Aku dan Rokok

Jum’at 30 Juni 2008, sehari sebelum hari anti tembakau sedunia. Belakangan ini saya sebenarnya agak jarang menyentuh YM, tentu saja karena kesibukan  yang kebetulan memang sedang menumpuk. Tapi hari itu, saya kebetulan sedang iseng karena memang ada waktu yang lowong. Kebetulan juga, hari itu saya chatting dengan seorang teman. Inti chatting kami waktu itu adalah “ajakan” sang teman kepada saya untuk berhenti merokok, bukan hanya pada hari anti tembakau sedunia itu, tapi untuk selamanya.

 

“Ajakan” beliau itu membuat saya mengingat-ingat kembali rentang waktu yang telah saya habiskan bersama batangan-batangan tembakau dan cengkeh itu. Saya sudah lupa kapan tepatnya saya pertama kalinya menjejalkan nikotin ke tubuh saya. Mungkin sekitar tahun 1992 ketika saya mulai berseragam putih abu-abu.

 

Seperti kebanyakan para perokok, perkenalan pertama saya tentu saja karena pengaruh pergaulan. Dalam dunia ABG-khususnya para cowok-merokok selalu diasosiasikan dengan kejantanan. Para perokok selalu menganggap dirinya lebih jantan dan lebih dewasa dari teman-teman lain yang bukan perokok. Tambahan lain, kami para remaja perokok merasa lebih keren dan lebih berani karena melanggar aturan sekolah dan (biasanya) aturan dari orang tua. Intinya, para perokok mengasosiakan dirinya sebagai orang yang lebih jantan, sementara orang lain mengasosiasikan remaja perokok sebagai anak nakal.

 

Faktor lingkungan dan pergaulan memang sangat kuat mempengaruhi timbulnya kebiasaan merokok. Setiap hari sekolah, saya tergabung dalam  geng yang sebagian besar anggotanya adalah perokok. Hal ini memang berkebalikan dengan kondisi rumah yang bebas rokok. Bapak saya memang perokok, tapi beliau tak pernah merokok di rumah karena Ibu saya sangat anti rokok. Kondisi ini juga yang beberapa kali membuat saya terkena hukuman bila kedapatan ibu merokok. Meski begitu, saya tak juga jera bahkan hal itu membuat saya makin kreatif mencari jalan agar tak sampai ketahuan.

 

Ada satu hal yang saya syukuri hingga sekarang. Meski terbiasa bergaul dalam geng para perokok, saya tak sampai terjerumus ke minuman keras atau obat-obatan. Banyak orang yang mengatakan kalau rokok adalah gerbang menuju minuman keras dan obat-obatan, tapi tidak bagi saya. Terima kasih kepada teman-teman segeng yang tak pernah memberanikan diri masuk ke lingkungan yang lebih kejam itu. Meski belakangan ada juga beberapa teman segeng yang terjerumus ke obat-obatan, tapi setidaknya pengaruh itu mereka dapatkan dari geng barunya.

 

Saat masih sekolah, saya memulai “karir” sebagai perokok dengan mengisap Gudang Garam Filter yang di sini kondang disebut Gudang Garam Mini. Saat kondisi kantong sedang seret, saya paling banter mengisap Bentoel Biru. Semuanya tentu saja dibeli secara ketengan. Teman yang mampu membeli sebungkus, apalagi bermerk Marlboro atau Dji Sam Soe adalah teman-teman yang orangtuanya cukup kaya hingga bisa memberi mereka uang jajan yang lebih.

 

Belakangan, saat sudah bisa mencari duit sendiri saya kemudian beralih ke Marlboro. Rokok yang sudah sejak ABG jadi rokok idaman, tentu saja karena sebagian besar bintang film Hollywood dan para rocker idola saya jadi pelanggan setianya. O, ya saya hampir lupa. Saat masih ABG itu saya sempat hampir setahun sama sekali tak menyentuh rokok. Semua gara-gara seorang cewek. Saya sedang mendekati si cewek yang kebetulan sangat alergi pada rokok. Hampir setahun PDKT, saya sama sekali tak merokok. Namun, di akhir kisah saat hubungan kami tak berjalan sesuai rencana, maka sayapun kembali merokok.

 

Saya mungkin belum termasuk perokok berat. Sebungkus Marlboro merah isi 20, dulu hanya saya habiskan dalam waktu 1,5 hari. Bila saya membeli di malam hari, maka berikutnya saya akan membeli sebungkus rokok yang baru pagi hari lusa. Belakangan kebiasaan ini makin berkurang, sebungkus Marlboro akan tandas dalam waktu 2 hari.

 

Kondisi ini berhubungan erat dengan kondisi ruang kerja yang full AC dan tabiat dua boss besar kami yang sama sekali anti rokok. Kondisi ini memaksa kami para karyawan yang tak bisa menahan diri untuk tidak merokok itu harus menjauh ke sebuah ruangan khusus yang panas dan tentu saja minus AC. Nah, karena letak “smooking room” yang cukup jauh dari ruangan kerja, maka kadang rasanya malas untuk ke sana, apalagi bila kerjaan sedang nanggung. Hal ini sekaligus membuat saya lebih hemat dalam merokok.

 

Pernahkah saya berpikir untuk berhenti merokok ?. Sejujurnya iya. Saya memang pernah dan terus berpikir untuk berhenti merokok, walaupun sayangnya niat itu belum terlalu kuat. Saat ini selain berusaha mengurangi frekuensi merokok, saya juga selalu berusaha untuk tidak merokok di tempat umum, utamanya saat berada di sekitar orang-orang yang tidak merokok.

 

Meskipun seorang perokok, namun saya juga sama sekali tidak respek pada orang-orang yang dengan lagak sangat cuek menghembuskan rokok di tempat-tempat umum, utamanya di atas angkot. Ini yang selalu saya usahakan untuk saya hindari. Mungkin ini juga yang membuat beberapa teman kantor sampai mengira kalau saya bukan perokok. Dulu, tak jarang ada saja dari mereka yang berucap, “ Oooo..kamu ternyata merokok juga ya.?”.

 

Jadi, yah begitulah. Saat ini saya mungkin masih tercatat sebagai salah seorang perokok yang mungkin menyebalkan bagi sebagian orang lainnya. Tapi ketahuilah teman, dalam lubuk hati yang paling dalam saya masih tetap punya niatan suatu hari nanti akan benar-benar meninggalkan rokok. Tapi…entah kapan.

 

Doakan saja.. [DG]