Saya Bukan Anak Mall

Dalam kurun waktu beberapa hari belakangan ini, saya punya aktifitas yang agak di luar kebiasaan, bolak balik mall…yah, saya bilang agak di luar kebiasaan karena sebenarnya keluar masuk mall memang bukan kebiasaan saya, apalagi hobi saya. Dalam batas kewajaran, keluar masuk mall hanya saya lakukan sekali sebulan, atau paling banyak 2 kali. Itupun hanya untuk keperluan belanja bulanan dan/atau beli buku.

Sejak hari kemarin, kantor tempat saya menggali nafkah sedang mengikuti kegiatan pameran perumahan di salah satu mall terbesar di kota Makassar dan sebagai seorang staff promosi saya punya kewajiban untuk ikut serta dalam kegiatan pameran ini, meski bukan sebagai penjaga stand.

Tahun-tahun sebelumnya, acara pameran di Mall ini memang rutin kami ikuti namun saya memang agak jarang atau bisa dibilang tidak pernah mengikutinya. Paling banter hanya datang sesekali, duduk sejenak sebelum berlalu. Entahlah, Mall dan segala hiruk pikuk penuh warna warni di dalamnya tak begitu menarik untuk saya. Ada aroma lain yang selalu bikin saya tak nyaman kala berlama-lama di Mall.

Mall adalah sebuah produk modernisasi, sebuah hasil dari kapitalisme model baru yang diperhalus dengan kata globalisasi. Mall secara tidak sadar telah menggerus banyak aspek sosialisasi yang dulu begitu penting dalam kehidupan kita. Saat kita berbelanja, nyaris tak ada interaksi sosial yang terjadi, atau kalaupun ada jumlahnya tentu minim sekali. Bandingkan dengan suasana berbelanja di pasar tradisional yang masih lekat dengan ritual tawar menawar. Ritual itu secara tidak sadar membuat kita bercakap-cakap dengan orang lain, menciptakan sebuah persinggungan sosial yang ujung-ujungnya bisa berakhir pada pertemanan.

Itu baru satu hal. Mall secara tidak langsung merangsang sifat konsumerisme kita. Bahkan anak-anak kita. Saya sering menemukan anak-anak yang benar-benar telah ketagihan Mall. Setiap hari libur atau setiap kali orang tua tak bekerja, mereka merajuk minta diantar ke Mall. Berbagai permainan modern yang ada di Mall tentu saja menarik minat mereka, belum lagi hiruk pikuk dan warna warni di sana. Secara tidak sadar, kadar konsumerisme mereka meningkat dan akan terus meningkat seiring perkembangan usia mereka. Singkat kata, tak ada yang gratis di dalam Mall, bahkanpun tempat untuk sekedar berkumpul, berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain.

Sekarang coba anda lihat sekeliling anda, cobalah bertanya pada anak-anak muda atau anak-anak ABG yang ada di sekitar anda. Berapa persen dari mereka yang belum pernah ke Mall ?, atau berapa persen dari mereka yang tak suka Mall ?. Pasti jumlahnya sedikit sekali bukan ?. Mind set yang telah terlanjur tumbuh saat ini adalah, kamu bukan anak gaul kalau belum ke Mall. Mall betul-betul menjadi sebuah ikon bagi generasi muda kita.

Entah karena alasan-alasan di atas atau karena ada alasan lain, saya benar-benar tak pernah merasa sangat nyaman bila nongkrong berlama-lama di Mall. Setiap kali ke Mall, saya akan langsung ke tujuan, tak perlu berputar-putar dan mengunjungi tempat-tempat yang tak penting.

Semalam saya duduk lama di stand pameran perusahaan kami, duduk sambil mengamati wajah-wajah orang yang berlalu lalang. Saya mencoba menebak-nebak apa yang ada dalam pikiran mereka. Hanya tebak-tebakan itu yang bisa memaksa saya betah duduk berlama-lama di dalam Mall. Selebihnya saya sungguh tak nyaman. Ternyata, saya memang bukan anak Mall…