Menjadi Pencatat Sejarah
Sejarah dibentuk sesuai kepentingan penguasa. Cerita masa lalu yang kita dengaradalah sesuai dengan kepentingan penguasa.
Kalimat di atas sangat dipercaya orang, buktinya juga sangat banyak termasuk di negeri kita. Kisah kelam pergerakan revolusi tahun 1965-1966 misalnya, kisah itu hadir dalam balutan yang berbeda dengan kenyataannya selama masa Orde Baru yang represif. Pemerintah kala itu sangat berkuasa atas media yang jadi alat untuk memoles semua berita dan kesan sesuai kemauan mereka. Hingga kemudian masa kebebasan itu datang juga.
Sejak masa Orde Baru resmi dinyatakan berakhir muncullah masa baru yang membuka keran kebebasan, termasuk kebebasan pers. Ragam media muncul seperti cendawan di musim hujan. Masing-masing muncul dengan mengusung kebebasan pers, mencoba memberi informasi yang katanya berdasarkan kenyataan, bukan hanya opini dan asumsi semata apalagi menurut kepentingan penguasa.
Tapi benar kata Paman Ben di cerita komik Spider Man, “Kekuatan besar datang bersama tanggung jawab yang besar”. Kebebasan yang besar ini ibarat kekuatan yang juga sama besarnya dan di belakangnya mengikut tanggung jawab yang sangat besar juga. Ketika masyarakat mulai menikmati kebebasan pers beberapa media justru mulai beralih fungsi menjadi pencipta imaji, alat pencitraan dan bahkan menghamba pada uang semata. Akhirnya kebenaran dikaburkan, digantikan imaji yang sesuai dengan kemauan media yang dirasa lebih pas untuk jadi alat pendulang rupiah.
Makassar jadi salah satu kota yang kerap menjadi bagian dari penciptaan imaji buruk. Entah karena dekat dengan namanya maka kota ini lantas diakrabkan dengan kata kasar. Sebagian besar media di Indonesia lebih tertarik mengangkat ragam berita dari kota ini bila berhubungan dengan kata “kasar” itu. Tawuran, demonstrasi anarkis yang rusuh, geng motor dan ragam cerita lain yang menyeramkan akan menjadi bahan liputan yang menyenangkan karena lebih mudah dijual meski akibatnya adalah penciptaan imaji yang tak 100% benar dari kota ini. Akhirnya citra yang muncul adalah anak-anak muda Makassar yang akrab dengan kata kasar dan jauh dari kata kreatif.
Suatu hari di satu sudut kota ini saya pernah melihat sendiri kesungguhan anak-anak muda kota ini yang dengan tekun mengajari sekelompok anak-anak jalanan. Anak-anak itu terlihat kucel dengan pakaian yang jauh dari kata bersih. Mulut merekapun tak jauh dari ragam umpatan kasar yang kadang membuat kita jengah, mereka juga bukan tipe anak-anak manis yang bisa diminta duduk tenang dengan tangan terlipat. Mereka anak-anak jalanan yang sudah terbiasa hidup dibuai kerasnya dunia jalanan yang menempa mereka jadi pribadi yang keras dan susah diatur.
Tapi bagaimanapun keras kepalanya anak-anak itu selalu ada cara untuk membuat mereka takluk. Anak-anak muda yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Anak Jalanan (KPAJ Makassar) dengan tekun dan nyaris pantang menyerah terus mendekati mereka, dengan cara mereka sendiri mencoba mengajarkan banyak hal, membantu anak-anak itu untuk mengenal pendidikan yang kadang tak mampu mereka raih di bangku sekolah yang sesungguhnya.
Di sisi lain kota ini ada juga segerombolan anak muda yang rajin menyambangi kampung pemulung yang berdempetan dan akrab dengan kata kumuh. Di kampung itu ada anak-anak yang juga tak beruntung bisa duduk manis di bangku sekolah, mereka juga ditempa kerasnya hidup yang menjauhkan mereka dari kata sekolah dan pendidikan. Kepada anak-anak itulah sekumpulan anak muda itu memberikan waktu, tenaga dan hati mereka. Perlahan-lahan mereka menyajikan ragam pengetahuan baru kepada adik-adik di kampung yang mereka sebut sebagai Kampung Savana itu.
