Natisha, Antara Cinta, Dendam dan Parakang

Natisha
Natisha
Cover buku Natisha

Sebuah novel yang berlakang tanah turatea alias Jeneponto

Apa yang lebih kuat dari kekuatan cinta? Sebuah kaum bisa terbebas karena cinta yang besar dari seorang pemimpinnya, seseorang bisa menjalani masa penantian yang nampak mustahil hanya karena dia punya cinta. Seorang ibu bisa melewati beragam rintangan yang tak terperi beratnya, karena dia punya cinta.

Cinta juga yang membuat Tutu berkeras mengukuhkan niat dan meneguhkan hati meski perihnya kadang tak tertahankan. Di malam menjelang pernikahannya, Natisha sang calon mempelai pujaan hati menghilang, meninggalkan sepucuk surat agar Tutu merelakannya. Hati mana yang tak hancur ketika hari yang seharusnya jadi hari paling membahagiakan malah menjadi hari yang paling menyedihkan?

Kamar pengantin kosong, tak ada mempelai wanita yang tersenyum malu-malu menyambut prianya. Tak ada imam dan penghulu yang siap menyatukan dua insan, tak ada kemeriahan pesta pernikahan. Tidak ada.

Hanya tersisa kemuraman yang menjalari seluruh hari Tutu setelahnya.

Tapi Tutu bukan pria biasa. Dia punya cinta yang sedemikian kuat yang membuatnya bertahan mencari musabab perginya sang pujaan hati. Satu per satu petunjuk membawa Tutu pada kenyataan yang sebenarnya, tentang penghianatan, dendam dan tusukan dari belakang.

Adalah Rangka, sahabat Tutu, saudara sepersusuan Tutu yang menjadi hulu semua keriuhan penuh derita itu. Tanpa disangka Tutu, Rangka menyimpan sembilu di setiap ulas senyumnya, menyimpan bara dendam di setiap sapanya. Hal-hal yang hanya menunggu waktu hingga siap membuncah di saat yang tepat.

Tidak mudah mencari Rangka. Pria itu lihai, licin dan licik. Aroma mistis menyusupi pencarian Tutu, apalagi Rangka ternyata sedang berusaha membangkitkan ilmu hitam yang sudah lama mati, ilmu parakang.

Tutu beruntung punya cinta yang sedemikian besar, cinta yang membuatnya tetap waras dalam tekanan batin dan keletihan yang tak terkira. Cinta itu pula yang mengantarnya membuka bilah demi bilah yang menutupi kelam kisah Rangka dan Natisha pujaan hatinya.

*****

Natisha, sebuah novel setebal 421 halaman karya Khrisna Pabichara Daeng Marewa, seorang penulis kelahiran Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kisah dalam Natisha berputar pada cinta segitiga antara Tutu, seorang pria tumajai (orang kebanyakan) yang punya mata bathin, Natisha, wanita karaeng (bangsawan) yang menjadi tambatan hati Tutu dan Rangka, pria sahabat Tutu yang ternyata menyimpan dendam dan keculasan.

Kisah diawali dengan adegan pertarungan satu lawan satu antara Tutu dan Rangka dengan Natisha di antara mereka berdua. Lalu cerita terus bergulir, tentang kepergian Natisha di malam sebelum pernikahannya dengan Tutu hingga terungkapnya satu demi satu rahasia Rangka dan niat jahatnya.

Rangka ternyata menyimpan sifat setan dalam raga manusianya, dia punya alasan untuk merusak mimpi indah Tutu, termasuk menyempurnakan ilmu parakangnya, menjadi parakang sukku (parakang yang sempurna).

Ilmu parakang adalah ilmu hitam kuno yang sudah hilang nyaris tak berbekas. Pelakunya mempersembahkan diri mereka pada kegelapan demi kemampuan menghilang, mengubah wujud, awet muda dan tentu saja kaya raya. Ilmu ini seperti umumnya ilmu hitam lainnya butuh tumbal, nyawa manusia sebagai pengganti segala kemampuan yang diidamkan.

Semasa kecil saya sering mendengar cerita tentang parakang ini di kampung halaman. Tapi hanya sepintas. Dulu saya kira parakang dan poppo sama, sama-sama ilmu hitam yang pemiliknya punya kemampuan menghisap jeroan manusia dari pantatnya. Di buku ini saya baru tahu parakang dan poppo beda, parakang punya tingkatan yang lebih tinggi. Pemilik ilmu parakang bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh pemilik ilmu poppo.

Inilah yang saya suka dari buku Natisha, banyak pengetahuan baru terkait adat istiadat dan budaya suku Makassar. Buku ini memang mengambil latar daerah Jeneponto, salah satu kabupaten di selatan kota Makassar yang sebagian besar warganya merupakan sub suku Makassar. Di daerah ini dulu berdiri kerajaan Binamu, salah satu sekutu kerajaan Goa-Tallo.

Di tanah ini juga dulunya subur praktik pesugihan dengan menggunakan ilmu parakang. Hingga Raja Binamu II di abad ke-18 memberangus semua praktik yang lebih banyak membawa kemudharatan itu. Ilmu parakang lalu menghilang nyaris tak bersisa. Tinggal menjadi cerita legenda yang kadang diumbar untuk mengenyahkan seseorang yang tak disukai.

Di buku ini juga beragam sejarah dan adat suku Makassar dihadirkan, termasuk puisi dan kata-kata petuah dalam bahasa Makassar halus. Sudah lama betul saya tidak menemukan hal-hal seperti itu, sesuatu yang sama seperti parakang, mulai kabur dan mungkin sebentar lagi akan hilang ditelan jaman.

Khrisna Pabichara sang penulis memang tidak main-main dalam menyiapkan Natisha. Konon dia sampai merelakan waktunya membaca tidak kurang dari 60 judul buku sebagai referensi, itu belum termasuk beragam catatan tua dalam teks lontara, ada yang tersimpan di Leiden, Belanda, ada juga yang harus ditebusnya dengan harga seekor sapi.

Natisha tidak melulu bertutur tentang sejarah dan ilmu parakang, tapi juga bercerita tentang kekuatan cinta dan romantika yang mampu meruntuhkan tembok kokoh perbedaan kasta dan pandangan politik. Tutu dan keluarganya yang berasal dari kasta tumajai (orang kebanyakan) harus menghadapi cemooh dari orang tua Nathisa Karaeng Lebang yang berasal dari kasta karaeng, apalagi pilihan politik kedua keluarga itu punya pilihan politik yang berbeda. Oh ya, latar waktu cerita Natisha adalah dalam kurun 1980an hingga akhir 1990an, masa ketika orde baru dengan partai Golkar-nya masih begitu kuat.

Membaca Natisha seperti membaca cerita sejarah yang di dalamnya berkelindan kisah romansa, cinta, dendam, persahabatan dan ketabahan. Sebuah novel yang menarik. Bacalah, utamanya bagi Anda yang menyukai cerita sejarah, budaya dan cinta di saat yang bersamaan. [dG]