CITY OF JOY : Sebuah epik tentang kepahlawanan.

Judul                      : City of joy / Negeri Bahagia

Pengarang               : Dominique Lapierre

Alih Bahasa              : Wardah Hafidz

Penerbit                  : Bentang Pustaka

 

Saat kita sedang asyik menikmati semeja penuh hidangan yang membuat perut kekenyangan dan keringat bercucuran, di salah satu sudut bumi ini ada saudara kita yang mungkin harus puas dengan tiga sendok nasi untuk mengganjal perut sehari penuh. Saat kita menutup hidung karena rasa jijik melihat seekor tikus yang membujur kaku dengan perut menggembung, di salah satu sudut bumi ini ada orang-orang yang harus menerima nasib hidup berdampingan dengan binatang pengerat itu, entah yang masih hidup ataupun yang telah menjadi bangkai.

 

Cerita-cerita penuh penderitaan seperti itulah yang coba diangkat dalam City Of Joy karangan Dominique Lapierre. Di buku setebal 736 halaman ini, Dominique mengangkat kisah kepahlawanan beberapa anak manusia di salah satu tempat paling bobrok di muka bumi. Tempat di mana hidup manusia paling melarat dari yang melarat. Di sebuah pusat kemelaratan di India yang ironisnya diberi nama Anad Nagar atau City of Joy atau Negeri Bahagia terjalin berbagai kisah yang kemudian ternyata menasbihkan kebenaran dari nama tersebut.

 

Buku ini menceritakan perjalanan hidup dua tokoh utama berbeda ras dan suku di satu sudut kota Calcutta-India. Tersebutlah seorang lelaki India asli bernama Hasari Pal yang terpaksa meninggalkan desanya, meninggalkan kehidupannya sebagai seorang petani untuk ikut bersikutan dengan ratusan ribu orang lainnya di kota yang termasuk kota terpadat di dunia tersebut.

 

Kekeringan yang panjang menjadi alasan bagi Hasari Pal untuk mengayunkan langkahnya ke Calcutta dan akhirnya ke salah satu pusat kemiskinan kota tersebut, Anand Nagar atau City of Joy. Tak pernah ada yang mudah dalam perjalanan hidup Hasari Pal beserta istri dan ketiga anaknya. Tuntutan untuk menghidupi keluarga membuat Hasari harus rela bekerja apa saja. Dari mulai menjadi kuli, menjual darahnya, hingga kemudian memperoleh pekerjaan yang lebih “layak” dengan menjadi penarik angkong. Becak yang ditarik oleh manusia. Dengan perut yang hampir selalu kosong, Hasari memaksa kekuatannya hingga batas yang sama sekali tak bisa ditoleransinya. Semua hanya demi menyambung hidupnya dan hidup istri serta ketiga anak-anaknya.

 

Di alur yang lain diceritakan tentang seorang misionaris bernama Stephan Kovalski yang berusaha meninggalkan semua atribut baratnya yang mewah dan nyaman untuk terjun ke tengah-tengah orang papa di Anand Nagar. Kovalski terus berusaha menjadi bagian dari komunitas paling terpinggirkan itu. Tidur di rumah petak beralaskan tanah seperti mereka, dengan got yang selalu mampet, berbau, berwarna hitam dan penuh kuman. Bahkan saking inginnya ikut merasakan kehidupan mereka, saat jatuh sakitpun Kovalski tak rela diobati di klinik mewah dan pantas. Dia memaksa untuk dibawa ke rumah sakit bobrok, sama seperti kawan-kawannya yang lain di Anand Nagar.

 

Alur kehidupan kedua manusia ini penuh liku, sebelum akhirnya dipertautkan di sepertiga akhir cerita. Ada banyak cerita menakjubkan dari perjalanan kehidupan mereka. Cerita yang menggambarkan betapa di sebuah tempat paling miskin dan bobrok sekalipun orang masih bisa menemukan kedamaian, kasih sayang dan kehangatan dari manusia lainnya.

 

Nama Anand Nagar atau City of Joy atau Negeri Bahagia awalnya terdengar bombastis untuk sebuah daerah bekas rawa yang dihuni sekitar 70 ribu orang miskin nan melarat di India. Kebahagiaan apa yang kiranya bisa didapatkan dari sebuah daerah yang sepanjang tahun tak pernah lepas dari intaian penyakit akibat sanitasi yang jelek, air bersih yang kurang plus sampah yang tak terurus. Kebahagiaan apa yang bisa didapatkan dari interaksi begitu banyak orang yang bahkan untuk makan hari inipun masih harus berpikir keras sehingga tak jarang dalam sehari mereka harus puas dengan tiga sendok nasi plus beberapa biji pisang dan segelas air tebu.

 

Namun perjalanan kisah kedua tokoh utama dalam buku ini beserta beberapa tokoh pendukung lainnya kemudian menyadarkan kita kalau kebahagiaan sesungguhnya bukan hanya ada di tampilan duniawi. Kebahagiaan sesungguhnya ada dalam hati kita. Saat kita bisa berbagi kasih sayang, berbagi perhatian dan berbagi kesusahan dengan orang lain, di saat itulah kebahagiaan akan merayap masuk ke lubuk hati kita.

 

————————

Buku ini sebenarnya buku lama, pertama kali terbit tahun 1985 dan telah dialih bahasakan dalam beberapa bahasa. Dominique Lapierre melakukan riset selama bertahun-tahun dan melakukan ratusan jam interview yang panjang dengan beberapa orang hingga kemudian berhasil membingkai sebuah kisah perjuangan yang mengagumkan sekaligus menggetarkan dari beberapa saudara kita nun jauh di India sana.

 

Buku ini berhasil menggambarkan dengan sangat gamblang berbagai persoalan mendasar yang dialami beberapa negeri di dunia ketiga. Negeri-negeri yang kekayaan alamnya banyak tersedot ke Eropa, negeri-negeri yang larut dalam pertentangan berbagai ideologi, faham dan kepentingan yang menghancurkan masyarakatnya sendiri. Negeri-negeri yang dicap oleh orang Eropa dan Amerika  yang lebih maju itu sebagai negeri terbelakang meski sesungguhnya merekalah yang sedikit banyaknya ikut ambil bagian dalam proses penghancuran sebuah negeri.

 

Dominique juga banyak memaparkan ironi yang terjadi di dunia ini. Tentang bagaimana orang-orang miskin di dunia ketiga (bukan hanya India) rela menjual janin mereka bahkan menjual tulang belulang mereka sementara mereka masih hidup untuk keperluan penelitian medis di negara-negara maju. Orang-orang miskin yang tergilas roda jaman itu tak punya pilihan lain selain menyerahkan diri mereka pada sebuah sistem yang tak masuk akal hanya demi mengisi perut mereka yang nyaris tak pernah penuh.

 

Bagi anda yang masih saja sibuk mempersoalkan rasa sebuah makanan yang tak sesuai selera atau sibuk berebut lahan parkir di sebuah mall, maka buku ini akan menyadarkan anda kalau sesungguhnya anda masih jauh lebih beruntung dibanding mereka. Bukan hanya mereka yang jauh di India sana, bahkan mungkin di sekitar kitapun ada banyak saudara kita yang masih terus rela hidup dengan cap miskin di jidat mereka, tak peduli sekeras apapun mereka membanting tulangnya. Sungguh, tak ada hal yang paling tepat untuk kita lakukan selain bersyukur atas apa yang kita miliki, dan seperti pepatah India yang tercantum di buku ini, segala yang tak diberikan berarti hilang tak berbekas. Jadi, mari bersyukur dan kemudian berbagi.