Makassar adalah Rumata
Masih ingat postingan saya tentang sebuah pusat budaya di Makassar yang merupakan impian seorang Riri Riza ? Jumat 18 Februari 2011 kemarin mimpi itu mulai diangkat ke permukaan, diolah menjadi sebuah kenyataan yang meski masih tertatih namun akan terus dijaga oleh mereka yang punya mimpi yang sama.
Bertempat di caf? Mama Jl. Serui, sebuah bangunan tua dengan arsitektur art deco yang alami,Rumata memulai langkah kecilnya. Acara di malam sabtu yang cerah dan sedikit panas itu adalah rangkaian dari 4 hari acara yang semua bertema sama. Mengenalkan budaya kepada masyarakat luas sekaligus penanda akan lahirnya sebuah ruang seni dan budaya di salah satu sudut kota Makassar.
Malam itu, peluncuran Rumata dibuka dengan sebuah pameran foto karya Wendi Miller, seorang warga Australia yang merasa sangat dekat dengan Indonesia dan Makassar pada khususnya. Pameran foto ini diberi judul : I bring Melbourne ke Makassar. Deretan karyanya yang menangkap dengan jelas kehidupan Australia termasuk keindahan alam, ragam bangunan modern dan perilaku manusianya disajikan dengan sangat menawan. Adalah seorang Armin Hari, fotografer dari Makassar sahabat saya yang menjadi kuratornya.
Sebelum pembukaan pameran ada penampilan unik dari Sese Lawing. Saya terus terang kurang mengenal anak muda brambut gondrong yang tegap ini tapi sebelumnya saya pernah melihat dia tampil di Mall membawakan sebuah lagu daerah dengan sentuhan akustik yang sungguh luar biasa. Malam itu dia membawakan beberapa lagu daerah berbahasa Makassar, masih dengan nuansa akustik dan satu lagu yang dibawakan dengan ditemani tabuhan tifa. Penampilannya luar biasa, memikat !! Sese Lawing berhasil membawa aroma berbeda dari sebuah lagu daerah menjadi terdengar lebih modern tanpa kehilangan sentuhan kedaerahannya.
Keesokan harinya rangkaian peluncuran Rumata terus menggelinding. Bertempat di Graha Pena, gedung bertingkat milik korporasi media Fajar Grup, Riri Riza menggelar acara nonton bareng 2 film hasil karyanya : Eliana Eliana dan Drupadi. Sekaligus membuka ruang seluas-luasnya untuk sebuah diskusi tentang film Indonesia.
Sayang, karena sedang ada kerjaan saya tidak sempat menghadiri acara ini. Tapi dari informasi teman-teman acara ini sungguh luar biasa. Seperti biasa, Riri tidak tampil superior. Sebagai seorang sosok sutradara papan atas Indonesia yang sudah menghasilkan beragam karya kelas dunia, Riri tetaplah seorang pribadi yang humble dan sama sekali tidak sok seleb.
Malam minggu yang cerah dengan purnama yang benderang, rangkaian acara peluncuran Rumata makin membuat kami bersemangat. Kali ini gedung Wisma Kalla yang jadi tuan rumah. Sebuah bangunan berlantai 15 milik korporasi Kalla Group menjadi tuan rumah bagi para penikmat seni malam itu. Inilah satu-satunya gedung di Makassar yang memiliki amphitheatre terbuka, keren dan sungguh representatif untuk sebuah pertunjukan seni.
Malam itu saya dan ratusan orang yang datang sungguh terhibur oleh penampilan dari De La Galigo Syndicate, band jazz yang digawangi oleh Andi Mangara, seorang penyiar radio yang sudah terkenal sebagai salah seorang dedengkot musik Jazz di Makassar.
De La Galigo Syndicates tampil luar biasa membawakan beragam lagu jazz yang mampu membuat susasana makin ceria. Saya tidak terlalu paham musik jazz meski masih mampu menikmatinya, dan malam itu saya sungguh terpukau oleh penampilan De La Galigo Syndicates. Anda pernah membayangkan lagu Cinta Satu Malam dibawakan dengan nuansa jazz ? Malam itu saya jadi saksi bagaimana De La Galigo membunuh karakter asli lagu itu yang mungkin dianggap kampungan dan murahan dan kemudian mengubahnya menjadi sebuah lagu jazz yang keren !! Sungguh luar biasa.
