Believe In London Dream
If you can work it out in London, you can work it out in the world. Kalau Anda bisa mengenali London, Anda akan bisa mengenali dunia. Begitu salam Londoners (warga kota London) kepada dunia.
Kalimat ini mungkin terdengar sedikit arogan tapi tidak ada salahnya. London adalah salah satu kota terkaya di Eropa, London adalah salah satu jangkar Eropa, tempat di mana jantung imperium pengendali Eropa dan dunia bertengger. London adalah kota paling kosmopolitan sejagat.
London yang luasnya dua kali Jakarta diisi setidaknya 8 juta jiwa dari beragam ras di muka bumi ini. Di atas tanah London setidaknya ada 300 bahasa yang beredar dan digunakan warganya yang mencari makan dari ribuan jenis pekerjaan. London hampir sama dengan kota kosmopolitan lainnya sepeti New York, Paris atau Amsterdam yang seakan jadi surga bagi para imigran. Bedanya, di London para imigran tidak hidup dalam lingkungan komunal dengan sesamanya seperti yang terjadi di New York atau kota lainnya.
Para imigran di London hidup berpencar dan tidak sempat membentuk lingkungan komunal, salah satu alasannya karena luas kota London yang tidak terlalu besar dan tidak memungkinkan mereka membentuk lingkungan baru. Sebenarnya ada lingkungan yang seperti tercipta khusus buat ras tertentu seperti Tower Hamlets yang dihuni orang Bangladesh, Stockwell yang banyak dihuni oleh orang Portugis atau Kensington yang dihuni warga Perancis, tapi mereka bukan mayoritas dan lingkungan itu tidak bisa dianggap sebagai kepunyaan mereka.
Meski disesaki para imigran, London sebenarnya tidak punya sejarah panjang sebagai kota yang toleran khususnya buat ras kulit berwarna. Di awal tahun 1950an kabarnya hanya ada ratusan warga London yang berasal dari India atau Pakistan. Saat itu juga orang terbiasa melihat tulisan di jendela yang bernada rasis seperti “Tidak ada tempat buat orang berkulit berwarna” atau “Tidak ada tempat buat orang Hungaria”. Kondisi ini baru berubah beberapa dekade ke depan ketika jumlah imigran terus bertambah di kota London.
Hingga akhirnya London terkenal sebagai salah satu kota yang paling ramah pada imigran. Kondisi ini ternyata tidak berpengaruh banyak pada jumlah kejahatan, London termasuk kota yang aman. Sebagai perbandingan di tahun 2010, London hanya mencatat jumlah kejahatan pembunuhan sebanyak 125 kasus, bandingkan dengan New York yang jadi salah satu kota teraman di Amerika yang mencatat jumlah 536 kasus pembunuhan.
Uniknya, meski termasuk kota terkaya dan kosmopolitan namun asal kata London sendiri masih terus menjadi perdebatan. Ada yang percaya kalau nama London itu berasal dari bahasa Latin atau Celtic, Londinium tapi ada juga yang percaya kalau nama itu berasal dari legenda King Lud yang patungnya ditaruh di sela-sela bangunan Saint-Dustain yang terletak di Fleet Street, The West End. Perdebatan ini adalah perdebatan abadi dan tak akan pernah selesai, sama seperti ketika kita mendebatkan klub sepak bola London mana yang terbaik.
*****
Bicara London tak lengkap tanpa membicarakan klub sepakbolanya. Tanya semua pecinta sepak bola di seluruh dunia, mereka pasti mengenal nama-nama seperti Arsenal, Chelsea atau Tottenhan Hotspur. Pecinta sepak bola sejati juga pasti paham nama lain seperti West Ham United, Charlton Athletic, Fulham, Queens Park Ranger, Watford atau Millwall. Nama-nama itu adalah nama-nama klub sepak bola yang bermarkas di kota London.
London atau Greater London dibagi dalam tujuh distrik: The West End, East London, The East End, Docklands, West London, South London dan North London. Ketujuh distrik itu masing-masing punya klub sepak bola yang berlaga di liga Inggris, beberapa di antaranya malah jadi tim kelas atas di liga premier Inggris. Total ada 14 tim yang berasal dari kota London dengan 10 stadion besar di kota yang besarnya dua kali DKI Jakarta itu.
