Luna Yang Tidak Maya

Dramatical Reading Pembenci Jakarta

Sabtu malam di sebuah gedung hampir di pusat kota Makassar. Sebuah ruang terbuka berbentuk amphitheatre setengah lingkaran dengan sebuah bidang datar yang lebih rendah yang menjadi pusatnya. Lampu dipadamkan, menyisakan beberapa titik lampu kecil dengan warna yang berbeda-beda, menghadirkan suasana dramatis.

Udara agak gerah, di atas langit cerah dengan bintang-bintang yang kerlap-kerlip dan purnama yang benderang. Seorang wanita bergaun hitam maju ke tengah panggung dan kemudian duduk di sebuah kursi yang sudah dipersiapkan. Dia memulai perkenalan dengan gaya yang santai, khas. Persis seperti yang saya kenali selama ini.

Sesi pengantar selesai. Dia menghela nafas sejenak dan nampak berkonsentrasi. Tak lama kemudian rentetan kalimat meluncur deras dari mulutnya. Tidak hanya meluncur, kalimat-kalimat itu dibubuhi tekanan seperlunya, mimik yang pas dan gerakan yang pantas. Dramatis, senyap, menggoda, menghentak, menghanyutkan dan entah kata apalagi yang pas untuk menggambarkan suasana malam itu.

Selama kurang lebih 30 menit, wanita bertubuh lumayan gempal itu menghipnotis seluruh hadirin. Cerpen Pembenci Jakarta yang diceritakannya dengan penuh penjiwaan itu benar-benar menjadi hidup. Seluruh hadirin seakan melihat langsung tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen karya Lily Yulianti Farid itu, pun dengan jalan ceritanya.

Wanita itu bernama Luna Vidya Matulessy, wanita berdarah Maluku kelahiran 27 Februari. Kami memanggilnya kak Luna. Malam itu dia kembali tampil luar biasa, membacakan cerpen Pembenci Jakarta dengan semangat dan penjiwaan yang benar-benar mampu menghipnotis seluruh hadirin. Persis seperti penampilan-penampilannya yang lain, yang selalu membuat saya kagum.

Saya lupa kapan tepatnya saya mengenal dia, seingat saya tulisannya tentang Ambon Kaart di Panyingkul-lah yang pertama kali membuat saya mengenal namanya. Itu baru permulaan karena berikutnya saya selalu menyukai semua tulisan-tulisannya yang cerdas dan memikat. Belakangan saya baru tahu, dia juga seorang wanita yang pandai merangkai puisi.

Saya juga lupa kapan pertama kali bertemu langsung dengan dia, seingat saya dari pertama bertemu dia benar-benar seorang pribadi yang hangat, meledak-ledak, ceriwis dan apa adanya. Waktu itu saya belum tahu kalau dia juga mencintai seni peran, saya masih mengenalnya sebagai orang yang senang menulis saja serta sedikit pandai memotret. Yah, ada beberapa hasil tangkapan kameranya yang saya sukai, utamanya ketika dia pernah menginjak tanah Papua, Raja Ampat tepatnya.

Suatu hari di tahun 2008, dalam acara peluncuran buku Makkunrai karya Lily Yulianti Farid, untuk pertama kalinya saya melihat dia tampil sebagai seorang monologer. Cerpen Makkunrai dipentaskannya dengan sangat memikat. Untuk pertama kalinya saya melihat yang namanya monolog dan langsung jatuh cinta pada penampilan Luna Vidya. Saya bukan seorang yang mengerti tentang teater dan belum pernah menonton monolog sebelumnya. Tapi hari itu, saya baru tahu kalau seni teater, monolog atau apalah namanya ternyata bisa sangat memikat.

Seorang Luna Vidya memikat saya pada suatu siang yang terik.

Beberapa bulan kemudian dalam sebuah acara ulang tahun komunitas Panyingkul saya kembali berkesempatan melihat dia tampil membacakan cerpen Dapur karya Lily Yulianti. Kali ini lebih luar biasa, karena dia tidak sekedar membacakan cerpen tapi juga mendendangkan suaranya yang merdu. Ah, ternyata dia adalah pribadi yang komplit. Pandai menulis, bisa merangkai puisi, mumpuni sebagai seorang monologer dan punya suara merdu. Luar biasa.

Malam makin beranjak larut, purnama tersaput sedikit awan di atas sana. Udara makin terasa gerah, buliran keringat terlihat di dahinya, tapi wanita bergaun hitam itu masih tetap seperti yang saya kenal selama ini. Penuh semangat, berapi-api dan penuh totalitas.

Ketika dia menuntaskan cerpen Pembenci Jakarta, seluruh orang yang hadir malam itu serentak bertepuk tangan, memberikan applaus yang meriah. Semua orang terlihat puas, terhibur dan larut dalam 30 menit lebih yang begit mempesona. Luna berdiri, memberi hormat kepada mereka memberinya tepukan tangan, tawanya lebar. Persis seperti yang selama ini saya tahu.

Bagi saya dia Luna yang tidak maya, Luna yang saya kagumi.

Rekaman penampilan Luna Vidya dalam acara TEDx Makassar, Juli 2010