Hangat Di Atas Pasar Terapung
Foto Floating Market karya Abdullah di Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia mengingatkan saya pada pengalaman ketika mengunjungi Lok Baintan setahun yang lalu. Pengalaman yang mengajarkan saya bahwa kesederhanaan yang tulus itu ada di atas sungai.
Seorang wanita tua berkebaya lusuh mendayung sampannya dengan perlahan. Sampan yang dalam bahasa daerah Banjar bernama jukung itu berisi hasil bumi. Di atasnya ada bertandan-tandan pisang, sebagian masih berwarna hijau sisanya sudah mulai menguning. Sesekali sampan kecilnya bersinggungan dengan sampan lainnya. Ada puluhan sampan yang mengambang di atas sungai Martapura, berdempetan di sisi yang dekat dengan daratan. Gesekan dan benturan kecil antar sampan tak terhindarkan.
Wanita tua itu satu dari puluhan orang yang beraktifitas di pasar apung Lok Baintan pagi itu. Mayoritas dari mereka adalah wanita dari beragam usia, dari yang masih muda sampai wanita tua dengan kerutan di sekujur wajah. Hanya ada satu-dua pria yang berada di antara para wanita itu.
Lok Baintan adalah salah satu pusat aktifitas pasar terapung di Kalimantan Selatan, jaraknya sekisar 45 menit perjalanan dari kota Banjar Baru. Di sanalah pagi itu saya dan beberapa kawan menyaksikan dari dekat aktifitas warga yang sudah ada sejak Kesultanan Banjar.
Matahari masih belum bangun ketika kami meninggalkan kota Banjar. Jarum jam masih menunjukkan pukul 4:30 pagi, udara dingin menggigit tapi kami dengan penuh semangat menyusuri jalan menuju desa Sungai Pinang tempat dermaga Lok Baintan berada. Awalnya jalan lebar dan mulus, di sisi jalan hanya ada satu-dua rumah yang berada di antara lahan kosong yang ditumbuhi ilalang.
Semakin dekat ke Lok Baintan, jalanan makin menyempit dan tak lagi mulus. Di atas mobil kami terguncang hebat, membuat kantuk yang sebenarnya masih menggantung jadi lenyap tak berbekas. Pelan-pelan kami mulai menyusuri jalanan desa di tepi sungai Martapura. Beberapa rumah kayu sederhana berbaris di tepi sungai. Listrik sudah mencapai daerah itu, terlihat dari lampu yang menyala dan beberapa antena televisi ditopang bambu yang menjulang tinggi dari rumah warga.
Kami harus berangkat subuh-subuh dari Banjar Baru karena pasar apung Lok Baintan memang mulai sejak pukul 6 pagi dan selesai sekisar 2 jam kemudian. Aktifitas pasar apung di Lok Baintan memang tak bertahan lama karena para pedagang itu hanya memanfaatkan arus sungai dari hulu ke muara. Tak seperti pasar di daratan yang bergeming sepanjang hari, pasar apung bergerak kemana arus membawa mereka.
Pasar itu dimulai dari hulu, puluhan pedagang di atas sampan bergerak melewati dermaga Lok Baintan. Di sana mereka perlahan mulai berdempetan, bertemu satu sama lain dan memulai aktifitas perdagangan. Di atas sampan yang tak bisa diam mereka bertukar sapa, bertukar barang dan sesekali bertukar cerita. Terus begitu sampai sampan-sampan mereka perlahan bergerak ke arah muara dibawa arus. Ketika matahari makin menghangat dan arus membawa mereka makin jauh ke muara, mereka akan membubarkan diri dan bertemu di pekan berikutnya. Terus begitu selama ratusan tahun.
Suasana pasar apung Lok BaintanSederhana dan hangat.
Sungai adalah urat nadi warga Kalimantan. Di sekujur tubuh pulau besar ini mengalir ratusan sungai yang beranakcabang ke sana-sini. Di sekitarnya hidup manusia-manusia yang menggunakan sungai untuk menopang kehidupan mereka. Dari yang mencuci baju dan pakaian, membasuh tubuh, membuang kotoran hingga mereka yang berdagang seperti di pasar apung Lok Baintan. Di atas sungai kehidupan-kehidupan itu tumbuh dan bertahan sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu.
Pasar apung Lok Baintan adalah kearifan lokal yang berhasil bertahan melewati gempuran modernitas yang bagi sebagian orang susah dilawan. Sebagian pelakunya masih bertahan dengan cara transaksi kuno lewat tukar-menukar barang tanpa melibatkan uang. Sayuran ditukar dengan barang plastik, beras ditukar dengan sayuran, dan sebagainya dan sebagainya. Sesuatu yang nyaris punah saat ini.
Interaksi di pasar apung Lok Baintan adalah interaksi yang primitif tapi hangat. Semua pedagang bertatap muka, bertukar pandangan, dan sapaan. Tak lupa senyuman tipis tapi hangat tersungging di bibir. Semua berlangsung sederhana, alami dan terasa hangat. Ketika sampan mereka bersinggungan dan berbenturan, tak ada rona marah atau jengkel. Mereka sadar, benturan dan singgungan itu adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang disengaja.
Interaksi di pasar apung rasanya sangat berbeda dengan interaksi di pusat perbelanjaan modern. Meski semua barang tersedia di sana, lengkap dengan interior yang nyaman dan sejuk tapi rasa dingin tak sanggup beranjak pergi. Lihat wajah para pekerjanya, mereka memang ramah melayani tapi terasa sebagai basa-basi yang harus mereka lakukan sesuai standar operasional mereka. Senyum di bibir sering terasa hambar seiring tubuh yang makin lelah. Kontak mata jadi tak tercipta ketika mereka mulai berpikir tentang nyamannya kamar tempat mereka beristirahat. Kadang tak ada kesungguhan dalam semua keramahan mereka.
Di Lok Baintan, di atas nadi sungai yang mengalir dan menghidupi orang Kalimantan, kehangatan itu sangat terasa. Kebutuhan paling mendasar manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya mengejewantah di atas puluhan sampan yang mengapung di sungai Martapura. Tidak ada SOP yang harus ditaati, tidak ada supervisor yang menjamin semua berjalan sesuai SOP. Yang ada hanya insting dasar manusia untuk saling menghargai dan berinteraksi dengan sesamanya.
Suatu hari nanti pasar apung Lok Baintan mungkin akan menghilang, tergerus oleh raksasa bernama modernitas. Sebelum itu datang, setidaknya kita sudah pernah melihat sebuah mahakarya kearifan lokal Indonesia yang dibingkai dalam Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia. Sebelum benar-benar menghilang, luangkan waktu untuk merasakan kehangatan yang mengapung di atas sungai Martapura. Kehangatan yang alami dan tidak dipaksakan. [dG]
ah .. jadi kangen makan soto banjar sambil bergoyang diatas perahu.
ulasan nya sangat menarik, keren2.
terima kasih sudah berkunjung 🙂
memotret masyarakat indonesia memang sangat menarik, cita rasa Indonesia..
I Love Indonesia.., yeahh…
dari dulu pengen main kesini belum kesampaian 🙁
keren tulisannya… kadang2 pertanyaan yg muncul adalah seberapa lama waktu yg diperlukan untuk menulis yg bgini?
terima kasih 🙂
tulisan ini saya buat sekitar 30-45 menit, lumayan lama dibanding tulisan lain yang lebih ringan
ini memang bikinnya agak serius
hehehe