Selepas Menonton Tiga Film Indonesia


Ulasan tentang tiga film Indonesia yang saya tonton dalam rentang waktu sepekan ini. Tiga film yang menurut saya berkualitas.


Saya akhirnya menikmati Netflix, setelah sekian lama hanya mengamati testimoni para penggunanya di media sosial. Itu semua karena kebetulan saya sedang tidak sehat seminggu yang lalu, dan dengan sadar saya memposisikan diri sebagai penderita COVID-19. Salah satunya adalah dengan mengisolasi diri dan tidak berinteraksi dengan orang lain, bahkan orang dalam rumah sendiri. Kemudian ini juga berhubungan dengan hadirnya satu perangkat baru di rumah yaitu Smart TV yang memungkinkan kita mengakses layanan Netflix langsung dari televisi.

Nah kedua faktor itulah yang kemudian membuat saya akhirnya menikmati Netflix untuk pertama kalinya. Tapi meski begitu saya tidak langsung latah mencoba menikmati serial-serial yang sudah kerap kali diceritakan orang-orang. Dari serial Korea sampai serial Amrik yang katanya bagus pakai banget. Tidaklah, atau minimal belumlah. Saya lebih suka mencoba menikmati film-film lain dulu daripada ikut-ikutan yang sudah terlanjur mainstream.

Dan salah satu yang coba saya nikmati adalah film-film Indonesia. Bukan apa-apa, saya harus mengaku kalau saya bukan orang yang akan rela membelanjakan uang saya untuk menonton film Indonesia di bioskop. Belum sampai ke situ level nasionalisme saya. Tapi, saya juga bukan orang yang rela dan tega menonton film Indonesia bajakan. Level kebejatan saya belum serendah itu. Jadi wajarlah kalau saya jarang menonton film-film Indonesia, meski kata orang film itu bagus. Setidaknya saya menunggu ada yang mengundang nonton di bioskop, atau nanti kalau filmnya sudah muncul di stasiun televisi. Atau seperti saat ini, saya bisa menyaksikannya di Netflix tanpa harus merasa bersalah.

Ada beberapa film Indonesia yang saya tonton di Netflix, dan dari sekian itu ada tiga yang hendak saya ulas di sini. Alasan utamanya karena filmnya menarik.



Gundala (2019)

Film ini sempat membuat jagad media sosial Indonesia heboh ketika dirilis tahun 2019. Banyak orang yang membicarakannya, dari yang mulai sebatas berbagi pengalaman dan rasa penasaran, sampai yang membedahnya lebih dalam. Saya waktu itu hanya melihat sepintas saja dan tidak tergerak untuk ikut keriuhannya.

Gundala adalah film produksi Bumilangit Studios dengan Joko Anwar sebagai sutradaranya. Film ini diangkat dari karakter komik Gundala karya Hasmi yang sudah ada sejak tahun 1960an. Produksi film ini sendiri dikemas sebagai bagian dari sebuah model seperti Marvel Cinematic Universe yang nantinya menampilkan beberapa pahlawan super dalam jalinan cerita berbeda yang pada akhirnya akan bersatu. Gundala adalah pembukanya.

Dengan biaya produksi yang menurut Joko Anwar hanya 1/1000 dari biaya produksi film Marvel, tentunya kita tidak boleh menempatkan ekspektasi kalau film ini akan menyamai film-film Marvel. Utamanya di sisi efek  dan animasi yang ditampilkan. Pasti kalah jauh. Jadi lebih baik membandingkannya di sisi cerita saja.

Dan di sisi ini saya merasa ada beberapa hal yang mengganjal dari Gundala. Ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang membuat saya tidak bisa menikmati dengan baik film ini. Begitu juga dengan logika-logika yang terasa melompat sehingga sedikit mengganggu buat saya. Tidak semua sih, tapi tetap saja mengganggu.

Di sebuah situs ada pembahasan tentang pertanyaan-pertanyaan ini, dan sebagian besar jawabannya adalah bahwa hal tersebut ternyata sudah dijelaskan di komik Gundala. Artinya, mereka yang membaca komiknya pasti paham tentang alur yang janggal tersebut. Sayangnya, tidak semua penonton film ini adalah pembaca komik Gundala. Jadi wajar dong kalau ada yang bertanya-tanya dan tidak paham pada jalur ceritanya.

