It is a boy..!!

Alhamdulillah, akhirnya penantian selama 9 bulan lebih itu berujung juga. Hari Kamis (25/9) kemarin, seorang bayi lelaki resmi menjadi bagian keluarga kami. Lewat sebuah proses yang tak mudah, si bocah merah itu menghirup udara bumi tepat pukul 10.56 Wita.

 

Saya bilang prosesnya tidak mudah karena memang butuh banyak rasa sakit sebelum sang bocah bersedia keluar dari comfort zone-nya selama ini.

 

Awalnya dari jam 9 malam di hari Rabu. Saya baru pulang dari acara meeting mempersiapkan acara ulang tahun kedua AM-komunitas blogger Makassar. Di acara itu sendiri saya sudah ngomong ke teman-teman kalau sedang menantikan hari kelahiran anak kedua. Prediksi dokter sang bayi bakal nongol tanggal 26 September, jadi mungkin dalam dua tiga hari ini dia bakal lahir, kata saya.

 

Sesampainya di rumah, setelah ngobrol beberapa jenak ternyata Ofie mendapati bercak kemerahan beserta lendir di pakaian dalamnya. Dug..!!!, saya langsung deg-degan. “ is it the time..?”, tanya saya dalam hati. Tapi Ofie masih sangsi kalau itu tanda-tanda ketuban pecah, lagipula belum ada rasa sakit sedikitpun. Dulu, waktu Nadaa lahir, prosesnya juga tidak normal. Ketuban sudah pecah duluan sebelum ada kontraksi dan ini menyebabkan bundanya mesti menerima induksi sebanyak 3 botol sebelum akhirnya si Nadaa mbrojol.

 

Belajar dari pengalaman Nadaa, kami berusaha supaya kejadian seperti itu tidak terulang. Bukan apa-apa, selain rasa sakit yang lebih lama, implikasinya juga terasa ke persoalan biaya. Pake induksi jelas lebih mahal, bo..!!.

 

Entah karena memang tidak yakin atau karena tak mau percaya, Ofie masih merasa kalau cairan itu bukan ketuban, saya juga ikut-ikutan mengiyakan. Akhirnya kami berangkat tidur. Tanpa sepengetahuan saya, Ofie ternyata mulai merasakan sakit sejak pukul 1.30 dini hari. Saya baru tahu pas bangun sahur, jam 4 lewat. Rupanya sejak jam 1,30 itu Ofie sama sekali sudah tidak bisa tidur menahan sakit.

 

Keputusan kemudian diambil. Selepas shalat subuh kami akan mengunjungi ibu bidan Rosita yang rumahnya masih dalam kompleks kami. Ibu bidan yang baik hati ini sebenanya hanya saya jadikan sebagai “batu loncatan”, nanti berdasarkan analisa beliau saya akan mengambil langkah selanjutnya. Kalau memang bayinya sudah mau keluar, saya akan memboyong Ofie ke rumah sakit. Sebenarnya Ofie sendiri prefer untuk melahirkan di tempat praktek si ibu bidan. Perhitungan biiaya jelas jadi nomor satu, meski terus terang saya meremehkan kemampuan beliau dan merasa kurang yakin akan keselamatan Ofie dan calon jabang bayi kami.

 

Setelah diperiksa ibu bidan, diperoleh kesimpulan kalau sudah ada bukaan, meski baru bukaan 1. si ibu bidan menyarankan Ofie untuk pulang dulu, istirahat di tempat ibu saya yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah bu bidan. Pesan ibu bidan, “ kalau sakitnya makin terasa dan kontraksinya makin intens, segera hubungi saya, nanti saya akan secepatnya pulang”. Ibu bidan musti ke rumah sakit tempatnya kerja dulu.

 

Nah, mulailah masa-masa menegangkan itu. Dalam rentang waktu beberapa jam kemudian rasa sakit makin terasa, kontraksinya juga makin sering. Akhirnya saya menelpon bu bidan, melaporkan secara detail apa yang sedang terjadi. Di seberang sana ibu bidan menenangkan dan bilang kalau beliau akan segera kembali.

