Rubuhnya Tugu Kami

Tugu Adipura (foto: katailmu.com)
Tugu Adipura (foto: katailmu.com)

Mudah-mudahan AA Navis tidak tersinggung salah satu judul romannya saya culik sedikit untuk saya jadikan judul tulisan, apalagi karena isi tulisan ini sama sekali tidak mirip dengan roman beliau.

Jadi begini, sekira 17 tahun yang lalu kota Makassar yang kala itu masih bernama Ujung Pandang berhasil meraih piala Adipura, piala yang sempat salah dimengerti pak Hatta Rajasa di debat capres lalu sebagai Kalpataru. Adipura ini diterima kota Makassar (Ujung Pandang waktu itu) sebagai ganjaran atas kota yang kala itu menggunakan slogan TEDUH BERSINAR (tekad untuk hidup bersih sehat indah aman dan rapi) khas Orde Baru. ?Iya, slogan itu masih saya hapal di luar kepala sebagai tanda kalau saya memang sudah cukup dewasa kala itu.

Sebagai perangkat kota yang meraih Adipura, rasa bangga tentu saja ada. Ini manusiawi, bukankah manusia memang butuh tanda yang bisa membuatnya bangga? Apalagi kalau tanda itu didapat setelah mengalahkan orang lain. Maka dibangunlah sebuah tugu besar setinggi sekira 7 meter di antara Jl. Perintis Kemerdekaan-Urip Sumohardjo-DR. Leimena, kira-kira sepelemparan batu dari halaman PLTU Tello.

Selama 17 tahun tugu itu berdiri tegap di sana, bahkan ketika Ujung Pandang berganti nama menjadi Makassar. Tugu itu sebagai lambang kalau kota ini pernah bersih, pernah meraih predikat kota bersih mengalahkan kota-kota lain di Indonesia. Banyak yang terpesona, melihatnya sebagai menara gading perlambang kesuksesan, tapi banyak pula yang tidak peduli. Bagi sebagian orang tugu ini adalah perlambang kesuksesan yang menjaga romantisme masa lalu, bagi sebagian lainnya tugu ini tak lebih dari bangunan biasa yang kebetulan berdiri di pertigaan jalan.

Waktu terus berputar, tugu itu masih tetap berdiri di sana. Di sekelilingnya kendaraan makin bertambah dari hari ke hari. Mobil, motor dan bentor membengkak seperti bisul yang tidak diobati. Di tahun 2014 diperkirakan ada 2.4 juta kendaraan bermotor yang beredar di kota Makassar, 1.2 juta di antaranya adalah motor. Tugu Adipura yang berdiri di tepi jalan provinsi jadi saksi makin sesaknya jalanan akibat mesin-mesin beroda itu. Selama beberapa tahun belakangan ini dia juga jadi saksi kemacetan luar biasa di depan matanya ketika jam sibuk tiba.

Kalau saja tugu itu punya nyawa saya yakin dia sudah lama memutuskan untuk bunuh diri. Setiap hari dipaksa berdiri di bawah terik matahari dan siraman hujan hanya untuk melihat manusia-manusia yang stress karena macet dan mempertontonkan nafsu mereka menyerobot senti demi senti jalanan yang tersisa. Untung saja Tugu Adipura tidak diberi nyawa.

*****

Dan kemudian pemerintah kota Makassar di bawah kendali walikota baru tiba-tiba saja punya ide brilian! Tugu itu harus dirobohkan karena menjadi biang macet, membuat jalanan sesak dan antrian panjang mengular setiap jam sibuk. Ide yang sungguh brilian dan pasti lahir dari pemikiran panjang seorang ahli yang sudah kenyang makan asam-garam perencanaan tata kota.

Ide ini memang ide yang tidak biasa, anti mainstream kata orang sekarang. Di kota-kota lain ide mengurai kemacetan biasanya dengan memperlebar jalan atau yang paling ideal menyediakan angkutan massal yang layak, tapi kami memang beda. Ide ini jelas lebih murah dan lebih masuk akal. Toh kasian juga tugu itu sudah lama berdiri di sana dan nyaris hilang dari perhatian warga. Jadi daripada hanya menyesaki kota dan jadi biang kemacetan maka lebih baik tugu itu dirubuhkan saja, apalagi tugu itu bukan termasuk benda cagar budaya. Cerdas!

Suasana perubuhan tugu Adipura
Suasana perubuhan tugu Adipura

Dan akhirnya subuh hari Sabtu tanggal 1 November tugu itu nyaris rata dengan tanah dan menyisakan tumpukan material bangunan. Tidak ada lagi tugu berbentuh piala Adipura dengan tangan-tangan yang menyokongnya. Pemerintah kota juga sudah membuat tugu gantinya di awal tahun 2014, letaknya di anjungan Pantai Losari. Bukan satu, tapi dua sekaligus karena tahun lalu Makassar juga kembali meraih piala Adipura yang dibalut dengan pertanyaan; pantaskah?

Tapi kita kembali ke tugu Adipura lama yang sudah jadi mantan tugu itu. Dia memang harus segera dimatikan sebelum dia yang membunuh dirinya sendiri. Pemkot Makassar hanya berbuat baik, mengakhiri penderitaannya yang tiap hari harus melihat sendiri kemacetan di depan hidungnya. Tugu itu harus dikorbankan meski tentu saja aneh karena dia sudah ada di sana sebelum macet datang.

Pemerintah kota Makassar sangat cerdas mencari solusi kemacetan. Kalau ada macet maka rubuhkan satu bangunan di sekitar titik macet itu, maka macet pasti terurai. Setelah ini saya berharap pemerintah kota juga akan segera merubuhkan Toko Agung di Jl. Ratulangi atau Toko Alaska di Jalan Pengayoman karena kedua toko itu juga sering jadi biang macet.

Jadi alih-alih menyediakan transportasi umum yang layak atau mengontrol jumlah kendaraan bermotor pemerintah kota lebih memilih jalan pintas nan instan; merubuhkan bangunan di tepi jalan. Rubuhnya tugu kami adalah cara cerdas untuk mengurai kemacetan. Semoga segera diikuti dengan merubuhkan bangunan lain yang juga sering jadi biang macet.

Tugu Adipura juga sekaligus tanda seru tentang perencanaan tata kota yang amburadul, tata kota yang tidak berpikir belasan atau puluhan tahun ke depan. Kalau memang tahu jalan itu nantinya akan jadi sangat ramai harusnya tugu itu tidak dibangun di sana, mungkin lebih elok bila membangunnya di dekat TPA Tamangapa yang sampai sekarang masih juga sepi dan jauh dari kata macet. Jadi daripada hanya mempertontonkan ketololan sendiri maka lebih baik dia dirubuhkan saja.

Maju terus pemkot Makassar! Rubuhkan semua bangunan yang jadi biang macet! Karena kota ini memang dibangun untuk mengakomodir kendaraan dan mesin-mesin [dG]