Malam itu juga sekaligus menjadi malam peluncuran buku “Family Room” karya Lily Yulianti Farid. Kak Lily-begitu saya biasa menyebutnya-adalah seorang penulis wanita yang sudah lama bergiat dalam dunia sastra dan jurnalistik. Tahun 2008 kak Lily meluncurkan bukunya yang berjudul: Makkkunrai. Buku ini memuat 11 karya cerpennya yang seluruhnya bercerita tentang wanita dengan latar belakang budaya SulSel yang khas.
Beberapa cerita dalam buku itu kemudian dipilih oleh yayasan Lontar untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul : Family Room. Sebuah penghargaan besar tentunya bagaimana karya seorang wanita dari Sulawesi Selatan mendapatkan apresiasi yang mendalam untuk kemudian dilempar ke pasar yang lebih luas, pasar internasional. Sekali lagi salut yang luar biasa untuk seorang Lily Yulianti Farid.
Puncak acara malam itu adalah dramatic reading oleh Luna Vidya. Wanita berdarah Maluku ini tampil luar biasa memukau seluruh hadirin. Saya bukan seorang yang mengerti tentang teater, tapi sejak menyaksikan penampilan Luna Vidya tahun 2008 kemarin saya selalu menunggu waktu lagi untuk bisa menyaksikan monolognya. Entahlah, saya begitu jatuh cinta pada caranya bertutur, selalu ada kesungguhan tan totalitas pada aksi wanita yang energik ini.
Malam itu dia memang tidak tampil bermonolog, tapi dramatic reading adalah monolog dalam skala yang berbeda, nuansa yang didapatkan tetap sama. Luna berhasil membawa semua aroma yang terkandung dalam cerpen : Pembenci Jakarta sehingga kami semua yang hadir ini bisa ikut larut dalam suasananya. Ketika dia menangis, kami serasa ikut menangis, ketika dia bersemangat kami ikut bersemangat. Luna menghidupkan seluruh karakter dalam cerpen Pembenci Jakarta karya Lily Yulianti Farid ini menjadi seolah-oleh hidup dan ada di antara kami.
Dua malam yang luar biasa yang jadi penanda dimulainya sebuah mimpi dan harapan akan lahirnya sebuah ruang seni baru di kota Makassar bernama Rumata, rumah kita semua. Apa yang ditampilkan dalam dua hari dua malam itu adalah gambaran apa yang akan terjadi nantinya di Rumata, sebuah ruang yang memberi kebebasan sepenuhnya kepada karya-karya seni untuk tampil entah itu yang bernama fotografi, musik, film, seni teater, tari, apapun itu.
Karena Rumata adalah rumah kita semua dan Makassar adalah Rumata.
wah…makin byk aja lokasi tujuan wisata di mksr
jd pgn kemksr segera heehhe
ayoo kapan ke Makassar ?
🙂
Oo Rumata itu diartikan Rumah kita gitu ya? Saya tertarik dengan Makassar. Semoga suatu saat bisa ke Makassar..
Semoga Rumata sukses selalu..
kalau Rumata sudah jadi, silakan lho ya..:)
waduuuh menarik semua. acara seperti ini yang biasanya saya nantikan: eksplorasi sastra dan budaya lokal. mantap liputannya *membaca dengan iri*
😀
Oom kalo Rumata dah jadi, wajib lho jalan2 ke Makassar..
ya..ya..ya
wiiih coba samarinda juga ngurusin budayanya dgn serius yak, hihihi yg ada demo tambang terus, di dalam kota aja banyak tambang! wkwkwk
yaa soalnya daerahnya memang kaya dengan hasil tambang sih..hihihi
Thanks atas liputannya Ipul. Jadi cemburu tidak dapat hadir disana..
iyya pak, harusnya pak Amril hadir..acaranya luar biasa..!!
Asik 🙂