*****
Dua cerita di atas hanyalah sedikit dari banyaknya cerita bagaimana anak muda di kota ini juga punya empati, punya rasa dan punya cara untuk berbuat sesuatu bagi lingkungan dan sesamanya. Tapi ragam berita itu tidak menarik bagi media besar, cerita itu tidak bisa mengangkat nilai tiras atau tingkat klik dan kunjungan pada media daring. Berbeda dengan berita tentang kekerasan atau aksi vandal yang berujung bentrok.
Pada titik inilah peran jurnalisme warga sangat diperlukan. Internet sudah jadi bagian keseharian warga jaman sekarang, menjadi penyebab utama berubahnya cara orang berkomunikasi. Sekarang semua orang bisa menjadi penyampai kabar, pembawa berita dan penyebar informasi. Media tidak lagi menjadi pemegang kuasa penuh dan sepenuhnya karena wargapun berhak menjadi media itu sendiri. Orang menyebutnya citizen journalist atau pewarta warga.
Salah satu media paling efektif dalam era citizen journalism ini adalah blog. Lewat blog warga bisa belajar untuk menuliskan cerita mereka sendiri, merangkum kisah mereka dan membagikannya selayaknya media arus utama. Di blog warga punya kebebasan untuk menjadi penulis dan editor, menentukan sendiri alurnya, mencari sudut sendiri dan tentunya bertanggung jawab sendiri atas apa yang dia tuliskan. Jumlah blogger di tahun 2014 diperkirakan sekisar 4,2 juta orang, berbanding jauh dengan jumlah jurnalis yang 700 ribu orang. Tak heran kalau jurnalis kadang menjuluki blogger sebagai orang yang “mencuri makan siang mereka”.
Saat memilih peran sebagai pewarta warga sesungguhnya satu beban besar dan tanggung jawab besar juga diletakkan di genggaman. Warga yang menjadi blogger atau pewarta harus bisa mengambil posisi sebagai pewarta yang jujur meski tidak mungkin untuk tidak berpihak. Blogger yang baik adalah blogger yang bisa mengutamakan kejujuran dalam setiap tulisannya dan pewarta warga yang baik adalah pewarta warga yang bisa menyampaikan data dan fakta dengan gamblang, tidak selalu hanya berdasar pada opini dan asumsi semata. Tak penting apakah dia memang berpihak pada satu sisi atau tidak, yang penting selama semuanya dituliskan dengan kesungguhan hati, kelurusan niat dan kelengkapan data maka berita yang dibuatnya akan sama berkualitasnya dengan berita dari media arus utama.
Dalam 2 tahun belakangan ini saya dan beberapa rekan sedang berusaha menghidupkan satu laman yang berbasis jurnalisme warga atau citizen journalist. Konsen kami adalah pada upaya meningkatkan kemampuan warga dalam mengemas cerita dan beritanya sendiri. Laman itu kami beri nama Makassar Nol Kilometer, tempat warga kota Makassar menuliskan cerita mereka sendiri, membagikan kisah mereka sendiri. Menulis dan membagikan cerita tentu hal yang mudah, tapi bagian tersulitnya adalah bagaimana menggaransi kebenaran dan ketepatan cerita itu, jangan sampai kita terjerumus pada kebohongan atau opini dan asumsi semata.
Di jaman ketika dunia sudah ada di dalam genggaman ini semua memang punya hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi jurnalis atau pewarta, tapi tentu tak elok rasanya kalau kesempatan besar itu tidak dibarengi dengan kemampuan besar. Menjadi jurnalis warga tanpa pengetahuan dasar yang memadai tentu bisa makin menjerumuskan, membawa kita pada kesesatan yang sama dengan yang dilakukan media dengan agenda tersembunyi itu. Sayang rasanya kalau blogger tak mau belajar memanfaatkan blognya menjadi media alternatif dan menjadikan dirinya menjadi pewarta warga yang berkualitas.
Suatu saat nanti saya membayangkan banyaknya jurnalis warga atau pewarta warga berkualitas yang lahir dari laman-laman blog yang bertebaran di negeri ini. Dalam jangka panjang efeknya akan sangat terasa pada ragam gerakan warga yang berbasis pada gerakan sosial, pendidikan dan bahkan pengentasan kemiskinan. Sambil menunggu waktu itu datang, alangkah baiknya jika kita mempersiapkan diri [dG]