The Power of Media


Semua orang mungkin sudah paham bagaimana kekuatan sebuah media mampu menggerakkan massa, mengubah opini bahkan mengubah sejarah. Media menjadi sabuah kekuatan untuk sebuah perlawanan, perkecualian mungkin bisa diberikan kepada media yang dikangkangi oleh pengusaha yang merangkap sebagai penguasa. Perlawanan menjadi sebuah kebutuhan pribadi, bukan lagi kebutuhan massa.

Salah satu bentuk kecil dari sebuah perlawanan dari media yang bisa digunakan oleh publik, oleh orang biasa dan tidak berkuasa mungkin adalah surat pembaca. Beberapa kali surat pembaca terbukti mampu mengubah sikap seseorang atau sebuah institusi, utamanya dalam hal memberikan pelayanan publik.

Sekitar sebulan yang lalu, istri saya mengirimkan surat bernada keluhan kepada sebuah toko swalayan besar di kota Makassar, bahkan Indonesia. Isinya berupa komplain terhadap kinerja kasir dan costumer service yang tidak sesuai dengan motto perusahaan retail tersebut. Kasir dan costumer service bersikap kurang profesional dan akhirnya memaksa istri saya mengadukannya ke koran lokal. Pengaduan ini kemudian dimuat di Harian Fajar, di bagian surat pembaca.

Pengaduan ini memicu respon yang sangat cepat dari pihak yang diadukan. Salah seorang manager dari toko bersangkutan segera menelepon dihari yang sama dengan hari dimuatnya pengaduan tersebut. Saya yang tak tahu persoalannya jelas kaget ketika sang manager mendatangi rumah kami dan bermaksud bertemu langsung dengan istri saya karena tidak bisa menghubungi nomor kontaknya. Saya tidak bisa membantu karena kebetulan istri saya memang sedang dalam masa pelatihan hingga HP-nya tidak bisa sering-sering aktif.

Hebatnya sang manager tak langsung menyerah, setelah mencoba terus, akhirnya dia berhasil berbicara langsung dengan istri saya. Beliau meminta maaf atas kesalahan bawahannya sambil meminta waktu untuk bertemu langsung. Permintaannya disetujui dan kemudian disepakati untuk bertemu di rumah pada hari libur saat kami sekeluarga sedang ada di rumah.

Akhirnya dengan ditemani salah seorang staff-nya, sang manager menyambangi rumah kami untuk sekali lagi meminta maaf dan menjelaskan langkah-langkah yang akan dia ambil supaya kejadian serupa tidak terulang lagi. Sebuah langkah yang menurut kami sangat gentle, meminta maaf, mengakui kesalahan tanpa mencari pembenaran apalagi berkelit tentunya adalah sebuah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang bersifat ksatria. Akhirnya di ujung perbincangan, sang manager menyodorkan sebuah paket parsel berisi beragam buah kelas 1 plus 2 botol minuman ringan. Katanya sebagai tanda permintaan maaf. Sebenarnya dengan permintaan maaf dan penjelasan secara lisa sudah cukup, tapi kami juga tidak bisa menolak pemberian sang manager.


Pengalaman istri saya ini kemudian menginspirasi seorang teman di kantor untuk mengadukan hasil kerja sebuah toko furniture yang sangat terkenal di Makassar dan Indonesia yang dinilai kurang profesional. Berbulan-bulan setelah pemesanan dan penginstalan furniture, komplain yang diajukan belum juga mendapatkan tanggapan yang serius dari toko bersangkutan. Sangat berlawanan dengan reputasi toko tersebut.

Setelah pengaduan dimuat di koran Harian Fajar, mereka kemudian seperti kebakaran jenggot. Mereka langsung menelepon teman saya, meminta maaf dan berjanji akan segera memberi solusi. Untuk sementara teman saya berhasil melakukan perlawanan dan berhasil mendapatkan perhatian atas keluhannya.

Sayangnya ada hal yang mengganjal bagi teman saya. Sang duty manager menelepon 2 hari kemudian dan selain meminta maaf sekaligus mengabarkan kalau dirinya mendapatkan surat teguran pertama dari otoritas yang lebih berkuasa. Tidak hanya itu, petugas yang bertugas yang bertanggung jawab langsung di lapangan dan penyebab kekacuan ini akhirnya dipecat dari pekerjaannya. Teman saya sempat tercengang, pukulannya ternyata berbalik dan mengakibatkan rasa tidak enak dalam hatinya.

Tapi nasi sudah jadi bubur, semuanya sudah terlambat. Teman saya merasa bersalah juga dan gantian meminta maaf kepada sang duty manager. Sebagai pembelaan teman saya juga menyayangkan sikap segenap staff toko furniture yang sudah terlalu lama membiarkan pengaduannya tersimpan di laci. Saya tahu persis bagaimana si teman saya ini bertahan dan mencoba bersabar selama ini. Berkali-kali dia mempertanyakan nasib furniture mahal yang dibelinya, bukan hanya dengan telepon tapi juga dengan cara mendatangi langsung toko bersangkutan, tapi yang ada hanya janji dan janji.

Komplain terhadap mutu bahan hanya dijawab dengan ringan oleh petugas yang akhirnya dipecat tersebut dengan kata-kata, β€œ anu bu, kayunya dimakan rayap..”. kesabaran teman saya mungkin sudah sampai pada batasnya, it’s been push to the limit, hingga akhirnya memilih media massa sebagai pelarian terakhir untuk mengadukan kesulitannya. Eksesnya memang sangat mengejutkan, tapi semoga ini bisa jadi pelajaran selanjutnya bagi para staff bukan hanya di toko tersebut tapi di institusi-institusi atau perusahaan-perusahaan lainnya untuk lebih memperhatikan kebutuhan pelanggan.

Saat pelanggan terdesak dan sampai pada batas kesabarannya, media massa bisa jadi corong terakhir menyuarakan kekesalan mereka. dan media massa akan memberi efek yang sangat besar bagi kelangsungan suatu institusi atau perusahaan. Efeknya akan langsung merusak imej, sesuatu yang dengan susah payah dibangun tapi bisa hancur dalam sesaat.