Aku, lelaki sejati pencari tukang cukur abadi

Seberapa sering anda mengunjungi tukang cukur atau salon untuk merapikan rambut ? jawabannya mungkin beda-beda, ada yang rajin bahkan jadi ritual bulanan tapi ada juga yang tidak punya interval waktu yang tetap, sepengennya aja. Bahkan mungkin ada juga yang sudah lupa kapan terakhir kali berkunjung ke tukang cukur.

Nah, saya sendiri tidak punya waktu khusus untuk merapikan rambut. Dulu, sebelum menikah sampai sebelum punya anak saya termasuk orang yang agak malas berurusan dengan gunting rambut. Dalam setahun biasanya saya cuma dua kali mengunjungi tukang cukur, tapi sekali cukur langsung plontos-tos-tos. Alasannya, rasanya sayang aja kalau ke tukang cukur, bayar dengan harga yang sama tapi hanya motong sedikit. Mending bayar harga yang sama tapi motongnya banyak. Benar-benar gak mau rugi yak ?

Soal langganan, saya tidak punya langganan khusus. Bahkan sepanjang hidup saya belum pernah bertemu dengan tukang cukur yang betul-betul mengerti keinginan saya. Seringnya saya ketemu dengan tukang cukur yang salah mengerti dan ujung-ujungnya minta rambut diplontos saja karena terlanjur kesal salah model.

Oh ya, seumur hidup saya juga belum pernah potong rambut di salon. Dalam artian salon “beneran” lho ya, kayak yang di mall-mall atau ruko-ruko gitu. Waktu ABG dulu pernah sekali potong rambut di salon jadi-jadian, salon yang semua kapsternya juga wanita jadi-jadian. Sampai sekarang saya belum bisa mengerti alasan apa yang dulu membuat saya sampai memutuskan untuk merelakan rambut saya dipotong di salon jadi-jadian itu. Mending kalau salonnya rapih, yang ada salonnya hanya bangunan dari papan sangat sederhana dengan jendela kaca besar yang ditempeli tulisan “SALON”. Alatnya juga sederhana, beda tipis dengan alat tempat cukur biasa.

Satu lagi yang paling saya ingat, waktu itu sang kapster (lupa namanya) sepanjang ritual potong rambut sibuk menowel pipi saya sambil sesekali nyubit dengan gemas. Nah, sambil nyubit itu dia selalu ngomong, ” Ihh..cakep banget sih. Kenapa gak jadi model aja ?? “. Walah..!!!, basi banget. Untung waktu itu Debby Sahertian belum mengeluarkan kamus bahasa gaulnya, jadi bahasanya masih standard dan hanya ditambahi gaya melambai yang lebay itu.

Hasil cukurnya bagaimana ? saya agak lupa. Tapi kalau tidak salah waktu itu modelnya macam model rambut Andy Lau. Gimana sih neranginnya, yang jelas bagian belakangnya bertrap gitu deh dengan model depan yang belah tengah (silakan membayangkan sendiri). Maklum waktu itu emang lagi demam model rambut bintang film Hong Kong macam Andy Lau dan Aaron Kwok. Sudahlah, gak penting banget.

Pengalaman potong rambut di salon jadi-jadian itu jadi pengalaman pertama dan terakhir saya potong rambut di tempat bernama salon, selanjutnya sampai sekarang saya selalu menjatuhkan pilihan pada tukang cukur Madura. Bukan karena trauma sih, cuma lebih karena faktor pelit mengeluarkan uang dan kesan kalau Salon masih lebih pantas buat perempuan. I’m just an old school I guess.

Oh ya, satu lagi pengalaman kurang mengenakkan tentang tukang cukur. Saya lupa kapan tepatnya,yang jelas yang nyukur itu bapak-bapak. Usianya mungkin 50an lebih dan gayanya agak-agak melambai gitu deh. Mungkin dia mantan waria yang kemudian memilih untuk menjadi lelaki tulen meski gayanya masih tetap melekat. Nah, pengalaman nggak enaknya itu adalah karena sepanjang ritual cukur sempat-sempatnya dia menggesekkan-maaf-kelaminnya ke siku saya yang memang nempel di kursi. Tadinya saya kira si bapak gak sengaja, tapi lama-lama koq rasanya makin sering dan serasa dipaksakan. Mungkin saya berlebihan, tapi suer rasanya benda keramat si bapak makin lama makin mengeras. Sigh..!! tak usahlah saya cerita panjang lebar lagi, yang jelas itu bukan pengalaman yang enak untuk dikenang.