 

Mendekati jam 10 pagi, bi bidan sudah di rumah. Kami bergegas ke tempat beliau, meski rasa sakit di perut Ofie membuatnya tak bisa bergerak dengan leluasa. Dengan cekatan ibu bidan membawa Ofie ke kamar persallinan dan saya tentu saja ikut serta.Tak seberapa lama, mertua saya juga ikut. Dengan sekali periksa ibu bidan menarik kesimpulan kalau bukaan sudah naik jadi bukaan 4. Waktunya makin dekat. Rencana untuk melahirkan di rumah sakit dan dibantu dokter sudah tidak terpikirkan lagi. Sudah tanggung, pikir saya

 

Detik-detik dari bukaan 4 hingga waktu lahirnya adalah detik-detik yang menegangkan. Rasa sakitnya makin tak tertahankan sementara dorongan dari dalam untuk mengejan tak juga muncul. Parahnya lagi, kata bu bidan, ketubannya sudah kering. Meski beliau tak bercerita tentang akibat negatifnya tapi saya sudah bisa menebak sesuatu yang buruk bakal terjadi bila si bayi tak segera keluar.

 

Begitu bukaan sudah mencapai bukaan 9, bu bidan segera memerintahkan Ofie untuk mengejan. Masalahnya adalah, Ofie sama sekali tidak merasa ada dorongan dari dalam, dan ini membuat proses mengejan jadi sangat sulit. Sekali lagi bu bidan memberikan analisa kalau si jabang bayi kelilit tali pusar.

 

Wekss..!!, kelilit tali pusar ?, gawat nih-pikir saya. Dalam kondisi normal, seorang bayi yang terlilit tali pusar dan tidak mendapatkan pertolongan yang tepat tentu akan berakhir buruk karena lehernya kecekik.

 

Namun, saya bersyukur sekali atas pertolongan Tuhan lewat tangan bu bidan yang berpengalaman itu. Dengan sangat profesional beliau akhirnya berhasil membantu Ofie mengeluarkan si jabang bayi dan sekaligus melepaskan jeratan tali pusarnya yang melilit sampai 2 kali. Katanya kalau proses ini dilakukan di rumah sakit, maka dokter pasti sudah akan mengambil langkah operasi. Ternyata saya salah telah meremehkan si ibu bidan.

 

Empat menit sebelum pukul 11 pagi, si jabang bayi berjenis kelamin cowok itu akhirnya menangis untuk pertama kalinya. Tubuhnya penuh lendir berwarna kehijauan, katanya sih tanda kalau dia sudah lewat bulan. Pfuihhh..!!!, tak terkatakan rasa syukur saya waktu itu. Sensasi rasa syukur, haru dan gembira seperti yang pernah saya rasakan lebih 4 tahun yang lalu kali ini kembali hadir.

 

Setelah yakin semuanya sudah bisa diatasi-termasuk kondisi sang ibu-saya bergegas mengirim pemberitahuan via SMS ke hampir semua nomor yang ada di inbox saya. Sebagai reaksinya, puluhan SMS berisi ucapan selamat dan doa datang bertubi-tubi. Itu belum termasuk beberapa teman yang langsung menelpon dan katanya langsung bisa mengenali rasa gembira di nada suara saya.

 

Rasanya setiap kelahiran memang harus ditandai dengan kegembiraan. Apalagi karena amanah kedua ini adalah seorang cowok. Lengkap sudah kebahagiaan kami. Seorang cewek telah 4 tahun ini menjadi kebanggaan kami, dan sekarang seorang bocah lelaki yang masih merah seakan melengkapinya.

 

Ahhh…hanya syukur dan puja puji yang mampu kami panjatkan ke hadirat-Nya, sang pemberi amanah yang telah sudi menitipkan amanah nan mulia ini kepada kami. Untuk teman-teman semuanya yang telah turut memberi ucapan selamat dan doa,baik via SMS, telepon, email ataupun mengucapkan langsung, saya hanya bisa berterima kasih. Semoga Allah SWT berkenan menjalarkan kebahagiaan ini kepada anda semua….Aminnn…