The Raid ; Orgasme Tanpa Foreplay

The Raid

Buat saya, The Raid ibarat orgasme tanpa foreplay. Puas, tapi masih ada yang kurang.

Seorang lelaki berseragam sebuah kesatuan elite dari kepolisian mencium mesra sang istri sambil menitip pesan pada jabang bayi yang sedang dikandungnya. Itulah adegan-adegan awal dari film The Raid. Sebuah adegan romantis yang mungkin menjadi satu-satunya adegan manis sepanjang film berdurasi 101 menit ini.

Selepas adegan itu, The Raid akan dipenuhi adegan-adegan penuh aksi kekerasan. 20 orang polisi dari satu kesatuan elite mendapat tugas menangkap seorang gembong penjahat yang bersembunyi di sebuah apartemen tua di satu sudut kota Jakarta. Sialnya, si gembong tidak tinggal sendirian. Dia memberi ruang aman bagi para penjahat kelas kakap lainnya dan menciptakan sebuah emporium sendiri yang tak tersentuh hukum dan aparat.

Tugas ini terkesan sederhana, cukup masuk ke apartemen, seret si gembong bernama Tama ( Ray Sahetapy ) dan selesai masalah. Sayangnya karena prakteknya tidak semudah itu. Sebuah kesalahan kecil membuat kehadiran mereka diketahui Tama. Lelaki dingin nan kejam itu kemudian mengubah sebuah penyerbuan yang harusnya sederhana itu menjadi sebuah neraka bagi para penyerbunya.

Semua akses ditutup, semua penjahat diundang untuk bersenang-senang. Jadilah keduapuluh polisi itu yang seharusnya menjadi pemangsa berbalik menjadi mangsa empuk. Satu persatu mereka berjatuhan meregang nyawa, gugur dalam penyerbuan maut.

Dari keduapuluh penyerbu itu ada Rama ( Iko Uwais ) sang jagoan. Dia satu dari sedikit anggota polisi yang bertahan hidup. Dengan kemampuan beladiri pencak silatnya yang luar biasa dia bertahan melawan gerombolan penjahat yang tak punya rasa belas kasihan termasuk Mad Dog ( Yayan Ruhian ) sang tangan kanan Tama.

Adegan-adegan pertarungan baik menggunakan senjata api, senjata tajam ataupun tangan kosong adalah kunci utama dari film produksi Merantau Films ini. Dan karena ini adalah film, maka tentu saja akhir kisahnya menjadi manis.

Keras Tapi Meninggalkan Lubang

The Raid adalah duet kedua Iko Uwais dengan Gareth Evans sang sutradara berkewarganegaraan Wales setelah sebelumnya memproduksi Merantau di tahun 2009. Merantau dan The Raid sama-sama menggunakan pencak silat sebagai ilmu beladiri yang digunakan sang jagoan.

Salah satu adegan The Raid

Dari sisi penggarapan The Raid memang patut diacungi jempol. Adegan perkelahian dikemas dengan sangat rapih dan mengundang decak kagum. Beberapa adegan memang potensial mengundang rasa mual karena dengan jelas menunjukkan ceceran darah, leher yang ditusuk atau digorok, kepala yang dibenturkan di dinding dan beberapa adegan lainnya yang terlihat begitu nyata dan tentu saja melibatkan darah.

Adegan pertempuran dengan menggunakan senjata api juga lumayan memikat meski beberapa kebiasaan film laga kembali diulang termasuk pistol yang seperti tak pernah kehabisan peluru dan tak tidak perlu diisi ulang.

Jalan cerita The Raid sebenarnya sederhana dan meninggalkan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang seharusnya bisa dijelaskan kalau penulis skenarionya jeli. Ada cerita yang mungkin dimaksudkan sebagai twist tapi justru tertinggal sebagai sebuah pertanyaan menggantung.? Dari sisi dialog The Raid juga kurang rapih. Para aktor bertukar kata dengan kaku dan menggunakan dialog yang tidak natural. Entah kenapa kekurangan seperti ini selalu terulang pada film-film berbahasa Indonesia.

Selain Iko Uwais yang menakjubkan dengan bela dirinya saya menganggap kalau sosok Ray Sahetapy juga bermain gemilang. Perannya sebagai gembong penjahat yang dingin, sadis dan kejam bisa diperankan dengan mulus. Pengalaman tentu menjadi senjata utamanya. Sayangnya akting Ray tidak bisa diimbangi oleh pemain lain, utamanya oleh Joe Taslim ( berperan sebagai sersan Jaka pimpinan penyerbuan ) yang seperti marah-marah sepanjang film atau Pierre Gruno ( berperan sebagai Letnan Wahyu ) yang tidak bisa melepas karakter sinetronnya yang kaku.

The Raid meraih penghargaan di beberapa festival film internasional seperti di Toronto Film Festival. Ini tentu sebuah prestasi membanggakan, apalagi karena film ini kemudian dibeli hak tayangnya di beberapa negara termasuk Amerika Serikat. Sebuah sinar terang di tengah maraknya film rendah mutu produksi asal-asalan dari pencari uang, bukan pembuat film.

Kalau anda adalah orang yang senang melihat para pelaku kejahatan dipukuli polisi, The Raid tentu jadi pilihan seperti puluhan penonton di bioskop yang bertepuk tangan setiap kali Rama berhasil membunuh para penjahat itu. Tontonlah The Raid, tapi tentu anda harus mempersiapkan diri untuk adegan sadis yang digarap halus dan terlihat nyata.

Buat saya, The Raid ibarat orgasme tanpa foreplay. Puas, tapi masih ada yang kurang.

[dG]