ANAK-ANAK DAN PERMAINANNYA

Dalam rapat koordinasi hari senin kemarin, bos sempat menyinggung tentang kehidupan masa kecilnya yang indah,sederhana dan Ndeso, topik yang kemudian mampu menyentil memori tentang masa kecilku dan membandingkannya dengan masa kecil anakku sekarang ini.

Terus terang, masa kecilku dapat digolongkan bahagia. Hidup di lingkungan yang masih asri membuat aku dan teman-teman bisa mencari bermacam-macam alternatif permainan yang “alami”. Di belakang kompleks rumah kami masih tumbuh subur pohon-pohon dan semak belukar hingga hampir mirip sebuah hutan, belum lagi termasuk kebun-kebun mangga atau singkong milik penduduk. Kegiatan yang paling sering kami lakukan adalah masuk hutan, manjat pohon mangga atau pohon nangka, tapi yang paling sering adalah manjat pohon lobi karena pohonnya yang relatif lebih pendek. Kadang bila nakal kami kumat, kami nekad menerobos pagar kawat duri dan masuk ke kebun orang untuk hanya sekedar mengambil mangga yang lebih manis daripada mangga-mangga liar di luar kebun. Sebagai info, kawasan tempat kami “bergerilya” itu sekarang sudah disulap menjadi kawasan perumahan cukup elit di kota Makassar, yang lucunya lagi jadi tempatku mencari nafkah sekarang ini.

Sepulang sekolah saat udara panas menyengat kami biasanya berlomba-lomba menceburkan diri ke sungai yang mengalir di depan kompleks, atau kadang-kadang berjalan agak jauh untuk bisa berenang di dekat bendungan, tidak peduli pada “ranjau” berupa kotoran manusia yang juga banyak berlayar di sungai itu. Kadang-kadang juga kami ikut menggembalakan kerbau milik teman di lapangan luas di kompleks kami, lapangan yang sore harinya kemudian dipakai sebagai tempat bermain bola. (saat ini lapangan itu “ditumbuhi” ruko-ruko).

Saat hujan turun adalah saat yang paling menyenangkan untuk bermain bola, karena aku dasarnya paling suka melakukan sliding tackle, dan lapangan yang licin dan becek tentunya membuat sliding tackle aku makin lancar, walhasil aku pasti pulang dengan pakaian yang sangat kotor. Memandikan kerbau dan sapi, mencarikan rumput dan memberi makan hewan-hewan berkaki empat itu adalah juga merupakan momen yang tidak pernah hilang dari memori.

Di musim kemarau saat angin bertiup kencang, kami suka bermain layangan, sementara di musim hujan pilihan kami jatuh pada kegiatan berakit-rakit di sawah yang tergenang dibelakang rumah. Saat musim tanam padi tiba, aku juga sering ikut menanam padi di sawah milik para penduduk asli, kemudian saat padi mulai menguning kami ikut menjaganya dari serangan burung-burung. Bercanda di dangau sambil sesekali membunyikan “alarm” yang terbuat dari kaleng-kaleng bekas yang dirangkai menggunakan tali. Pengalaman di dangau itu sangat berkesan bagi aku, tidak ada makanan yang lebih menyenangkan selain makanan rumahan yang disantap sambil diiringi angin sepoi-sepoi di dangau pinggir sawah. Sekarang sawah itupun telah menjadi lingkungan real estate.

Kembali ke tahun 2007, dengan kondisi telah dewasa, menikah dan memiliki anak usia 3 tahun. Saat ini boleh dibilang makin sulit rasanya mencari area publik yang terbuka yang memungkinkan anak-anak bermain lepas dan dekat dengan alam. Selain itu budaya instant juga membuat para orang tua lebih suka menghadiahkan mainan elektronik buat anaknya semisal PS dan game-game elektronik lainnya, mainan yang pada dasarnya kemudian membuat anak-anak jadi makin malas bersosialisasi baik dengan teman lainnya ataupun dengan alam sekitar. Selain itu anak-anak pun jadi malas berkreasi untuk membuat mainan sendiri, ngapain repot-repot kalau semuanya bisa dibeli.

Anak-anak sekarang-termasuk anakku-biasanya hanya punya satu tujuan di hari libur, ke mall. Melihat Ayah dan Bundanya bersantai di pagi hari si kecil segera tahu kalau ini hari libur, dan secara otomatis akan memaksa untuk diajak ke Mall. Hal ini cukup merisaukan aku dan istri, karena bagaimanapun kebiasaan ke mall di hari libur dan bermain di tempat-tempat bermain di mall sesungguhnya menumbuhkan sifat konsumerisme. Hilang pula kesempatan sang anak untuk dekat dan peduli pada alam sekitar, aku takut anak aku nantinya hidup sebagai “orang kota” yang konsumtif dan tidak punya kepedulian pada alam.

Risau dengan kemungkinan ini kamipun mencoba membuat program baru, mengenalkan alam sekitar pada si kecil dan mencari alternatif kegiatan liburan yang berbeda. Dimulai dari beberapa minggu yang lalu, kami meluangkan waktu mengunjungi tempat wisata air terjun dan pantai. Si kecil sangat menikmati saat-saat kedekatannya dengan alam itu, bermain air dengan bebas, membuat istana pasir dan belajar berenang. Di hari-hari ke depan kami akan lebih berusaha meluangkan waktu untuk bisa mengenalkan sikecil dengan alam dan lingkungannya. Terkadang kami juga membiarkan si kecil bermain lumpur dan pasir di depan rumah yang kebetulan suka tergenang air saat hujan. Memang sih banyak tetangga yang merasa kami agak aneh dengan memberi kebebasan berkotor-kotor pada si kecil. Tapi seperti tagline iklan sebuah sabun cuci, kami tidak takut si kecil pulang dengan pakaian kotor, sepanjang dia belajar sesuatu dari aktifitasnya yang dekat dengan alam.

Beruntung bahwa saat ini si kecil kami masukkan di playgroup yang punya program mengenal alam dan lingkungan sekitar. Setiap hari rabu dan jum’at anak-anak diajak piknik ke ruang terbuka, mengenal berbagai tumbuhan dan belajar meyayanginya. Akungnya bahwa kota Makassar tidak lagi punya kebun binatang, tempat yang menurut aku bisa bermakna lebih buat anak-anak selain tempat rekreasi. Taman terbuka yang layak buat dijadikan tempat bermain pun tergolong sangat langka, kalaupun ada lingkungannya kadang tidak kondusif lagi buat dijadikan tempat bermain karena kadang tidak terawat. Pernah terbayang di kepalaku, kalau aku jadi orang super kaya dan punya tanah luas pengen rasanya aku buat menjadi taman yang rimbun dengan berbagai arena permainan yang kreatif bagi anak-anak dan bisa dijadikan tempat bersantai bagi para orang tua.

Yah, bagaimanapun ini tugas berat para orang tua untuk lebih kreatif mencarikan alternatif area bermain yang lebih positif, dan tentunya mampu memancing kreatifitas, kepekaan dan kepedulian anak-anak terhadap lingkungannya.