Menunggu lahirnya pahlawan masa depan

 

 

Jarum jam masih menunjuk ke angka 8, matahari belum terlalu panas. Rumput-rumput dan daun-daunan masih bercumbu dengan embun yang basah. Di sebuah lapangan rumput berukuran setengah dari lapangan sepakbola, dua puluh dua orang anak lelaki sedang asyik berpeluh sambil memainkan sebuah bola.

 

Anak-anak itu tampak sangat bersemangat, mereka berlari ke sana ke mari. Bergerombol memperebutkan bola. Sesekali ada juga dari mereka yang mencoba meliuk-liuk dengan bola di kakinya. Semangat terlihat jelas dari mata-mata mereka yang berbinar cerah saat tanpa rasa lelah mengejar si kulit bundar. Sesekali ada juga dari mereka yang berbenturan, terjatuh, mengaduh sejenak sebelum kemudian kembali berdiri dan kembali mengejar bola. Di tengah lapangan ada 3 orang dewasa yang dengan setia terus mengarahkan mereka, memberi semangat sambil sesekali memerintah. Mereka adalah pelatih anak-anak itu.

 

Hampir setengah jam lamanya saya berdiri di pinggir lapangan, menikmati semangat anak-anak yang umurnya tak lebih dari 12 tahun itu. Sesekali saya tergelak saat melihat aksi mereka, ada anak-anak yang punya semangat yang melebihi kemampuan fisik mereka. Sungguh 30 menit yang menyenangkan. Semangat mereka, peluh mereka dan fantasi mereka adalah sebuah kenikmatan tersendiri.

 

Sejenak saya berandai-andai, salah satu-atau mungkin semuanya- dari 22 anak-anak ini nantinya akan berdiri di sebuah podium besar, mengangkat sebuah tropi berlapis emas, menciumnya sebelum mengangkatnya tinggi ke udara di sela-sela confetti yang jatuh bak tetesan hujan. Saya membayangkan salah satu dari anak-anak ini adalah pahlawan masa depan Indonesia yang bersama anak-anak muda lainnya bahu membahu mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia.

 

Mimpi saya mungkin berlebihan. Tapi namanya juga mimpi, tak mengapa bila berlebihan bukan ?, meski saya tak bisa membedakan ini mimpi atau sebuah harapan ?.

 

Seminggu sebelumnya, saya sempat merasakan kebanggaan yang membuncah dan nyaris berujung pada tetesan hangat di mata saat melihat berita tentang belasan anak-anak dari SSI Arsenal Indonesia yang berhasil menjadi runner up pada kejuaraan antar sekolah sepakbola Arsenal di London. Anak-anak itu berhasil mengalahkan beberapa wakil sekolah sepakbola Arsenal dari beberapa negara sebelum akhirnya dikandaskan oleh tim SSB tuan rumah.

 

Selepas pertandingan final mereka menangis, kecewa karena tak bisa menuntaskan impian mereka membawa pulang tropi terbaik itu ke Indonesia. Tapi mungkin tanpa mereka sadari, ada banyak orang di negeri ini yang merasakan kebanggaan yang membuncah melihat perjuangan mereka. Meski tak mampu membawa pulang gelar terbaik, namun perjuangan mereka ibarat sebuah oase nan sejuk di tengah kegersangan akan kebanggaan pada prestasi negeri sendiri.

 

Apa yang dicapai oleh anak-anak SSI Arsenal memang bukan yang pertama. Beberapa tahun sebelumnya anak-anak Makassar Football School (MFS) sudah pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas Danone World Cup di Lyon-Perancis. Terlepas dari kontroversi yang mengatakan kalau mereka berbuat curang dengan melakukan pencurian umur, toh kenyataan bahwa mereka dapat mengalahkan bangsa-bangsa lain yang lebih maju dalam urusan sepakbola tetaplah sebuah kenyataan yang membanggakan.

 

Artinya adalah bahwa sebenarnya kita tak kekurangan bakat. Anak-anak Indonesia punya bakat yang sama besarnya dengan anak-anak di belahan dunia lain. Yang membedakan hanyalah pembinaan. Selepas aksi yang sekaligus menjadi etalase bakat-bakat mereka, anak-anak Indonesia akan terlantar begitu saja. Tak ada tingkatan pembinaan yang akan mengasah bakat dan kemampuan mereka. Tak ada kompetisi yang berjenjang dan sehat serta betul-betul kompetitif yang akan menempa kemampuan mereka. Anak-anak itu hanya akan berkembang seperti anak-anak yang lain, tanpa ada perhatian serius dari pihak yang berwenang. Mereka memang masih terus bermain sepakbola, tapi tanpa sebuah iklim yang kompetitif hingga akhirnya bakat mereka yang luar biasa itu akan hilang tanpa bekas.

 

Bertahun-tahun yang akan datang, saat anak-anak berbakat itu sudah tumbuh remaja, mereka akan bercerita dengan bangga tentang prestasi masa kanak-kanak mereka. Mereka akan menunjukkan tropi pertama-dan terakhir- yang mereka raih. Mereka bercerita kalau mereka pernah sukses bermain sepakbola. Mata mereka akan berbinar kala mengenang masa keemasan mereka yang telah berlalu.

 

Sementara itu di belahan dunia yang lain, anak-anak yang mungkin pernah mereka kalahkan bertahun-tahun sebelumnya  sedang memulai sebuah masa keemasan. Mereka sedang memanen hasil dari sebuah pembinaan yang berjenjang dan tentu saja berkualitas. Mereka sedang bersiap meraih mimpi mereka. Mereka sedang bersiap menikmati manisnya sebuah pembinaan yang tidak saja meningkatkan martabat mereka namun sekaligus mengangkat nama harum negeri mereka.

 

Negeri kita memang tak terlalu akrab dengan sebuah sistem bernama pembinaan. Negeri kita terlalu akrab dengan budaya instan, dan negeri kita terlalu gampang melupakan. Negeri kita mulai kehilagan kesabaran, mulai kehilangan semangat untuk bekerja keras menanam dan bersabar menunggu hasil panen. Padahal semua pasti tahu kalau sebuah kesuksesan yang abadi dan akan dikenang lama adalah sebuah kesuksesan yang lahir dari sebuah perjuangan panjang nan melelahkan. Bukan sebuah kesuksesan instant yang datang terlalu cepat.

 

Matahari mulai menghangatkan kulit kala saya berlalu dari pinggir lapangan. Anak-anak itu masih terus bersemangat mengejar dan menendang  bola. Impian saya masih terus tersimpan, meski saya ragu untuk berharap. Setidaknya sampai pembinaan menjadi barang yang dibutuhkan di negeri ini. Mungkin salah satu dari anak-anak itu adalah calon pahlawan masa depan, mungkin juga tidak….[DG]