Inspirasi dari Sepasang Bocah

 

Momen ketika Asriani menampilkan esai fotonya

Umur berapa anda mulai memotret ? Umur berapa anda mulai membuat cerpen ? Tidak semua orang punya kesempatan untuk belajar fotografi sejak kecil dan juga tidak semua orang punya kesempatan dan kemauan membuat cerpen dari kecil. Selasa malam kemarin ( 21/4 ) saya menyaksikan dua bocah kecil yang punya bakat luar biasa.

Halaman belakang kantor BAKTI malam itu mengingatkan saya pada momen setahun lalu ketika diundang untuk berbicara pada audiens TEDx. Sebuah acara luar biasa yang tadinya saya anggap enteng sehingga tampil dengan persiapan seadanya. Mengingat momen itu saya jadi malu sendiri, harusnya presentasi saya bisa lebih bagus.

Tahun ini, TEDx Makassar mengambil tema “Inspiring Youth” menampilkan para pemuda yang menginspirasi banyak orang. Ada dari kalangan pekerja sosial, enterpreneur, pengajar, mahasiswa, seniman serta aktivis urban dan tata kota. Mereka semua tampil untuk membagi ragam inspirasi yang selama ini sudah mereka sebar ke banyak orang.

Dari sekian penampil saya jatuh cinta pada pasangan Asriani dan Zayyan. Dua bocah cilik yang tampil sebagai bagian dari tema Dunia Anak Perkotaan. Asriani, bocah 12 tahun yang sehari-harinya hidup di pinggiran kanal Sinri Jala bercerita tentang kehidupannya lewat puluhan foto yang adalah hasil karyanya sendiri.

Asriani hidup di daerah pinggiran kota Makassar yang dilalui sebuah kanal panjang yang bermuara di selat Sulawesi. Jangan membayangkan seperti kanal yang membelah kota Paris atau Amsterdam. Kanal yang jadi bagian denyut nadi kehidupan Asriani beserta ratusan orang lainnya adalah kanal dengan air menghitam dan bau menyengat ditambah tumpukan sampah plastik, kertas bekas, kemasan makanan dan minuman, kaleng dan bahkan kotoran manusia.

Asriani menangkap gambar kehidupan para penghuni kampung yang sehari-harinya berinteraksi dengan kanal hitam berbau menyengat itu. Ada anak-anak yang bermain riang dengan sampah yang dikumpulkan dari kanal, ibu-ibu dan remaja putri yang bercengkerama sambil bergosip, jemuran pakaian yang berbagi ruang dengan ikan, tangga setinggi 3 meter yang harus dipanjat warga jika ingin memotong jalan ke kampung sebelah dan banyak lagi foto-foto human interest lainnya.

Asriani membingkai kehidupan kumuh dan terpinggirkan itu lewat sebuah kamera Nikon D7000 yang dipinjamkan oleh Muhary Wahyu Nurba. Saya mengenal Muhary sebagai seorang penyair yang hobi fotografi. Kepada saya dia menceritakan kalau dia memang memberi kebebasan sepenuhnya kepada Asriani untuk memakai kameranya. Muhary hanya memberi bekal dasar menggunakan kamera, selebihnya semua terserah kepada Asriani.

Asriani dan Zayyan

Muhary mungkin menyadari kalau bocah kecil bertubuh kurus ini punya bakat fotografi. Dari deretan foto yang ditayangkannya saya juga bisa melihat bakat besarnya. Asriani mampu menangkap momen yang tepat, instingnya bagus. Komposisi fotonya juga bagus. Semua fotonya bisa bercerita banyak tentang sebuah lingkungan yang akrab dengan kemiskinan, sampah dan kanal yang airnya hitam, mampet dan bau.

Bila terus mendapat bimbingan saya yakin suatu hari nanti Asriani bisa jadi seorang fotografer yang luar biasa.

Selepas Asriani, seorang bocah kecil lainnya naik ke panggung dan memikat para hadirin. Namanya Zayyan, usianya baru 9 tahun. Zayyan membacakan sebuah cerpen berjudul “Monster Kanal dan 3 Sahabat”.

Dengan gaya khas anak-anak yang lugu, polos dan apa adanya Zayyan membawa atmosfir yang luar biasa. Para penonton dibawa masuk ke dalam sebuah cerita tentang kehidupan 3 orang sahabat yang tinggal di pinggiran kanal penuh sampah dan bau busuk.

Jalinan cerita cerpen yang dibacanya memang sederhana, sedari awal kita sudah bisa menebak jalan cerita dan endingnya. Tapi yang luar biasa adalah karena cerpen tersebut adalah buatannya sendiri ! Seorang anak umur 9 tahun yang kata bapaknya menggemari cerpen Putu Wijaya, dan dia mampu membuat sebuah cerpen anak-anak yang polos dan syarat dengan pesan moral. Jelas sekali kalau Zayyan memiliki bakat yang dipunyai sang ayah, Muhary Wahyu Nurba.

Selama lebih setengah jam, kami yang hadir pada cara TEDx Makasar semalam dibuai oleh kepolosan khas anak-anak. Pesan yang mereka sampaikan jelas tertangkap oleh para hadirin lewat sebuah cara penyajian yang sederhana, tidak berbelit-belit dan apa adanya.

Saya membayangkan bertahun-tahun ke depan, anak-anak itu akan tampil di panggung yang lebih besar dengan skala yang lebih besar pula. Mereka anak-anak luar biasa yang bukan tidak mungkin akan menginspirasi banyak orang untuk berbuat yang lebih baik.

Sungguh saya bersyukur menjadi saksi penampilan kedua anak yang luar biasa itu.