Raja Ampat Tidak Selamanya Bikin Sepat (Bag.2)
Sambungan dari bagian pertama.
PAGI-PAGI KAMI SUDAH DI DERMAGA KECIL di samping dermaga utama Raja Ampat. Bang Ten, sang dive master yang dipilih Iqbal sudah siap bersama Deni, adik sekaligus asistennya. Langit cerah, warna biru mendominasi pemandangan. Campuran antara birunya laut dan birunya awan. Saya punya firasat baik tentang perjalanan pagi itu. Semua anggota rombongan juga sepertinya begitu. Saya bisa merasakan semangat yang menjalar dari pandangan mereka.
Sore sebelumnya kami menghabiskan waktu di pantai Waisai Torang Cinta (WTC). Ini semacam pantai tempat warga berkumpul. Ada anjungan dan ada bebatuan yang bertugas memecah ombak. Pemandangannya biasa saja, tapi setidaknya bisa membuat saya senang mendengar debur ombak dan merasakan belaian angin.
Pukul sembilan lebih lima belas menit, perahu yang memuat tujuh penumpang dan satu supir itu beranjak meninggalkan Waisai. Selain kami berempat dan dua dive master, ikut juga seorang bapak pendeta. Beliau ini dari Jakarta, sedang ada kegiatan gereja di Waisai dan oleh Bang Ten diajak untuk ikut jalan-jalan. Tidak masalah, karena toh sang bapak pendeta juga tidak memberatkan kami.
Hampir lima belas menit kemudian, kami berempat mulai keluar noraknya. Pemandangan di depan kami adalah penyebabnya. Laut biru yang bergabung dengan warna kehijauan lalu pasir putih di tepi pulau mampu membuat kami seperti anak kecil yang menemukan mainan. Saya lupa nama pulaunya, tapi sepertinya itu pulau tempat beberapa cottage mahal berada. Dari jauh kami bisa melihat orang-orang Kaukasia berdiri dengan pakaian minim. Itu sudah cukup untuk membuat kami yakin cottage itu pasti mahal. Mungkin sebanding dengan pemandangan dan kenyamanan yang mereka bayarkan.
Kapal kami lalu berlabuh di pulau Sawandarek. Iqbal, Fika, Bang Ten dan Deni sudah menceburkan diri ke laut. Lengkap dengan peralatan selam mereka. Saya, Mamie dan pak Pendeta lalu dibawa ke dermaga. Kami rencananya akan menikmati pemandangan dari sekitar dermaga saja, sambil tentu saja membasahi diri di sekitar dermaga.
Pak Pendeta sempat bermain dengan anak-anak pulau yang kebetulan sedang berkumpul di tepi pantai. Beliau ternyata memang terbiasa bergaul dengan anak-anak. Di tas ranselnya ada beragam alat sulap yang dimainkannya untuk anak-anak itu. Sulap yang disisipi ajaran Injil. Tentang pentingnya berbakti kepada orang tua, menaati Tuhan dan tidak mengerjakan apa yang dilarangnya.
Saya sempat menikmati interaksi mereka sebelum akhirnya menceburkan diri ke laut, tidak jauh dari dermaga.
Kesan pertama saya; luar biasa! Bahkan di perairan dangkal yang hanya sedalam lebih kurang 1.20 m saja, ikan-ikannya sudah sangat beragam. Saya benar-benar menikmati pemandangan bawah laut di dekat dermaga Sawandarek. Belum puas sebenarnya, tapi kami sudah harus beranjak ke pulau berikutnya; Pulau Mansuar.
Ikan Yang Berbaik Sangka
DI PULAU KEDUA INI, PEMANDANGAN SEMAKIN MENAKJUBKAN. Ketika Iqbal dan Fika turun menyelam, saya dan Mamie menceburkan diri lagi-lagi di sekitar dermaga. Dermaga kedua ini jauh lebih menarik dari yang pertama. Airnya lebih dalam dan ikannya lebih banyak, plus karangnya juga lebih menarik. Saya benar-benar menikmati snorkeling di sekitar dermaga Pulau Mansuar. Melihat beragam karang dan ikan yang bermain dengan riang. Bahkan, seumur-umur baru kali ini saya yang ditabrak ikan. Kalau biasanya saya yang setengah mati mengejar ikan, kali ini mereka yang mengerubuti saya seperti penasaran; siapa sih ini?
“Ikannya masih berbaik sangka pada manusia,” kata saya dalam hati.
Ketika akhirnya kami harus meninggalkan Pulau Mansuar, rasa puas belum juga saya rasakan. Rasanya masih ingin sedikit berlama-lama snorkeling dan bermain dengan ikan-ikan itu. Duo penyelam Iqbal dan Fika juga mengakui betapa mereka takjub pada alam bawah laut Raja Ampat.
“Deh, ikan yang saya nda pernah lihat ada semua di sini,” kata Iqbal yang sampai hari itu sudah menyelam sebanyak 20an kali. Fika juga memberi komentar yang sama. Mereka berdua heboh membicarakan ikan-ikan dan penyu yang mereka lihat di bawah sana. Mereka terus bertukar cerita, dengan nada penuh semangat. Bang Ten dan Deni hanya senyum-senyum. Mereka pasti sudah terbiasa melihat reaksi para turis yang takjub melihat alam bawah laut Raja Ampat.
Tapi kami harus beranjak.
Tujuan kami adalah Pasir Timbul. Semacam pulau yang menonjol di permukaan ketika air sedang surut. Bang Ten membawa kami ke sana untuk menikmati makan siang sebelum melanjutkan ke titik penyelaman terakhir. Buat kami, ini adalah makan siang yang mewah.
