Tersesat Di Labirin Rasa

Cover Labirin Rasa
Cover Labirin Rasa

Cinta itu ibarat labirin rasa, semakin kamu ingin keluar, semakin jauh kamu bisa tersesat.

Kayla gadis yang unik, tidak seperti gadis seumurannya yang sibuk mendandani diri, Kayla lebih memilih gunung daripada salon. Lebih memilih jeans daripada rok, lebih memilih blak-blakan daripada jaga image. Sebuah perjalanan dengan kereta bisnis ke Yogya mempertemukannya dengan seorang pria tampan bernama Ruben. Dan cerita panjang kehidupannya berawal di sini.

Ruben seperti seorang tuan tanah yang dengan semena-mena merebut satu tempat di hati Kayla, membuat gadis itu untuk pertama kalinya ambruk di depan mata hijau Ruben. Segenap dayanya hilang ditelan pesona pria itu. Kayla rela meninggalkan kehidupan nyamannya di Jakarta hanya agar bisa terus mendengar panggilan “Kayndut” dari Ruben.

Tapi semua tidak berjalan sesuai mimpinya. Mimpi itu bahkan harus pecah berkeping-keping, membuat Kayla harus menyusuri jalan panjang untuk mengobati perih di hatinya. Malang, Bromo, Bali, Lombok dan Makassar jadi tempat pelariannya. Demi menghapus satu nama: Ruben.

Tapi Kayla benar-benar seperti tersesat dalam labirin. Sejauh apapun dia menghindar, sekeras apapun dia berusaha menyembuhkan hatinya dia selalu kembali ke sosok itu. Ruben bahkan membuat Kayla rela terbang ke Medan, ke tanah leluhur ayahnya hanya demi Ruben, lelaki yang sudah dengan semena-mena merebut satu tempat di hatinya.

Tapi seperti sebuah labirin pula, Kayla tak pernah menemukan jalan keluar. Senang, bahagia, hingga akhirnya terluka untuk kembali mencicipi rasa senang, bahagia dan kembali terluka. Hidupnya benar-benar seperti sebuah labirin yang menyesatkan. Hingga akhirnya dia menemukan jalan keluar, yang membuatnya bahagia selama-lamanya.

Novel Yang “Menyesatkan”

Saya bukan penggemar novel. Dari ratusan judul buku di rumah, 90%-nya adalah buku non fiksi. Novel buat saya tidak lebih menarik dari buku sejarah dan biografi. Ketika pertama mendengar kabar novel Labirin Rasa ini terbitpun saya belum berniat membacanya. Padahal kata Eka sang penulis, di buku ini ada karakter yang terinsipirasi dari saya. Bahkan namanyapun sama, Ipul.

Berbulan-bulan setelah terbit, buku ini akhirnya mampir di rumah. Terima kasih pada Danan Wahyu dengan kontes give away-nya. Saya terpilih sebagai salah satu pemenang yang berhak atas 1 organizer dan 1 buku Labirin Rasa.

Sejak pertama membaca buku ini saya tidak menaruh ekspektasi yang banyak. Saya tahu Eka penulis yang baik, saya senang membaca tulisan di blognya, tapi sekali lagi saya bukan penggemar novel jadi buku ini saya anggap biasa saja awalnya. Sama dengan novel lain.

Tapi ternyata saya salah. Novel yang satu ini menyesatkan! Pertama kali membacanya saya langsung tersesat dalam sebuah cerita yang memaksa saya menghabiskan lembar demi lembar buku ini. Cara bertutur yang sederhana dan ringan ternyata malah membuat saya lupa waktu, bahkan suatu malam saya terpaksa menyimpan rasa penasaran dan menutup buku ini karena jam sudah menunjukkan pukul 4 subuh.

Tidak seperti novel lain yang pernah saya baca, Labirin Rasa disusun dengan kalimat yang sederhana dan tidak berbelit-belit. Eka tidak berusaha menjadi seorang pujangga yang rajin memilih diksi yang unik dan tak lazim, dia menjadi Eka yang saya tahu. Eka yang sederhana memilih kata-kata tapi pandai merangkainya menjadi sebuah jalinan cerita yang menyesatkan. Dalam arti positif tentu saja.

Buku setebal 394 halaman ini saya baca hanya dalam 3 hari, dengan rata-rata waktu baca 3 jam sehari. Cukup cepat untuk ukuran saya. Mungkin karena bahasanya yang ringan yang membuat saya tidak merasa perlu menggunakan energi tambahan untuk mencernanya. Ibarat makanan, maka Labirin Rasa adalah makanan ringan yang pas dicemil di sore yang teduh.

Tapi buku ini juga menyisakan pertanyaan-pertanyaan di kepala saya yang terlalu sering bekerja dengan nalarnya. Utamanya soal waktu. Rentetan cerita ini dimulai sekisar 5 tahun yang lalu atau lebih, tapi saya tidak merasakan ada perubahan situasi yang berarti. Seolah-olah ceritanya terjadi dalam lingkup waktu yang tidak terlalu lama. Mungkin karena Eka terlalu fokus pada sosok-sosok manusia dalam cerita ini dan kurang memberikan gambaran situasi di sekitar sang tokoh. Akan menarik (bagi saya) jika Eka mampu menceritakan lingkungan yang sudah berubah atau tidak berubah dalam waktu lima tahun atau lebih.

Buku ini juga masih punya cacat-cacat kecil dalam penulisannya, tapi tidak sampai pada tahap mengganggu. Hanya salah tulis, salah nama dan salah penempatan kata depan. Kalau boleh berharap, saya sebenarnya berharap cerita klimaks menjelang akhir buku dibuat lebih panjang dan dramatis. Klimaksnya sudah tertebak di 7/8 cerita, karenanya saya berharap ada penggarapan yang lebih dramatis di sana. Sayang sekali karena akhirnya cerita ini benar-benar berakhir seperti yang kita bayangkan tanpa ada dramatisasi yang bisa membuatnya lebih menarik.

Sebelum lupa, satu hal yang juga membuat saya tertarik adalah karena sebuah konflik yang dengan cepat mengingatkan saya pada konflik Ross dan Rachel di serial Friends satu dasawarsa yang lalu. Kisruh yang dibumbui kalimat “We Were On A Break!” adalah kisruh yang selalu saya ingat dari serial favorit saya itu. Saya tidak tahu apakah Eka juga penggemar Friends atau bukan, yang jelas dia berhasil membuat saya mengingat kembali detail dari serial itu.

Secara keseluruhan saya menikmati Labirin Rasa, menikmati perjuangan Kayla mencari cinta sejati dalam hidupnya. Menikmati setiap detail tempat wisata yang didatangi Kayla dan membuat saya ikut memvisualisasikan tempat itu di kepala. Buku yang cocok dibaca di waktu senggang ketika kita menolak untuk membawa otak berpikir terlalu rumit. [dG]