Steven Gerrard; Kisah Saya

Dari sedikit pemain Liverpool yang saya suka, Steven Gerrard duduk di posisi teratas. Kemampuannya di lapangan hijau dan kesetiaannya adalah alasan kuat yang membuat saya selalu menaruh hormat kepadanya.


Steven Gerrard

TAHUN 1990, SAYA MENGENAL NAMA JOHN BARNES. Gelandang kulit hitam dari tim nasional Inggris. Sebelum Piala Dunia 2018, Piala Dunia 1990 adalah piala dunia terbaik Inggris dalam hal capaian dan penampilan. Tim mereka sangat solid dan berhasil menembus semi final sebelum dihentikan Jerman (Barat) yang kemudian keluar menjadi juara. John Barnes menjadi salah satu pemain pentingnya selain Paul Gascoigne, David Platt dan Gary Lineker. Belakangan saya tahu kalau John Barnes adalah pemain Liverpool. Tahun 1990 juga jadi tahun pembuka saya menggemari sepakbola.

Liverpool sempat jadi salah satu tim Inggris yang saya senangi. Belakangan saya mengenal nama-nama semacam Ian Rush, Robbie Fowler, Steve McManaman, Jamie Redknapp dan Michael Owen. Bisa dibilang saya menyukai tim itu. Tapi hanya sebentar sebelum saya kemudian ternyata lebih tertarik pada Manchester United yang adalah musuh bebuyutan Liverpool. Saya tetap menyukai Liverpool, tapi masih menempatkannya di urutan kesekian setelah Manchester United – dan bahkan Chelsea di kemudian hari.

Rasa suka saya pada Liverpool sempat jatuh ke titik nadir ketika secara ajaib mereka berhasil membalikkan keadaan di final UEFA Champions League 2005 di Istanbul. Korbannya adalah AC Milan, klub favorit saya sepanjang masa. Saya sudah melonjak kegirangan ketika Maldini dan Crespo membawa AC Milan menang 3-0 di babak pertama. Lalu,saya menggerutu kesal ketika Gerrard, Alonso dan Smicer menyamakan kedudukan di babak kedua. Akhirnya saya lemas ketika Liverpool yang mengangkat trofi di akhir pertandingan. Sialan!

Untung saja dua tahun kemudian luka itu berhasil disembuhkan. Filippo Inzaghi membawa ACMilan menggebuk Liverpool dua gol tanpa balas dalam final yang tidak sedramatis Istanbul 2005. Saya puas, luka dua tahun sebelumnya sudah terbayarkan. Rasakan itu Liverpool!

Dan rasa suka pada Liverpool kembali merangkak ke atas. Meski sekali lagi belum bisa mengalahkan rasa suka pada Manchester United.

*****

DARI SEKIAN BANYAK PEMAIN LIVERPOOL, ada satu nama yang bisa saya taruh di tingkat tertinggi. Nama yang  buat saya patut mendapatkan apresiasi dan penghargaan tertinggi. Siapa lagi kalau bukan Steven Gerrard. Sang skipper berambut cokelat cepak dengan tenaga bak kuda itu. Saya menyukai sosoknya yang penuh semangat, determinasi, bertenaga, cerdas dan tentu saja loyal. Saya menyukai pemain yang tidak memenuhi kepalanya hanya dengan uang, tapi masih memikirkan kesetiaan pada satu klub meski itu berarti dia harus puasa gelar.

Steven Gerrard punya itu semua. Di lapangan hijau dia adalah kapten yang berwibawa, bisa membawa api semangat ke dalam timnya. Tekniknya juga di atas rata-rata, punya kemampuan membaca permainan, punya tendangan keras dan fisik yang kuat. Paket lengkap untuk sebuah tim. Apalagi dengan bonus dia berani bertahan meski hampir setiap tahun hanya diberi harapan palsu akan jadi juara liga. Kurang tabah apalagi coba?

Dalam buku Steven Gerrard; My Story, Stevie menceritakan bagaimana setiap tahun harapannya menjadi juara liga hampir seperti roller coaster yang kadang melambung tinggi, kadang jatuh sampai titik terendah. Titel juara sudah pernah begitu dekatnya bahkan mungkin hanya sejangkauan tangan, tapi sebuah insiden kecil ketika melawan Chelsea mengubah segalanya dan akhirnya menjauhkan trofi itu.

Momen itu –ketika Stevie secara konyol terpeleset di depan Demba Ba – adalah momen yang cukup membuatnya terpukul. Masa-masa kelam selepas kejadian itu digambarkan dengan sangat dalam di buku ini. Bagaimana air mata membasahi wajah Stevie selepas pertandingan, hingga keputusannya untuk melarikan diri sejenak sampai benar-benar merasa siap untuk kembali menghadapi dunia. Dia menyalahkan diri sendiri selama beberapa waktu, menganggap dirinya penyebab Liverpool gagal menjaga jalur juara. Teman-teman dan orang terdekatnya berusaha untuk membuatnya kembali berdiri, menepis anggapan kalau dia adalah penyebab kegagalan Liverpool menjadi juara musim itu. Usaha yang butuh waktu sebelum berhasil.

Di buku ini juga diceritakan sebuah kisah menggelikan ketika penis Stevie cidera terkena sepatu lawan. Kisah yang saat itu tidak terendus wartawan, saking pintarnya Stevie menyembunyikannya. Wajar, karena laki-laki manapun pasti akan merasa depresi dengan rasa malu menggunung ketika kejadian seperti itu menimpanya.

Bagian paling menyentuh dari kisah di buku ini adalah masa-masa menjelang akhir karir Stevie di Liverpool. Masa ketika usia tidak lagi bisa membuatnya bertahan untuk bersaing dengan pemain yang lebih muda dan akhirnya memutuskan untuk berpindah ke Amerika Serikat, hanya karena dia tidak mau berpindah ke klub Eropa yang mungkin akan melawan Liverpool suatu hari nanti. Saking cintanya dia pada klub merah dari Merseyside itu.

Menjelang perpisahan dengan Liverpool, Stevie masih harus berurusan dengan cidera demi cidera yang nyaris meruntuhkan rasa percaya dirinya. Apalagi ketika satu per satu akhir ideal yang diidamkannya ternyata tidak menjadi kenyataan. Dari final FA Cup, juara liga primer sampai prestasi di UCL. Semua tidak seindah yang ada di kepalanya, bukan musim yang ideal untuk mengucapkan selamat tinggal pada satu-satunya klub yang pernah dia bela.

Di luar akhir yang tak begitu indah itu, Stevie tetaplah seorang pahlawan bagi para Liverpudlian. Dia adalah kapten yang memikat publik Liverpool dengan permainan dan kesetiaannya. Sepakbola sudah tidak menciptakan lagi pemain-pemain seperti Steven Gerrard di tengah derasnya kapitalisme lapangan hijau. Mungkin era Gerrard adalah era terakhir bintang-bintang yang setia hanya pada satu klub sampai penghujung karirnya.

Karena itu pula, saya selalu menyebut nama Steven Gerrard dengan nada hormat, meski klubnya bukan klub favorit saya. [dG]