Nah, pernah juga sekali saya motong rambut di tempat potong rambut pinggir jalan gitu. Sialnya si tukang cukur ternyata agak sedikit melayang akibat pengaruh alkohol. Baunya kecium banget. Plus sepanjang ritual cukur dia terus mengoceh tak karuan, bahkan kadang jadi jaka sembung bawa golok. Oughh..untung waktu itu saya minta dicukur model plontos saja jadi kemungkinan salahnya memang nyaris tidak ada.

Selama ini sih saya memang belum pernah ketemu dengan tukang cukur yang betul-betul mengerti kemauan saya, seringnya sih salah pengertian dan seperti yang saya bilang di atas, ujung-ujungnya minta diplontos aja. Yang bikin saya heran, kenapa sih kebanyakan tukang cukur Madura itu masih juga tega memasang poster-poster Top Collection dengan model rambut yang tertinggal 20 tahun. Bagi yang usianya 40an sih mungkin senang-senang aja mengingat model rambut yang ada di poster itu memang model rambut di jaman kejayaan mereka jadi tinggal tunjuk dan voila..!! jadilah mereka merasa 20 tahun lebih muda, tapi bagi generasi di bawahnya ? wuaaa…tidaakk…!!

Tapi, poster Top Collection itu jadi hiburan juga saat menunggu giliran dicukur. Sambil nongkrong saya tergeli-geli sendiri mandangin deretan lelaki dengan model rambut absurd untuk jaman sekarang. Dalam hati saya mikir, mereka pada ke mana ya sekarang ? hehehe.

Saya ingat, sekali waktu di akhir 90an saya pernah masuk ke tempat potong rambut sambil dengan pedenya ngomong minta dicukur kayak model rambutnya Jamie Redknapp, mantan pemain Liverpool yang waktu itu memang model rambutnya saya suka. Sayangnya si tukang cukur kurang paham bola jadi meski diarahkan ke sana ke mari tetap aja tidak sesuai keinginan, akhirnya…yah, minta diplontos lagi aja.

Di sebuah tempat cukur Madura saya pernah menyarankan supaya mereka masang poster pemain bola yang model rambutnya lagi trend, maksudnya supaya orang-orang seperti saya yang penggila bola ini bisa dengan mudah nunjuk model para pemain bola itu. Entah apa si tukang cukur mengikuti saran saya atau tidak, saya belum pernah balik ke sana lagi. Oh ya, sekali waktu saya juga pernah ke tukang cukur sambil bawa potongan gambar Brad Pitt di film Ocean Eleven. Nama model rambutnya saya ndak tau, yang jelas menurut saya keren. Entah karena model rambutnya yang keren atau memang dasar si Brad Pittnya yang diapain aja tetap keren, yang jelas selesai dicukur saya masih tetap belum puas. Sama sekali gak ada mirip-miripnya..!! Yah..mungkin karena ?bahan dasarnya yang beda kali ya ?

Dan, di antara semua tukang cukur yang pernah saya datangi menurut saya yang terbaik adalah tukang cukur di Jogja. Bukan salon sih, tapi tempatnya asyik, ber-AC, bersih ada nomor antriannya dan harganya murah pula. Sekali cukur cuma Rp. 6.000,- gak seperti kebanyakan tukang cukur di Makassar yang harganya berkisar antara Rp. 9.000,- sampai Rp. 10.000,- soal hasil, mmm…lumayanlah. Memang tidak 100% sesuai keinginan, tapi yah miriplah. Kalau tidak salah yang bikin tidak sesuai keinginan adalah karena faktor komunikasi yang agak kurang nyambung. Tapi overall, lumayanlah..

Well, sampai sekarang saya masih jadi petualang di dunia cukur. Masih ke sana ke mari mencari tukang cukur yang pas dengan keinginan. Sampai sekarang juga saya belum punya keinginan yang besar untuk masuk Salon, kecuali kalau ada di antara anda yang mau mentraktir saya.? Kalau pake duit sendirisih masih sayang rasanya, nah adakah di antara kalian yang mau mentraktir saya ? siapa tau saya ketemu pelabuhan cukur yang terakhir.