Sepak bola memang mengalir dalam darah orang Inggris dan tentu saja orang London. Konon orang Inggris sejatinya hanya punya dua tugas yang harus dia kerjakan seumur hidupnya, pergi ke kantor dan pergi ke stadion. Euforia sepak bola akan dimulai di Jumat selepas mereka pulang dari kantor. Orang Inggris akan mencari berita terbaru tentang klub kesayangan mereka sebelum datang ke stadion keesokan harinya. Di hari Sabtu aroma sepak bola akan semakin kencang. Biasanya ada pertandingan yang dimulai siang hari meski sebagian besar adalah pertandingan di malam hari. Hari Minggu, ada dua hal yang dilakukan orang Inggris, belanja ke supermarket dan datang ke stadion. Di hari Senin ketika euforia ini belum selesai maka para penggemar sepak bola akan terus mengobrol tentang sepak bola, kadang ada bonus di malam hari berupa pertandingan liga.
Bagi Anda yang sempat menonton film Green Street Hooligans maka Anda tentu akan paham bagaimana gilanya orang Inggris (atau orang London yang jadi setting film itu) terhadap sepak bola. Bagi mereka sepak bola bukan sekadar olah raga, sepak bola sudah jauh merasuk dalam darah mereka. Sepak bola adalah filosofi hidup yang terus melekat seperti nafas yang terus berhembus.
Kegilaan sepak bola dan kultur sepak bola yang sangat lekat di Inggris, khususnya London sepertinya jadi alasan yang diambil Roman Abramovich ketika membeli Chelsea di tahun 2003. Roman membeli saham Chelsea seharga 59,3 juta Pound milik Ken Bates plus melunasi hutang klub itu sebesar 80 juta Pound. Dalam sekejap pengusaha kaya dari Russia yang kala itu baru berumur 37 tahun mengubah Chelsea dari tim semenjana menjadi tim yang mau dan bisa membeli siapa saja. Sebelas tahun berselang dan Chelsea sudah jadi salah satu klub yang disegani di Inggris dan bahkan di Eropa yang jadi jantung sepak bola dunia.
Roman tentu sangat paham pada salam Londoners yang saya tulis di awal tulisan, Romanpun pasti percaya pada London Dream yang bilang kalau Anda bisa menguasai dunia dari London. Dengan uangnya yang seperti tak punya nomor seri itu, Roman membeli dan kemudian mengubah Chelsea jadi klub besar, tentu untuk memuluskan mimpinya menguasai dunia.
*****
London adalah jantung Eropa, ibu kota sepak bola Inggris dan tempat bercokolnya raksasa sepak bola Inggris dan dunia. Bagi para pecinta sepak bola, rasanya tidak ada keraguan untuk datang ke London. Menghirup nafas sepak bola di semua sudut kota London, menikmati euforia sepak bola yang mengambang nyaris setiap saat, rasanya tentu sungguh luar biasa.
London memang bukan hanya sepak bola dan stadion. London punya 240 museum yang tersebar di semua sudut kota, bukti betapa Londoners begitu mencintai sejarah mereka. London juga punya seratusan lebih gedung teater yang juga melambangkan kecintaan mereka pada seni. Membicarakan London tak bisa hanya dari satu sisi saja, karena London benar-benar kota kosmopolitan tempat pertemuan beragam aliran, passion dan semangat meski di atas segala-galanya sepak bola tetap jadi nafas utama.
Bagi pecinta sepak bola, tak perlu menimbang-nimbang atau mengajukan pertanyaan In or Out? bila berbicara tentang London. Orang Inggris selalu dengan bangga menyebut negara mereka sebagai home of football, rumah dari sepak bola. Dan jika itu benar maka London tentu adalah ruang tamunya. Saya tak bisa membayangkan nikmatnya menjelajahi kota London, mendatangi stadion-stadion besar seperti Emirates Stadium, Stamford Bridge atau White Heart Lane, melihat puluhan ribu fans sepak bola mendatangi stadion seperti air bah yang menerjang dan merasakan sendiri adrenalin yang mengalir deras bersama serunya pertandingan di atas lapangan hijau. Pokoknya semua tentang sepak bola.
Tahun 2003, Roman Abramovich mulai membangun mimpinya di salah satu kota paling kosmopolitan di dunia, London. Sampai saat ini imperium yang dibangunnya di atas landasan mimpi itu masih terus menggeliat dan jadi satu imperium sepak bola terbesar di dunia. Roman Abramovich yang bukan orang Inggris itu punya kesamaan dengan jutaan warga London. Mereka sama-sama percaya pada satu mimpi, they believe in London dream. [dG]
Sumber:
Wikipedia
Financial Times
Geography.com
Buku Drama Itu Bernama Sepak Bola ; Arief Natakusumah.