Ian; Dosen Yang Go Blog
Tulisan ini dibuat dalam rangka kegiatan #BatuSekam (baku tulis Senin-Kamis) atau saling mereview setiap Senin-Kamis sesama peserta Kelas Menulis Kepo.
Sejak sekira 5 tahun belakangan ini saya makin percaya kalau kemampuan menulis sangat bisa meningkatkan kualitas hidup. Mungkin terdengar lebay, tak apa. Saya memang sengaja. Tapi tunggu, dalam beberapa kasus kalimat itu bisa saja benar. Apapun profesinya, kalau si pelaku bisa menulis dengan baik maka kualitasnya akan meningkat. Dia akan makin pandai mencari cara mengutarakan idenya, mendiskusikan ide itu, mendebatkannya dan mungkin mencari solusi dari sebuah masalah.
Saya percaya menulis itu adalah proses belajar yang menyenangkan.
Itu juga alasan kenapa saya begitu senang ketika beberapa teman komunitas yang masih muda-setidaknya lebih muda dari saya-begitu bersemangat untuk menulis. Bersama seorang kawan lain yang disapa Om oleh anak-anak muda itu (saya sendiri disapa daeng atau kakak, jadi tentu bisa dibayangkan siapa yang lebih tua) kami mendampingi mereka menulis. Mendampingi bukan berarti mengajarkan karena beberapa kali kami juga ikut belajar bersama mereka. Sama-sama belajar tepatnya. Hanya kebetulan saya dan si Om yang satu itu lebih duluan menulis dari mereka.
Para peserta kelas menulis itu berasal dari latar yang berbeda-beda. Usia hampir sama rata, tapi profesi dan keseharian mereka berbeda-beda. Ada yang karyawan swasta, bankir, mahasiswa baru, wartawan foto, freelancer dan pendidik. Dari dua orang yang berprofesi sebagai pendidik itu salah satunya adalah Ian (meski yang satunya lagi juga bernama nyaris sama; Iyan).
Ian yang satu ini bernama lengkap Muhammad Zia Ul Haq. Pertama melihat nama aslinya saya langsung terkesiap. Nama itu diambil dari nama seorang jenderal Pakistan yang begitu populer di dekade 1980an. Jenderal berkumis tebal yang naik menjadi pemimpin Pakistan setelah menggulingkan Benazir Bhutto.
Tapi saya tak hendak bercerita tentang salah satu tokoh populer di tahun 1980an itu. Saya mau bercerita sedikit tentang Muh. Zia Ul-Haq yang lain, pemilik blog http://mzuh.wordpress.com. Pria yang pertama saya kenal adalah sebagai pegiat komunitas 1000 Guru Makassar yang ternyata juga akrab dengan teman-teman komunitas pecinta alam.
Pertemuan kami makin intens ketika dia mulai aktif di Kelas Menulis Kepo. Dari interaksi sekilas saya sudah bisa menebak anak ini menyimpan banyak pertanyaan dan kegelisahan di kepalanya. Dalam kelas-kelas santai yang kadang berlangsung sampai jauh malam, pertanyaan tajam dan kritis sering meluncur dari bibirnya. Pertanyaan yang kadang membuat saya mengernyitkan dahi sebelum menjawabnya.
Belakangan saya baru tahu kalau ternyata dia staff pengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar, plus dia sementara menempuh pendidikan magister. Saya akhirnya memaklumi dan malah kagum dengan segala keribetan yang ada di kepalanya. “Anak ini pasti sering gelisah.” Gumam saya dalam hati.
*****
Kegelisahan dalam hatinya dan pertanyaan dalam kepalanya kemudian berusaha dia tuangkan dalam sebuah blog sederhana yang mulai diisi sejak bulan Juni 2015. Baru dua bulan lebih, dan isinya memang belum banyak. Tapi dari sedikit catatan yang dia buat itu saya bisa menangkap catatan kegelisahan dan jawaban-jawaban atas pernyaannya sendiri.
Salah satu postingan di blognya adalah tentang etika mahasiswa yang menurutnya mengalami degradasi, berbeda dengan etika mahasiswa bertahun-tahun yang lalu. Postingan ini tentu lahir dari kegelisahannya melihat lingkungan sekitar yang kemudian coba dia ceritakan, analisa dan kemudian beri kesimpulan. Tentang kesimpulannya, kita mungkin bisa mendebatnya. Tapi setidaknya dia sudah mengajukan sebuah teori yang dia landaskan pada pengalaman dan kejadian sekitar, tidak hanya menggumam dan menggeram tak jelas.
Buat saya ini kelebihan tersendiri dari seorang Ian yang sehari-harinya adalah dosen. Dosen lekat dengan dunia pendidikan, ketika dia mampu mengkomunikasikan isi kepalanya dengan bahasa yang membumi maka dia berada dalam level yang berbeda dengan dosen yang sekadar mengajar di depan kelas. Singkatnya, dosen yang ngeblog lebih keren dari dosen yang tidak ngeblog.
Untuk soal teknik tulisan, Ian memang masih harus belajar lebih sering. Masih ada kesalahan-kesalahan kecil dalam tulisannya yang kadang buat saya lumayan mengganggu. Tapi tak masalah, karena saya yakin dia pasti akan terus berusaha untuk belajar. Setidaknya dia sudah melangkah. Semoga saja dia terus punya alasan untuk tetap belajar.
Saya suka melihat anak-anak muda yang punya semangat menulis. Saya yakin suatu hari nanti semangat itu akan sangat membantu mereka dalam menjalani profesi mereka yang sekarang. Ian adalah dosen yang go blog, dosen yang membuat blog dan mengisinya dengan cerita tentang kegelisahan ataupun sekadar dokumentasi kegiatannya. Kelak dia akan merasakan manfaatnya. [dG]
Buat Ian, maaf kalau judulnya agak provokatif. Memang sengaja seperti itu, someday you’ll know #halah
waah, saya terkesima bacanya..
semangat nge-blog 🙂