibu rumah tangga biasa tapi juga aktif sebagai kader kesehatan . Ada pula Kompol Woro Susilo, seorang kapolsek yang membuka ruang konsultasi karena melihat tingginya tingkat kejahatan di daerah Tallo, kota Makassar. Selain Kompol Woko Susilo ada juga Eko Wagiyanto, kapolres Mamuju yang bergerak untuk menginisiasi suatu program terobosan dengan nama Gerakan Kembali Ke Sekolah. Dia resah melihat tingkat putus sekolah yang lumayan tinggi di Mamuju.
Acara dua hari ini lalu ditutup dengan dentuman musik hip hop dari Maluku Hip Hop Community yang tergabung dalam Ambon Bergerak. Mereka adalah anak-anak muda Ambon yang tergerak menyembuhkan luka pasca konflik horisontal di Ambon dengan cara-cara yang ngepop dan khas anak muda.
Masih banyak lagi para pelaku praktik cerdas dari berbagai daerah di Indonesia Timur. Latar mereka kebanyakan “orang kampung” yang mungkin bagi sebagian besar orang dianggap tak pandai. Tapi mereka memberi bukti kalau mereka justru lebih pandai dari mereka yang hanya bisa berkoar-koar, mencela dan mengkritik.
Di jaman ketika makin banyak orang yang merasa keren dengan mengkritik dan mencela pemerintah, masih banyak orang-orang yang bekerja keras, menyingsingkan lengan baju dan membiarkan tubuh berpeluh untuk mencari cara agar bisa hidup lebih baik dan lebih berguna bagi sekitar. Mereka ini orang-orang yang bekerja dalam sunyi, tak pernah berpikir menjadi pesohor yang bahkan acara kawinan dan kelahiran anaknya saja ditayangkan televisi nasional seakan-akan itu adalah kepentingan banyak orang.
Merekalah orang-orang yang disebut Andy F Noya sebagai pahlawan dalam senyap, pahlawan yang tak tersorot lampu. Mereka menohok kita yang lebih rajin mengeluh daripada bekerja. Segala hormat buat mereka. [dG]
so inspiratif
mungkin ini semacam antitesis atas ketidakhadiran negara bagi rakyatnya. secara natural memunculkan sosok/organisasi yang akhirnya mengambil peran negara entah dalah hal mencerdaskan ataupun mensejahterakan masyarakat.
iya betul. mereka berpikir daripada capek menunggu negara datang mending berbuat apa yang bisa dibuat