Renungan Selepas Sang Pencerah

Sang Pencerah

Ya, saya akui saya sangat terlambat satu tahun cahaya. Film ini sudah ramai dibicarakan orang di akhir tahun 2010, tapi saya baru menontonnya hampir setahun kemudian. Itupun hanya lewat layar televisi, dan oleh stasiun televisi

Hanung Bramantyo adalah sutradara muda potensial milik Indonesia. Deretan karyanya banyak disukai orang, termasuk beberapa karyanya yang mengusung tema Islam. Meski begitu saya pribadi tidak terlalu suka dengan Hanung. Hanung sangat lumayan ketika menyutradarai film bertema umum, tapi ketika menyutradarai film bertema islam, saya tiba-tiba merasa ada ?sesuatu? dari film-filmnya.

Saya tidak akan mencoba menulis review tentang Sang Pencerah, salah satu film milik Hanung Bramantyo yang paling banyak mendapat pujian karena toh di internet sudah bertebaran ratusan atau mungkin ribuan review tentang film ini.

Selepas menonton Sang Pencerah, ada beberapa hal yang berkelebat dalam kepala saya. Hal-hal yang bisa menjadi renungan, khususnya tentang agama yang saya yakini kebenarannya ini. Sang Pencerah – di luar beberapa kekurangannya ? memang ?menawarkan banyak hal yang jika dipikirkan lebih dalam terasa sangat menggelisahkan, khususnya tentang perilaku beragama kita dewasa ini.

Entah disengaja atau tidak, penggambaran dalam film Sang Pencerah seakan banyak membawa realita yang ada di Indonesia dewasa ini. Pembakaran dan pemusnahan tempat ibadah, pengkerdilan peran seseorang hanya karena dia masih ingusan, dan lain-lain dan lain-lain. Apa yang digambarkan oleh Sang Pencerah ? di luar itu fiksi atau bukan -? seperti terulang di jaman sekarang.

Ada satu hal yang paling melekat dalam ingatan saya tentang film ini. Bagaimana ketika Ahmad Dahlan menganalogikan agama dengan permainan biola. Bagaimana sebuah biola yang digesek oleh ahlinya kemudian membuat suaranya terdengar sangat merdu dan mentramkan. Beda dengan biola yang dimainkan oleh orang yang tidak mengerti, suaranya akan mengganggu, tak nyaman dan meresahkan.

Demikian juga dengan agama. Ketika kita paham dengan ajaran agama yang kita peluk, maka kemudian akan terasa betapa menentramkannya agama itu. Namun, ketika ajaran itu kita pahami setitik tanpa sebuah pendalaman maka bisa jadi akan terasa mengganggu bagi orang lain, bahkan cenderung meresahkan. Anda mungkin bisa melihat contohnya pada ragam kejadian di negeri kita, bagaimana sebuah organisasi massa banyak menyebarkan rasa resah hanya karena mereka menganggap diri mereka lebih mengerti tentang agama.

Sedari kecil saya tahu agama saya adalah rahmatan lil alamin, rahmat bagi seisi bumi. Sesekali saya memang diajarkan juga untuk bersikap keras, terutama pada mereka yang melanggar syariat atau mereka yang telah murtad. Tapi itu bukan sebuah keharusan. Sepanjang yang saya pahami, ada jalan lain yang harus didahulukan, dikedepankan sebelum akhirnya nanti memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikan semuanya.

Setahu saya, agama yang saya anut ini adalah agama yang menawarkan kedamaian. Rasulullah sudah memberikan contoh-contohnya, bagaimana dia menaklukkan dan memasuki tanah Mekah dengan damai tanpa pertumpahan darah. Dengan kebesaran hatinyapun dia memaafkan mereka yang telah menyakitinya. Itu yang saya pahami, sejak pertama saya belajar agama Islam hingga sekarang, saat pengetahuan agama saya masih juga berada di level bawa.

Ah, saya tak hendak bicara panjang lebar tentang ajaran agama saya karena saya sama sekali tak punya kemampuan untuk itu. Apa yang saya tulis di sini hanya sekadar renungan sekelebat selepas menonton Sang Pencerah malam tadi.

Ahmad Dahlan yang digambarkan Hanung adalah seorang lelaki yang berpikiran sederhana tentang ajaran agamanya, mungkin seperti itu juga yang saya pikirkan. Tak perlu terlalu rumit, toh Allah sendiri tidak pernah menyusahkan ummatnya.