USA 94; Menangis Bersama Baresi

Kesedihan Pemain-Pemain Italia di WC 1994
Kesedihan Pemain-Pemain Italia di WC 1994

Melanjutkan postingan minggu lalu tentang kenangan bersama piala dunia, minggu ini saya berlanjut ke USA 94, salah satu piala dunia yang paling berkesan buat saya.

Beberapa detik setelah Roberto Baggio gagal menuntaskan penaltinya, saya termenung di depan televisi. Sama sekali tidak siap dengan kenyataan pahit tim nasional Italia kalah dengan cara menyakitkan dari Brasil di partai final USA 1994. Sejak awal saya dan beberapa teman memang menaruh harapan besar pada skuat binaan Arrigho Sacchi. Saat itu Italia memang jadi kiblat sepakbola dunia, tidak heran kalau fans tim nasional mereka sangat banyak. Mungkin sama dengan Spanyol sekarang.

Meski difavoritkan di USA 94 tapi langkah Italia tidak mulus, hampir sama dengan langkah Argentina empat tahun sebelumnya di Italia. Saking samanya, di USA 94 Italiapun lolos ke babak berikutnya dengan status salah satu urutan ketiga terbaik. Dari babak perdelapan final langkah mereka makin membaik, menyingkirkan Nigeria yang sedang menawan, menggeser Spanyol yang kala itu masih belum sekuat sekarang dan terakhir menghentikan langkah Bulgaria yang sedang meroket sebelum akhirnya bertemu Brasil di partai final.

Logo USA 94
Logo USA 94

Piala dunia 1994 ini jadi catatan tersendiri karena untuk pertama kalinya piala dunia digelar di Amerika Serikat, negarayang justru lebih akrab dengan basket, baseball dan american football. Di negeri Paman Sam ini sepakbola bahkan diberi nama aneh: soccer karena kata football bagi mereka lebih akrab dengan permainan mirip rugby yang mereka kembangkan sendiri.

Seperti biasa, piala dunia digelar sekitaran bulan Juni dan Juli yang berarti tepat di musim liburan anak sekolah. Kala itu saya sudah berseragam putih abu-abu dan tentunya sudah lebih banyak tahu tentang sepakbola dibanding 4 tahun sebelumnya. Bersama 2 orang kawan akrab kala itu kami mengisi hari-hari dengan cerita seputar sepakbola. Nyaris tidak ada tema lain selain sepakbola, sepakbola dan sepakbola.

Tahun 1994 stasiun televisi sudah mulai beragam, tidak hanya TVRI semata. Jadilah kala itu siaran piala dunia dibagi hak siarnya ke beberapa stasiun televisi. Seingat saya ada 4 stasiun televisi yang saling bantu membantu membeli hak siar piala dunia dan menyajikannya secara gratis ke penikmat sepakbola di Indonesia. Mereka adalah: TVRI, RCTI, SCTV dan TPI (sebelum berubah menjadi MNCTV). Dari siaran keempat stasiun televisi itulah kami menghabiskan waktu dari malam hingga pagi, memelototi pertandingan-pertandingan di USA 94.

Dari sekian banyak pertandingan, ada beberapa pertandingan yang sangat berkesan. Pertama adalah partai terakhir penyisihan grup E antara Italia dan Mexico. Pertandingan ini menentukan nasib Italia, apakah dia bisa lolos ke babak enam belas besar atau tidak. Syaratnya Italia harus menang atau jika imbang maka Republik Irlandia harus kalah dari Norwegia. Detik-detik pertandingan sungguh mendebarkan hingga akhirnya peluit panjang dibunyikan. Italia lolos ke babak selanjutnya dengan titel peringkat ketiga terbaik. Saya dan beberapa teman bersorak di depan televisi, sungguh pertandingan yang mendebarkan!

Pertandingan kedua yang juga berkesan adalah ketika Italia bertemu Spanyol di babak perempat final. Spanyol tampil sangat bagus kala itu, mereka bahkan lolos ke USA 94 dengan hasil mentereng, tidak seperti Italia yang tertatih-tatih. Pertemuan keduanya adalah pertemuan dua sepakbola indah yang menampilkan aksi individu menawan. Italia lolos ke babak semi final dengan skor 2-1, salah satunya adalah gol menawan dari Roberto Baggio dua menit menjelang pertandingan usai.

Dan pertandingan ketiga yang paling berkesan tentu saja adalah pertandingan final. Kami tahu kalau Brasil lebih siap dan lebih diunggulkan dari sisi skill, tapi kami menutup mata. Kami masih yakin Italia bisa menjadi juara kala itu. Ketika pertandingan harus diakhir dengan babak perpanjangan waktu dan tidak ada gol yang tercipta kami makin yakin kalau Italia bisa jadi juara. Italia punya kiper tangguh dalam diri Gianluca Pagliuca. Tapi rupanya kami lupa kalau Brasil punya mental juara yang sangat tebal, pun mereka selalu ditemani dewi fortuna kala adu keberuntungan dari titik penalti digelar. Italia sebaliknya, 4 tahun sebelumnya mereka sudah memberi bukti kalau adu penalti bukan teman baik mereka dan dewi fortuna membenci mereka.

Akhirnya ketakutan kami jadi kenyataan. Danielle Massaro, Franco Baresi dan Roberto Baggio gagal menjalankan tugas. Sepanjang adu penalti kami berdebar di depan televisi hingga akhirnya harus terkulai lemas ketika Taffarel dan pemain-pemain Brasil bersorak riang. Saya bahkan sulit menahan keharuan dan air mata melihat Franco Baresi yang menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil.
Piala dunia 1994 akan selalu saya kenang sebagai piala dunia yang saya akhiri dengan menangis bersama Baresi. [dG]