Laskar Pemimpi ; kritik terhadap modernitas

Judul                      : Laskar Pemimpi; Andrea Hirata, pembacanya dan modernisasi Indonesia

Penulis                    : Nurhady Sirimorok

Penerbit                  : Insist Pers, tahun 2008

 

Tahun 2008 bisa dicatat sebagai tahun puncak dari sebuah fenomena di dunia sastra Indonesia. Dunia yang selama ini masih terkesan sangat elit dan jarang disentuh, apalagi oleh kaum muda Indonesia. Di tahun 2008 ini, dua karya sastra fenomenal menggebrak dunia hiburan lewat penafsiran atas kedua karya tersebut ke layar lebar. Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman Al-Shirazy yang kemudian diterjemahkan ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo mampu menyedot atensi 3,6 juta orang Indonesia untuk menontonnya. Tak Cuma rakyat biasa, pejabat elit negeri ini hingga ke level presiden dan wakil presiden (bahkan mantan presiden) pun meluangkan waktu untuk duduk di kursi empuk dalam gedung bioskop. Mungkin ini adalah sejarah.

 

Kesuksesan AAC kemudian dilibas dengan sangat mencolok dengan kehadiran Laskar Pelangi. Film yang dibesut duet Riri Riza dan Mira Lesmana diangkat dari novel berjudul sama karya Andrea Hirata. Sebelumnya karya Andrea ini sudah kadung fenomenal dan diberi label “ Most Poerfull Book”. Lewat kerja tim promosi yang apik, karya Andrea-dan kemudian karya Riri Riza cs, mampu mendulang begitu banyak penggemar. Informasi terakhir yang saya baca dari Kompas minggu, 7 Desember 2008, film Laskar Pelangi per tanggal 5 Desember telah berhasil mengumpulkan 4.360.000 penonton, jauh melewati kesuksesan AAC. Padahal sampai sekarang filmnya masih nangkring di beberapa bioskop di daerah. Bukunya sendiri konon telah terbeli sebanyak 600.000,- eksemplar. Jumlah yang sangat tinggi untuk ukuran karya dalam negeri.

 

Nah, di tengah derasnya arus popularitas dan puja-puji yang bermuara ke novel tersebut, muncul sebuah batu kecil yang berusaha tegak melawan arus. Sendirian dan terkesan kecil sehingga tak heran banyak orang yang kemudian memandangnya sebagai sebuah rasa sirik dan iri hati atas kesuksesan orang lain.

 

Nurhady Sirimorok, namanya tak asing bagi saya. Dalam setahun terakhir ini, saya banyak berinteraksi dengan dia. Dandy-demikian panggilan akrabnya-terkenal dengan daya pikirnya yang kritis dan kadang tak lazim. Dia bukan tipe orang yang gampang menikmati sesuatu yang bergaya ngepop atau gampang larut dalam sebuah euforia. Di komunitas Panyingkul dia dianggap orang yang doyan mengkritik dan bahkan diibaratkan seorang petugas keamanan dengan pentungan di tangan yang selalu siap meluruskan barisan apabila ada yang mencoba membengkokkannya. Di balik sikapnya yang kadang lebih banyak diam, menyimak dan berpikir, Dandy punya banyak energi yang akan segera terlontar demikian kerasnya dalam sebuah wacana tulisan atau forum diskusi. Tulisan-tulisannya tajam menusuk, tapi sekaligus solid karena penuh dengan fakta, data dan analisa. Dandy pembaca yang rakus tentu saja, dan ini adalah modal besar untuk kemudian bisa menjadi seorang pendebat yang baik.

 

Dandy menuangkan segudang hasil pemikirannya tentang modernitas dan sifat umum para pembaca novel Laskar Pelangi. Dandy juga berusaha menyentuh sebuah ruang yang selama ini memang banyak ditinggalkan orang, ruang bernama kritik sastra. Lewat bukunya : Laskar Pemimpi; Andrea Hirata dan modernitas para pembacanya, Dandy mencoba menyeimbangkan pola pikir umum masyarakat tentang sesuatu yang bernama modernitas. Sesuatu yang memang banyak berseliweran dalam novel Laskar Pelangi.

