Bung..

Bung Hatta

Seandainya saja Bung Hatta masih hidup, kira-kira perasaan apa yang membuncah dalam dadanya melihat Indonesia hari ini ?

Bung, 66 tahun lalu ketika kau bersama dengan Bung Karno memutuskan untuk membubuhkan tanda tangan di atas naskah proklamasi, apa yang ada dalam kepalamu ?

Sebuah negara yang suatu hari nanti bisa kamu hisap semua sumber dayanya ? sebuah negara yang kau harapkan bisa membuatmu, keluargamu dan keturunanmu kaya raya hingga tak perlu bekerja lagi ? Ataukah kau sungguh ikhlas memerdekakan bangsa ini, melepaskannya dari cengkeram erat jemari penjajah dan menuntunnya berdiri sendiri ?

Bung, 66 tahun yang lalu ketika kau memutuskan untuk berjuang memerdekakan bangsa ini, ?pernahkah kau memikirkan berapa banyak uang negara yang bisa kau simpan untuk dirimu sendiri ? atau untuk keluargamu, atau untuk keturunanmu ? Atau kau tak pernah memikirkan itu semua ?

66 tahun setelah naskah itu kau proklamirkan bersama Bung Karno, negeri ini telah mengaku bebas merdeka. Lepas dari orang-orang kulit putih atau kulit kuning seperti yang pernah kau lawan kehadirannya. Bung, kau mungkin akan tersenyum lebar melihatnya.

Saat kau mendampingi si Putra Sang Fajar di Pegangsaan Timur hari itu, mungkin terbersit dalam bayanganmu tentang sebuah negara yang bersatu, merdeka dan bebas dari bayang-bayang cengkeraman negara lain. Hari ini, 66 tahun lebih sehari dari tanggal itu negeri yang turut kau bidani kelahirannya benar telah merdeka. Tapi apakah benar lepas dari bayang-bayang negeri asing ? Sayangnya tidak..

Bung, negeri yang kau bantu kelahirannya sekarang menjadi negeri yang pemimpinnya takut pada raksasa di seberang lautan itu. Negeri yang pemimpinnya merasa negara di seberang lautan itu sebagai negeri keduanya, negeri tempatnya berkiblat, negeri tempatnya menetek dan menggadai harga diri.

66 tahun setelah peristiwa itu, negeri yang kau perjuangkan ini menjadi negeri tempat hidupnya orang-orang yang mencari makan lebih rakus dari tikus-tikus di selokan. Negeri ini menjadi sebuah panggung sandiwara, tempat mereka yang mengaku pemimpin itu berjoget di atas penderitaan kami rakyat kecil ini.

Bung, hari ini genap 66 tahun satu hari sejak peristiwa itu tapi negeri ini belum sepenuhnya merdeka. Mereka yang dulu kau usir itu sekarang kembali, tapi dalam bentuk yang berbeda. Mereka tak lagi bersenjata tank dan bedil, tapi sekotak kalkulator dan setumpuk kontrak. Bung, mereka menjajah dengan riangnya karena anak cucumu juga memberi mereka kesempatan, karena anak cucumu sudah cukup puas dengan perutnya yang gendut, tak peduli harga diri bangsa yang dia gadaikan dan tak peduli pada anak bangsa yang makin hari makin tak mengerti tentang arah negeri ini.

Bung, tahukah kamu ? Makin banyak anak negerimu yang memilih mengais rejeki di luar sana. Di negeri yang dulu pernah kau usir dan negeri-negeri yang lain. Mereka ke sana karena di negeri ini mereka tak diakui, mereka pintar tapi tak cukup cerdik untuk bertahan di negeri yang dulu kau perjuangkan kemerdekaannya ini.

Bung, negeri ini sekarang dipimpin seorang lelaki gagah bertubuh besar yang sangat prihatin. Jika kau melihatnya, mungkin kaupun akan prihatin. Seperti kata yang sering diucapkannya.

Ah, Bung..terima kasih sudah mengantarkan kata bernama merdeka ke negeri ini. Biarlah kami yang akan memaknainya, entah dengan cara apa. Mungkin dengan cara yang sesuai dengan jaman yang sudah digital ini, sehingga benderapun harus dikerek secara digital dan upacara dilakukan secara digital, maya dan semu.

Terima kasih bung, mudah-mudahan kau mendengar kami berteriak merdeka. Meski hanya lewat sebatang perangkat elektronik yang kami pegang.

Merdeka !!