Seleraku, Seleramu

Beberapa hari yang lalu saya baru saja lepas membaca sebuah artikel berisi wawancara dengan Ahmad Dhani di majalah Rolling Stones Indonesia edisi Juni 2007. Selalu ada yang menarik dengan orang ini, kontroversi maupun hasil karyanya seperti tak pernah kering untuk sekedar menarik atensi publik dunia hiburan di Indonesia.

Ada satu hal yang saya garis bawahi dalam artikel tersebut, yaitu celoteh Dhani tentang selera musik orang Indonesia pada umumnya sekarang ini. Sebenarnya bukan pertama kalinya saya membaca komentar Dhani yang pedas tentang pergeseran selera musik jaman di negeri kita. Bertahun-tahun yang lalu saat Dhani mendirikan Ahmad Band dan sempat mengadakan wawancara di majalah HAI, sang pentolan band DEWA 19 ini juga sudah dengan lantangnya mengatakan kalau, “ semua lagu-lagu di TOP 40 sekarang adalah sampah..!!!, apalagi lagu-lagu dalam negeri”.

Semua orang yang pernah mendengar nama Dhani tentu paham betul bagaimana arogansi arek Suroboyo satu ini.  Arogansi yang dikawinkan dengan sikap blak-blakan dan tanpa kompromi yang sering mengundang berbagai kontroversi adalah satu hal yang lekat dengan kehidupannya.

Nah, kembali ke pembicaraan awal. Di artikel terakhir yang saya baca, Dhani juga masih semangat menggugat selera pasar musik dalam negeri kita. Dasar pijakannya tentu saja adalah meroketnya beberapa band-band baru yang bisa dibilang hanya bermodalkan tiga jurus. Dhani sebagai seorang musisi-yang mengaku-idealis dan mengklaim telah mendengarkan ribuan rekaman musik sepanjang hidupnya tentu merasa gelisah, apalagi menghadapi kenyataan kalau penjualan album grup DEWA 19-nya maupun side project-nya kalah banyak dari penjualan para musisi kelas tiga jurus itu.

Saya tidak bisa menyalahkan Dhani sepenuhnya, bahkanpun jika dia menggunakan alasan komersil semata untuk memunculkan penilaian seperti di atas.

Sebagai seorang penikmat musik yang “tertawan” di musik-musik tahun 90-an, saya memang sedikit banyaknya merasa ada degradasi yang sedang terjadi pada selera pasar musik kita. Tahun-tahun 90-an mungkin adalah tahun bangkitnya musik-musik ber-genre rock, progressive rock dan sedikit musik rap.

Tahun 90-an adalah puncak kejayaan berbagai band-band baru yang tak bisa dicap sebagai band 3 jurus. Simak kiprah band besar dan (sekarang) jadi legenda seperti SLANK, GIGI dan DEWA 19. Siapa yang berani mempertanyakan eksistensi mereka, apalagi kualitas musikalitas mereka. Meski awalnya lahir sebagai band yang cukup “manis”, ketiga band itu kemudian bertransformasi menjadi 3 band dengan ciri khas dan karakter yang kuat sehingga terkadang menjadi role model bagi band-band yang muncul belakangan.

Bila menilik lebih ke belakang, yaitu pada periode tahun 80-an maka bisa dibilang secara kualitas band-band yang berkibar di tahun 90-an masih bisa dianggap sebagai penerus tradisi band berkualitas yang sebenarnya sudah di tanamkan oleh banyak pemusik di periode tahun 80-an. Sebut saja Karimata, KLA dan Fariz RM.

Dhani menyebutkan kalau media memegang peranan besar dalam mempengaruhi selera pasar. Dan itu tentu saja benar adanya. Tahun 90-an- saat MTV baru booming di Indonesia- sebagian besar tayangan MTV diwarnai oleh musik-musik dari luar negeri sekelas Alice in Chains, Pearl Jam, Nirvana, Stone Temple Pilots dan beberapa musik kulit hitam yang berkualitas. Secara tidak langsung aliran-aliran musik ini kemudian memengaruhi banyak musisi dalam negeri untuk menciptakan musik yang tak kalah berkualitasnya.

Trus, bagaimana dengan sekarang ?

Terus terang, saya tidak berani bicara atau berkomentar banyak tentang perkembangan musik dalam kurun waktu 2000-an ini, karena seperti yang saya bilang di atas, selera musik saya terhenti pada bilangan tahun 90-an dan hanya merambat perlahan selepas pergantian milenium.

Yang saya sadari hanyalah benar bahwa hari ini begitu banyak band yang tampil sebagai one hit maker. Menciptakan satu-dua hit, menjual ribuan, ratusan ribu bahkan sejuta lebih album sebelum akhirnya menghilang tak berbekas. Saya juga menyadari bahwa di antara lusinan pendatang baru yang meroket sebagai idola itu hanya ada satu-dua yang betul-betul punya kualitas dan kapasitas untuk eksis sebagai pemusik. Sisanya hanyalah pemusik yang mengandalkan satu-dua jurus, memanfaatkan momentum dan kemudian berpikir untuk mencari jalan lain.

Tapi sebenarnya, bagaimana sih persepsi saya tentang sebuah musik yang berkualitas itu ?. Sebagai seorang yang hanya berani mengklaim diri sebagai pendengar tanpa berani berdebat tentang kuliatas (karena tak punya modal untuk menggugat) maka saya hanya akan mengatakan kalau musik yang berkualitas bagi saya adalah musik yang diciptakan dengan skill yang tentunya di atas rata-rata, kemudian musik tersebut dipadukan dengan lirik yang tak hanya sebatas lirik yang “straight to the point”, tapi serangkaian lirik yang memungkinkan kita untuk merenungi maknanya. Simpel bukan ?.

Tapi…kita sedang membicarakan soal selera di sini. Suatu persoalan yang tak akan pernah habis untuk diperdebatkan. Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai karakter dan tentunya dengan berbagai selera yang tak sama. Di negeri yang bebas seperti Indonesia, tak ada yang bisa melarang seseorang untuk memiliki selera yang berbeda. Selera adalah urusan pribadi yang tak bisa dipaksakan.

Bagi saya, bagi Dhani ataupun mungkin bagi banyak orang lain di negeri ini, musik-musik yang sedang aktif malang melintang di kuping kita saat ini adalah musik-musik yang tak berkualitas, yang diproses secara instan, tak bergizi dan tak akan bertahan lama. Namun, saya yakin banyak orang yang membantah pendapat saya. Bermutu atau tidak, toh musik itu tetap enak didengar…mungkin itu alasan mereka (atau anda).

Tapi, sekali lagi selera adalah hal yang tak bisa dipaksakan ?. Jadi, silakan menikmati musik sesuai selera anda, dan saya menikmati musik sesuai selera saya. Simpel bukan..? [DG]