Mata dan Tulisan Seperti Matahari

Header blog Na'
Header blog Na’

Tulisan untuk #BatuSekam (Baku Tulis Senin-Kamis) putaran kedua di Kelas Menulis Kepo.

Tersebutlah seorang pria bertubuh tinggi langsing, bahkan menurut saya sedikit kurus. Tidak terlalu banyak kalimat yang keluar dari mulutnya setiap kali kami berkumpul. Dia seperti selalu menahan diri untuk tidak terlalu sering berbicara. Tapi ada saat-saat ketika deretan kalimat meluncur lancar dari mulutnya, itu ketika ada topik tentang gunung atau sepakbola. Dua topik yang seperti magnet bagi kalimat di dalam mulutnya. Magnet yang menarik keluar semua kalimat itu, bersama binar-binar penuh semangat di matanya. Selain itu, dia lebih banyak diam dan hanya menimpali sesekali.

Namanya Nana’, bukan nama asli pasti. Saya lupa siapa nama aslinya, kalau tidak salah mengandung kata Otto dan Nasser. Tapi tak penting, kami lebih sering memanggilnya dengan nama Nana’ atau Na’ dengan tekanan di huruf A di belakang kata itu. Memang sepintas seperti nama perempuan, tapi percayalah kalau dia sama sekali tidak punya tampang seperti perempuan.

Pria tinggi kurus ini ternyata seorang pemikir, seorang yang senang menghabiskan waktuya dengan mengamati banyak hal, memikirkannya, menganalisanya dan belakangan kemudian menuliskannya. Iya, pria sopan ini punya blog yang beralamat di http://matamatahari.com setelah sebelumnya menumpang di penyedia jasa layanan blog gratisan.

Di blog sederhana yang nampaknya belum sempat didandani itu dia menulis banyak hal. Tentang cerita gunung dan kawannya yang bahkan bahkan mencapai 21 seri, tentang dongeng dan tentang perasaan. Tulisannya memang agak nyastra kata orang sekarang, merujuk kepada gaya tulisan yang lekat dengan dunia sastra.

“Terlalu banyak isi kepalanya baru dia bingung bagaimana kasih keluarki.”  Kata seorang kawan suatu waktu ketika kami membahas tulisan Nana’.

Saya mengangguk setuju. Nana’ menurut saya memang punya terlalu banyak hal dalam kepalanya, dia ingin menceritakannya tapi seperti bingung untuk mencari cara untuk menyederhanakannya. Tapi itu dulu, ketika di awal-awal kami bergabung di Kelas Menulis Kepo. Dalam sebuah pertemuan, Nana’ menerima banyak kritikan, tentang bahasanya yang terlalu “tinggi” dan tak membumi, tentang alur ceritanya yang terlalu sulit untuk digapai. Dia hanya tersenyum, mengangguk tanda setuju.

Selepas malam itu dia mulai berubah. Dia mulai menulis dengan gaya yang lebih sederhana dan lebih nyaman digapai. Dia ternyata berhati lapang, tak ragu untuk menerima kritikan dan mendengarkan orang lain. Padahal bisa saja dia berkeras kalau dia mau, toh gaya tulisan adalah hak setiap orang. Orang lain tak punya hak untuk memaksa kita memilih gaya lain. Tapi Nana’ tidak, dia mau mendengarkan kritikan dan mengangguk menerimanya lalu perlahan memperbaiki diri tanpa meninggalkan apa yang dia percaya dan sukai.

Tulisan-tulisannya awalnya seperti matahari yang tersaput awan kelabu. Sulit untuk dinikmati karena ada mega yang menutupinya. Tapi perlahan dia seperti tahu cara mengusir mega itu, menipiskan awan yang bergelayut itu. Membuat matahari itu makin terang meski tak sampai menyengat.

Dan jadilah tulisan-tulisan yang makin nyaman di blognya.

Nana’ yang saya kenal adalah Nana’ yang kritis, punya banyak isi kepala, punya banyak rasa gelisah di dalam tubuh kurus tingginya. Awalnya dia kesulitan mencari cara yang tepat untuk menuliskan semau pikiran dan rasa gelisah itu, tapi dengan penuh kesabaran dan kebesaran hati dia berhasil melakukannya. Sekali lagi tanpa harus meninggalkan apa yang dia sukai dan dia percayai.

Saya tidak tahu apa yang membuatnya memilih MataMatahari untuk nama blognya, yang saya tahu dia punya mata yang selalu disiapkannya untuk melihat apa saja yang ada di sekitarnya. Bukan sekadar melihatnya, tapi juga merekamnya dalam ingatan dan kemudian diolah dalam otak dan dikeluarkan lewat jemari yang menari di atas papan kunci.

Nana’ adalah pria pemilik mata yang menangkap apa saja lalu membiarkan tulisannya bersinar seperti matahari. Dialah pemilik MataMatahari. [dG]