Saya bukan pembaca komik Marvel, tapi saya bisa menikmati cerita di film-film Marvel, paham alurnya, dan tidak perlu bertanya-tanya. Jadi sebenarnya Gundala juga bisa dibuat seperti itu, membuat penonton menikmati filmnya tanpa harus menjadi pembaca komiknya terlebih dahulu. Harusnya sih bisa, tapi entahlah. Mungkin bukan cara seperti itu yang dipilih oleh pembuat cerita film Gundala ini.

“Penasaran sih sama lanjutannya, tapi sebaiknya Joko Anwar jadi sutradara saja dan tidak usah jadi penulisnya,” kata seorang teman di salah satu grup chat yang kebetulan sedang membahas film ini. Itu kata teman saya ya, bukan saya. Saya cuma mengiyakan saja.

Skor buat film ini: 3,5/5



A Copy of My Mind (2015)

 Satu lagi film karya Joko Anwar yang resmi rilis di Indonesia tahun 2016 yang lalu. Bercerita tentang kehidupan Sari, seorang pekerja salon yang juga penggemar film. Sayangnya, Sari tidak punya cukup uang untuk mengoleksi DVD asli dari film-film yang dia gemari. Pilihannya hanya membeli DVD bajakan di lapak-lapak penjual DVD bajakan di Jakarta.

Kegemarannya itu membuatnya berkenalan dengan Alek, seorang pemuda yang bekerja sebagai penerjemah alias pembuat subtitle untuk DVD bajakan. Awalnya Sari kesal karena beberapa kesalahan penerjemahan yang ditemukannya di DVD yang dikerjakan oleh Alek. Perkenalan itu kemudian membuat mereka semakin dekat dan akhirnya jatuh cinta.

Sebuah kejadian membuat hidup mereka berdua menikung dengan tajam. Tanpa disadari mereka berdua masuk ke sebuah labirin yang menyesatkan, dan membahayakan. Sebuah keping DVD membuat hidup mereka yang sebenarnya sederhana dan penuh bara birahi, jadi penuh dengan onak tajam. Mereka dikepung bahaya, diintai kematian dan akhirnya memang menyulitkan hidup mereka.

Film berdurasi 116 menit ini sungguh nyaman untuk saya tonton. Ceritanya sebenarnya sederhana, dan sangat dekat dengan realita kehidupan Indonesia. Dari DVD bajakan, gang sempit, kamar kos yang melihatnya saja sudah membuat saya gerah keringatan, sampai kelicikan pengusaha dan penguasa.

Ceritanya tidak aneh-aneh, mengalir begitu saja dan terasa sangat dekat. Tidak ada tokoh yang berusaha menjadi pahlawan, tidak ada tokoh yang jahatnya kelewatan seperti di sinetron. Hanya ada tokoh yang rasanya seperti orang yang kita kenal, mungkin tetangga kita di gang sebelah, atau mungkin orang yang biasa kita lihat di salon kelas bawah langganan teman kita. Orang biasa dengan kehidupan yang sebenarnya biasa saja, sebelum dia bertemu kelicikan yang tidak biasa.

Lalu, hal yang paling menarik dari film ini adalah bagian penutup atau ending-nya. Penutupnya bisa membuat kita bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Bertanya-tanya tapi dalam konteks penasaran, bukan mempertanyakan. Dan ini yang benar-benar jadi gong buat film ini. Dari alur yang terkesan datar, lalu mulai lebih cepat di seperempat akhir film, dan akhirnya benar-benar meninggalkan residu di kepala. Gong!

Kemudian, akting kedua pemeran utamanya – terkhusus lagi Tara Basro – sungguh memikat. Mereka seperti tidak sedang berakting, sangat natural. Di beberapa adegan, saya malah sampai tidak sadar menahan napas melihat Tara Basro. Duh, benar-benar ya perempuan berdarah Bugis ini bikin nganuh sekali.

Skor buat film ini: 4/5



Marlina The Murderer in Four Acts (2017)

Judulnya dalam bahasa Indonesia adalah Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak. Berkisah tentang Marlina, seorang perempuan Sumba yang baru saja menjadi janda karena ditinggal mati suaminya. Posisinya sebagai janda yang tinggal di sebuah rumah di tengah savana, sendirian, sungguh sebuah posisi yang sangat rentan. Tak ada lelaki yang bisa jadi penjaga dan penolongnya.

