Saya sudah tidak sabar menunggu sepakan pertama di Brazil 2014 tanggal 13 Juni nanti. Hampir tidak ada euforia sebesar euforia piala dunia bagi saya, dan untuk menyambut bulan suci sepakbola itu saya akan mencoba menulis ingatan yang berserakan tentang piala dunia yang sudah saya lewatkan sebagai penonton. Dimulai dari piala dunia Italia 1990.
Saya baru mau naik kelas 2 SMP kala itu, sepakbola sudah menjadi bagian dari keseharian saya, jadi salah satu hobi yang bisa membuat saya betah mengobrol dan memainkannya selama berjam-jam. Kala itu informasi belum sederas sekarang, stasiun televisi nasional baru ada 1, TVRI. Internet tentu saja belum ada, dan dengan informasi terbatas itulah kami anak-anak kampung ini mengenal sepakbola.
Sebenarnya bukan piala dunia yang jadi gerbang saya mengenal sepakbola, tapi piala Eropa 1988. Kejayaan Belanda dengan Gullit, Van Basten dan Rijkaardlah yang bertanggung jawab penuh pada kecintaan saya pada olahraga ini. Piala dunia 1986 sebenarnya sudah pernah saya dengarkan sepintas, tapi belum sempat membangkitkan minat saya. Baru sekadar membuat saya gandrung bermain di lapangan bola depan rumah.
Kita kembali ke Italia 1990. Saya menonton partai pembukanya bersama Alm. Bapak yang sebenarnya tidak terlalu menggemari sepakbola. Argentina sang juara bertahan dengan Diego Maradona sang penyihir bertemu Kamerun yang kala itu masih jadi negara antah berantah, masih kalah terkenal dari negara Afrika lain sebangsa Ethiopia yang lebih sering masuk Dunia Dalam Berita. Tapi kita tahu cerita akhir dari partai pembuka itu, Kamerun menang dengan gol yang lebih sedikit dari kartu merah yang mereka terima. Argentina dan Maradona seketika menjadi candaan orang dan mulai diragukan bisa melangkah lebih jauh.
Format piala dunia waktu itu beda dengan piala dunia sekarang. Peserta total masih 24 negara yang dibagi dalam 6 grup, sehingga negara yang lolos ke babak 16 besar adalah juara dan runner up tiap grup ditambah 4 peringkat ketiga terbaik dan dengan kesempatan itulah Argentina bisa lolos ke babak penyisihan berikutnya.
Saya masih sangat muda waktu itu, belum bisa bertahan melek untuk menyaksikan pertandingan yang rata-rata dimulai tengah malam hingga subuh. Untuk menutupi kebolongan itu saya (dan teman-teman karib) rajin membeli tabloid BOLA yang kala itu masih jadi tabloid olahraga satu-satunya.
Satu hal yang paling saya ingat tentang Italia 90 adalah lagu Final Countdown dari band Europe, lagu ini jadi salah satu lagu resmi piala dunia yang selalu diputar TVRI setiap kali pertandingan akan dimulai. Ipul kecil yang terkantuk-kantuk akan segera berusaha membelalakkan mata setiap kali lagu ini terdengar.
*****
Sekarang mari ke lapangan hijau. Dari ratusan pemain yang hadir di Italia 90 itu ada beberapa pemain yang paling menancap di kepala saya, rata-rata mereka adalah orang yang memang baru saya dengar namanya. Beberapa nama di antaranya memang sudah biasa saya dengar dalam rentang 1998-1990, rentang ketika saya sudah mulai mencari tahu para pemain-pemain sepakbola ternama dunia utamanya di Italia. Iya, ketika itu Liga Italia mulai jadi primadona. Mungkin seperti Liga Inggris saat ini.
Dari semua nama itu saya paling ingat dengan nama Salvatore Schillaci atau Toto Schillaci. Penyerang berkepala botak ini sebelumnya bukan siapa-siapa, tapi rupanya piala dunia 1990 menjadi panggung bagi lelaki ini bersama dengan bintang muda (kala itu) bernama Roberto Baggio. Sementara nama lain seperti Van Basten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard yang bersinar dua tahun sebelumnya di piala Eropa malah temaram di Italy 90. Nama lain yang sinarnya terang kala itu adalah Claudio Caniggia, bomber Argentina yang menjadi musuh orang Brazil karena gol semata wayangnya menenggelamkan negeri Samba itu di babak 16 besar. Dari negeri yang sama ada Sergio Goycochea (semoga saya tak salah menulis namanya) kiper Argentina yang justru melambung setelah terpilih jadi kiper utama menggantikan Neri Pumpido yang patah tangan.
Bagaimana dengan pertandingan? Dari sedikit pertandingan yang saya saksikan itu ada 2 pertandingan yang paling saya ingat. Pertama adalah pertemuan Jerman (Barat) dan Belanda di babak perdelapan final. Pertandingan ini berkesan karena justru di sinilah Belanda mampu menampilkan permainan terbaiknya setelah tampil buruk di 3 pertandingan penyisihan grup. Pertandingan ini juga sangat fenomenal dan akan dikenang sepanjang masa karena insiden yang melibatkan Rijkaard dan Rudi Voeller. Rijkaard diusir wasit setelah meludahi rambut Voeller, dan ini jadi petaka buat Belanda. Selepas kepergian Rijkaard, Belanda timpang. Jerman (Barat) hanya kehilangan striker (Voeller juga dikartu merah) tapi Belanda kehilangan penyeimbang yang tak tergantikan. Hasilnya, Belanda takluk 1-2 dari Jerman (Barat).
Pertandingan kedua adalah semifinal antara Argentina melawan Italia. Ini pertandingan emosional, khususnya bagi seorang Maradona. Bagi orang Napoli, Maradona adalah dewa! Maradonalah yang membuat orang Napoli mampu menegakkan kepala mereka menghadapi klub-klub kaya di Italia Utara. Sayangnya, hari itu Maradona datang ke Napoli sebagai lawan! Ya, semifinal antara Argentina melawan Italia secara dramatis ternyata dilangsungkan di kota Napoli, tempat di mana Maradona dipuja bak dewa. Beberapa supporter Napoli membentangkan spanduk yang berbunyi: Maradona, kau adalah dewa kami tapi Italia adalah negara kami. Itu bukti betapa galaunya orang Napoli kala itu. Pertandingan ini akhirnya secara dramatis dimenangkan Argentina lewat adu penalti.
*****
Memori tentang Italy 90 memang mulai buram dan berserakan, tapi sebagai piala dunia pertama yang saya nikmati Italy 90 akan selalu menjadi piala dunia yang berkesan. Lagu Final Countdown, ludah Rijkaard, liukan Baggio, gol Schillaci dan tangisan Maradona di partai final sudah jadi semacam bensin yang disiramkan di bara api. Sejak itu saya benar-benar jatuh cinta pada olahraga ini, pun saya selalu berdoa agar diberi umur panjang agar bisa menikmati kembali euforia piala dunia, seperti yang akan digelar satu 32 hari lagi. [dG]