 

Dandy tak hanya mengkritik novel karya Andrea Hirata tersebut. Lewat tulisannya Dandy mengkritik pola pikir dan paradigma masyarakat tentang arti sebuah modernitas. Ini yang sangat menarik, karena pemaparan Dandy yang disertai berbagai fakta, data dan analisa sebagian besar bersifat mencerahkan. Memang sebagaian besarnya juga masih debatable, namun sesungguhnya kegairahannya ada di situ. Sebuah tulisan yang mengundang selera untuk dibincangkan dan didiskusikan menurut hemat saya adalah tulisan yang bagus, tulisan yang mampu membuat pembacanya jadi aktif.

 

Dewasa ini, modernitas memang seakan menjadi satu pakem yang harus dianut oleh manusia abad ini jika ingin dikatakan beradab. Pakem tersebut muncul dengan banyak wajah. Singkatnya, sesuatu yang tidak mengikut pada pakem tersebut dapat langsung dicap sebagai tidak modern, ketinggalan jaman dan bahkan tak beradab.

 

Mungkin banyak yang tak sadar kalau sesungguhnya pakem tersebut adalah ciptaan “orang barat”, yang datang ke “timur” berabad-abad yang lalu, menancapkan kuku mereka lewat jalur penjajahan, menindas bangsa-bangsa di “timur” tersebut dan kemudian meneruskan hegemoninya lewat pakem bernama modernitas. Pakem tersebut kemudian tertanam dalam otak dan di alam bawah sadar kita kalau sesuatu yang berasal dari “Barat” adalah sesuatu yang modern dan harus kita tiru. Tak hendak mengikutinya berarti membiarkan diri terkungkung dalam jaman kegelapan, tak beradab dan tentu saja tak modern.

 

Segala sesuatu yang berasal dari kebudayaan sendiri kemudian dianggap sebagai hal yang tak relevan dengan perkembangan jaman, tak modern dan karenya tak perlu untuk dipertahankan apalagi dianut.

 

Dalam buku “Laskar Pemimpi” ini, ada banyak teori, data dan fakta yang dengan tegas membantah semua isu modernitas tersebut. Sebagai bangsa yang sedang berkembang, sangat riskan bila kita kemudian hanya mengadopsi mentah-mentah segala teori tentang modernitas tanpa mempertimbangkan kebudayaan asli kita. Bila seperti ini maka tentu saja kita akan tetap menjadi bangsa yang mengekor, karena toh budaya tersebut bukan berasal dari kita dan esensinya tidak kita pahami betul-betul. Lain halnya bila kita bisa seperti Jepang. Bangsa yang rajin meniru tapi sekaligus rajin mengembangkan dan menyesuaikan tiruannya dengan budaya lokal sehingga kemudian menciptakan formula baru yang sesuai dengan mereka.

 

Sepanjang kita hanya meniru, maka tentu saja kita tak akan pernah bisa sejajar dengan mereka-katakanlah dari kacamata yang mereka ciptakan.

 

Bermacam-macam dialog dan pertentangan seputar teori modernitas, post kolonial dan semacamnya berseliweran dalam buku “Laskar Pemimpi” ini, mendorong kita untuk mengkaji ulang paradigma kita tentang modernitas secara khusus dan kehidupan secara umum. Buku ini bisa menjadi detox bagi orang yang sudah terlanjur menganggap barat sebagai pusat modernitas jaman sekarang. Sekali lagi, Dandy hanya meminjam novel karya Andrea Hirata untuk mengkritik habis-habisan tentang teori modernitas.

 

Dandy telah menunaikan tugasnya sebagai pembaca, itu kata Puthut EA sang editor. Meski untuk itu Dandy musti siap-siap menerima cercaan, makian bahkan mungkin fitnah dari para pengagum Laskar Pelangi. Bagi saya pribadi, langkah Dandy adalah langkah positif dan bisa diartikan sebagai langkah untuk tetap menciptakan keseimbangan di dunia ini. Mudah-mudahan.