Bagaimana tidak? Kami menikmati makan siang di kapal dengan pemandangan laut biru yang jernih dan pasir putih kekuningan di sekitar kami. Masakan istri Bang Ten yang sengaja disiapkan untuk para tamunya terasa berkali-kali lipat nikmatnya. Tidak sabar rasanya menghabiskan makan siang lalu turun ke Pasir Timbul, menikmati pemandangan sepuasnya, berfoto dan bahkan bisa langsung mengunggahnya ke media sosial atau grup chat.
Iyap! Bahkan di tengah lautan seperti itu, sinyal Telkomsel masih kencang. Itu karena tidak jauh dari Pasir Timbul itu ada pulau dengan pemancar Telkomsel yang tinggi menjulang. Maklum, Raja Ampat sudah jadi destinasi wisata primer. Kebutuhan eksis para wisatawan tentu jadi prioritas.
Ini bukan promosi apalagi berbayar ya, ini hanya cerita apa adanya.
Kami lumayan lama menghabiskan waktu di Pasir Timbul sebelum akhirnya beranjak ke titik penyelaman terakhir; Mioskun. Titik terakhir ini berada dekat dengan sebuah pulau kosong yang dihuni ribuan kelelawar. Kelelawar itu ribut beterbangan hingga menyerupai ribuan titik hitam di atas pulau itu.
Khusus di pulau terakhir ini saya dan Mamie tidak menceburkan diri ke laut. Arusnya sudah cukup kuat dan titik ini bukan titik yang tepat untuk snorkeling. Hanya Iqbal dan Fika yang menerjunkan diri menyelam. Kami berdua hanya menunggu di kapal. Saya sempat turun sejenak, sekadar membasahi badan yang rasanya belum puas diajak bermain air.
Kami akhirnya beranjak kembali ke Waisai ketika jam hampir menunjukkan pukul empat sore. Sepanjang hari matahari bersinar cerah cenderung garang, padahal ini bulan November, awal musim hujan. Dari penuturan Bang Ten, kami baru tahu kalau justru November hingga Maret adalah waktu paling tepat untuk berkunjung ke RajaAmpat. Di bulan-bulan itu, arus sedang bersahabat. Bang Ten bahkan mengaku jadwalnya sudah penuh sepanjang bulan Desember.
“Saya hanya minta libur di hari Natal saja,” katanya.
Pria berdarah campuran Maluku-Manado itu sepertinya memang jadi pilihan banyak penyelam. Sosoknya yang ramah dan baik hati adalah padanan yang pas untuk mereka yang mencari kenyamanan. Saking baik hatinya, malam setelah perjalanan hari itu dia mengundang kami makan malam di rumahnya. Belasan ekor ikan dibakarnya, begitu juga dengan beberapa potong cumi yang rasanya sungguh nikmat. Semua itu gratis. Katanya itu adalah kebiasaannya, mengundang tamu untuk menikmati makan malam yang sederhana tapi nikmat di rumahnya.
Saya tentu tidak keberatan untuk merekomendasikan dia kalau memang ada yang ingin menjajal alam bawah laut Raja Ampat. Bukan hanya menyelam, tapi juga bagi mereka yang merasa snorkeling sudah cukup.
Selamat Tinggal Raja Ampat.
SABTU SIANG KAMI AKHIRNYA BERANJAK MENINGGALKAN WAISAI. Kami sengaja mengambil pelayaran pukul 2 siang karena merasa masih ingin menikmati Waisai di pagi hari. Dengan mobil sewaan kami berkeliling ke beberapa pantai di dalam kota Waisai. Tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk membuat kami bersenang-senang sejenak sebelum meninggalkan Waisai.
Rasa lelah baru terasa ketika perlahan kapal Express Bahari meninggalkan Waisai. Rasa lelah yang bercampur dengan rasa penasaran karena belum puas. Rasanya seperti meneguk air laut, masih terus haus. Begitu juga dengan pengalaman singkat di Raja Ampat. Menyenangkan, tapi sekaligus menimbulkan rasa penasaran yang belum terpuaskan.
Perjalanan singkat ini membuat saya paham bahwa ternyata perjalanan ke Raja Ampat tidak selamanya membuat sepat. Harganya memang relatif mahal, tapi ternyata tidak semahal yang saya bayangkan sebelumnya. Apalagi kalau perjalanan dilakukan berombongan, setidaknya biaya perahu bisa kami tanggung bersama.
Untuk penginapan pun, harga yang ditawarkan beragam. Dari harga 250rb/malam sampai yang jutaan. Semua tergantung kemampuan. perahu pun sebenarnya begitu. Kalau memang berhasrat untuk mendatangi titik yang jauh seperti Piainemo, tentu harganya pun lebih mahal. Sekali lagi, semua tergantung kemampuan.
Bagi orang berkantong cekak seperti kami, biaya yang kami keluarkan sudah cukup. Cukup untuk mendatangkan rasa penasaran dan hasrat untuk kembali lagi. Betapa RajaAmpat memang menggoda. Layak untuk diperjuangkan, meski sebenarnya harganya tidak bikin sepat.
Semoga masih ada jodoh dan rejeki untuk kembali ke Raja Ampat. Amin [dG]
apik banget! kapan ya bisa ke sana haha
ayo nabung! ke sananya ramai-ramai hahaha
yuk ke sini lagi daeng…kentjan kita…kentjan sama pasangan masing-masing
hahaha ayuklah
nabung dulu tapi