Dan kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh Markus dan enam orang temannya. Mereka datang ke rumah Marlina, mengangkut semua hewan yang dipunyai Marlina, tentu saja tanpa izin meski mereka melakukannya tanpa kekerasan, meminta disiapkan makanan, lalu bahkan memberitahu Marlina kalau mereka akan memperkosanya. Sungguh sebuah kejahatan berencana yang dilakukan dengan sangat sopan.

Tapi sesopan apapun, namanya kejahatan ya tetap saja kejahatan. Marlina tidak berdaya melawan dengan kekuatan seorang perempuan, tapi dia bisa melawan dengan kecerdasannya. Tiga orang kawanan Markus itu mati di tempat, dan Markus sendiri mati dengan kepala terpenggal. Dua orang lagi selamat karena saat kejadian memang sedang berada di luar rumah membawa ternak-ternak milik Marlina.

Kejadian itu diceritakan di babak pertama film ini, babak Perampokan. Masih ada tiga babak lainnya yaitu Perjalanan, Pengakuan, dan Kelahiran.

Marlina menuju ke kota, menuju kantor polisi dengan menenteng kepala Markus. Tujuannya adalah mengakui kesalahan yang baru saja dia lakukan, selain menyelamatkan diri dari sisa anak buah Markus. Di jalan dia bertemu Novi, perempuan muda yang sedang berkutat dengan masalah hidupnya antara kehamilan yang sudah lewat bulan dan suami yang tidak sabar serta punya kecurigaan padanya.

Dua perempuan dengan masalahnya yang berbeda-beda ini bertemu, kisah mereka berkelindan dan pada akhirnya jadi terkait. Pertemuan mereka di tepi jalan mengantar mereka pada akhir kisah di babak keempat, Kelahiran.

Marlina disutradarai oleh Mouly Surya, wanita sutradara yang sebelumnya sudah dikenal sebagai wanita sutradara pertama yang meraih Piala Citra sebagai sutradara terbaik di tahun 2008 dengan film Fiksi. Pembalasan dendam dan perlawanan seorang Marlina diceritakan lewat perspektif seorang perempuan yang nyaris terlihat seperti tidak berdaya.

Mouly juga berhasil membangun intensitas dan ketegangan sebuah film dengan cara perlahan tapi memikat. Sekilas film ini terlihat berjalan dengan alur lambat, tapi sama sekali tidak ada rasa bosan untuk saya yang menontonnya. Mungkin ini karena keberhasilan Mouly membangun ketegangan dengan cara yang memikat itu. Dia berhasil memikat saya sebagai penonton untuk mengikuti apa yang akan dilakukan oleh Marlina, si tokoh utama. Saya juga jadi ikut merasakan bagaimana perang batin seorang korban relasi kuasa seperti Marlina. Meski tentu saja saya tidak bisa merasakannya 100% karena perbedaan gender, tapi tetap saja saya bisa merasakan bagaimana keputusasaan justru membuat Marlina bisa berontak dan menjadi sosok yang kuat.

Durasi 93 menit membuat film ini tidak membosankan, apalagi melihat bentang alam Sumba yang dipamerkan di film ini. Bentang alam yang membuat kita semakin merasakan bagaimana kerasnya kehidupan terkadang bisa membuat manusia melakukan apa saja untuk bertahan hidup.

Skor untuk film ini: 4,5/5

*****

Itulah tiga film Indonesia terbaik – menurut saya – yang saya tonton dalam beberapa pekan terakhir. Ketiga film di atas sekali lagi memberikan bukti bahwa film-film Indonesia bisa sangat berkualitas bila dikerjakan oleh orang yang benar. Ide cerita sesederhana apapun ternyata bisa diolah menjadi sebuah cerita yang memikat, apalagi bisa dipadukan dengan sinematografi yang maknyus dan akting yang aduhai. Asal ada yang mau mendanai dan mendukung pertumbuhan film Indonesia, saya yakin masa depan sineas kita sangat cerah.

Kalau kalian, apa film Indonesia terakhir yang memikat menurut kalian? [dG]