Raja Ampat Tidak Selamanya Bikin Sepat

Biaya ke Raja Ampat hampir sama dengan biaya umrah, kata orang. Angkanya bisa bikin mulut berasa sepat. Tapi benarkah seperti itu?


sunset sorong
Sunset di tepi Sorong

KAMI BARU SAJA MENIKMATI SORE DI KOTA SORONG. Kami yang saya maksud adalah; saya, Mamie dan sepupu saya Rahmat. Senja yang indah di tepi pantai, di restoran Sunshine Beach yang menjorok ke laut menghadap ke bagian barat. Sore itu langit cerah, semburat jingga menghiasi ufuk barat ketika perlahan mentari pulang beristirahat. Sorong masih seperti yang saya kenal sebelumnya. Kota yang menawarkan keindahan mentari di sore hari.

Saat datangke Sorong untuk kedua kalinya di 2015, saya juga sempat menghabiskan sore di tepian pantai Sorong. Di tempat yang sama. Memandang matahari yang beranjak pulang, membiarkan tubuh dibelai angin laut dan kuping dipenuhi suara debur ombak yang halus.

Tapi tidak semua kenangan akan Sorong tetap seperti itu. Sorong yang sekarang saya datangi adalah Sorong yang mulai mengenal reklamasi. Sepanjang Tembok Berlin perlahan berubah. Tembok di tepi pantai yang jadi tempat warga berkumpul itu pelan-pelan dikuasai korporasi. Dirubuhkan dan kelak akan diganti dengan bangunan yang lebih moderen. Menyingkirkan senja yang sederhana dan ruang gratis milik warga. Sama seperti Makassar.

Ketika malam turun, kami beranjak ke arah Selatan, ke deretan penjual ikan dan beragam binatang laut. Menghabiskan malam di sebuah warung, warung yang sama dengan yang saya datangi tiga tahun lalu. Seekor ikan dan beberapa potong cumi berpindah dari piring ke perut. Bersama nasi putih dan sayur kangkung.


Ini seafood yang kita santap malam itu

Rasanya masih sama. Menakjubkan!

Raja Ampat, Kami Datang!

PESAN DARI IQBAL MASUK KETIKA KAMI MASIH MENIKMATI SENJA di tepi pantai. Dia sudah menemukan dive master yang bisa membantunya menjelajahi beberapa titik penyelaman di Raja Ampat. Sebelumnya kami memang sepakat untuk sama-sama menyeberang ke Waisai, sambil menunggu waktu sebelum menghadiri pernikahan Kiwa di Sorong. Saya yang menawarkannya, toh dia juga belum ada rencana selama dua hari sebelum hari pernikahan Kiwa itu. Iqbal setuju saja, kebetulan seorang temannya sesama penyelam yang tinggal di Sorong juga berminat untuk bergabung.

“Ini yang paling murah daeng,” katanya perihal divemaster yang ditemuinya.

Sewa kapal 2,5jt per hari, dari pagi sampai sore. Kapal itu akan mengantar penumpangnya ke tiga titik penyelaman; Sawandarek, Mioskun dan Yenbuba. Saya tidak tahu apa-apa tentang ketiga titik itu, tapi Rahmat meyakinkan saya kalau tiga titik itu menarik.

“Bisa ji kalau cuma snorkeling toh?” Tanya saya.

“Iye, nda apa-apa ji bedeng,” jawab Iqbal.

Saya memang bukan penyelam. Sudah pernah beberapa kali menyelam tapi terus terang belum menemukan enaknya menyelam. Masih sulit membagi konsentrasi antara menikmati indahnya alam bawah laut dan aspek keselamatan dalam menyelam. Pun, saya punya sedikit masalah dengan struktur bagian dalam kuping yang kurang bersahabat dengan perbedaan tekanan. Jadi saya hanya memilih snorkeling saja.

“Oke, kami ikut. Nanti biaya kapal kita bagi empat,” saya akhirnya menerima tawaran Iqbal. Angka 2,5jt dibagi empat lumayan murah, bukan? Minimal lebih murah daripada harus dibagi dua.

Sebelumnya saya dan Mamie sudah bersepakat, setibanya di Waisai kami akan mencari perahu lokal yang bisa kami sewa. Minimal ke beberapa tempat untuk snorkeling saja, sama seperti yang dulu kami lakukan di Sawai, Maluku. Kami sudah siap dengan dana yang lebih besar sebelum tawaran Iqbal masuk. Tawaran itu jelas kami terima karena artinya biaya yang kami keluarkan jadi lebih sedikit.

Sawai adalah salah satu tempat berkesan bagi kami. Baca kisahnya di sini

Malam itu kami bisa tidur dengan tenang. Besok pagi kami harus bangun pukul tujuh dan berangkat ke Waisai dengan kapal cepat pukul sembilan pagi. Iqbal yang baru tiba pagi harinya juga akan menyusul ke pelabuhan. Rencananya kami akan bertemu di kapal.

Pukul delapan lebih sedikit, saya dan Mamie sudah berada di atas kapal cepat Express Bahari. Kapal cepat yang bentuknya hampir sama dengan kapal Cantika yang dulu menyeberangkan kami dari Tulehu ke Seram, Maluku. Ongkosnya Rp.100.000,-.


Tiket Express Bahari dari Sorong ke Waisai

Penumpang tidak terlalu sesak hari itu. Mungkin karena bukan akhir pekan. Kami bisa duduk dengan tenang tanpa harus berdesakan. Iqbal dan temannya – yang akhirnya kami tahu bernama Fika- hampir terlambat. Kapal sudah memanaskan mesin ketika dia berhasil naik. Tidak lama setelah mereka mengempaskan pantat ke kursi, kapal pun perlahan meninggalkan Sorong.

Saya selalu mengaku sebagai anak pantai. Tinggal di kota pesisir, punya banyak keluarga pelaut dan nelayan. Tapi setahun belakangan ini, saya lebih banyak bergaul dengan pegunungan. Rupanya pergaulan itu berpengaruh juga. Sekitar satu jam kapal mulai membelah lautan menuju Waisai, saya mulai diserang rasa mual. Padahal ombak tenang dan kapal hanya bergoyang pelan. Tapi saya benar-benar mual dan pusing. Sampai akhirnya saya menyerah dan menelan sebutir Antimo untuk mengusir rasa pening dan mual itu.

Antimo belum bekerja, kapal sudah merapat. Sialan! Kata saya dalam hati. Ternyata perjalanan ke Waisai dari Sorong tidak selama yang saya bayangkan. Hanya lebih kurang satu setengah jam, bukan dua jam seperti yang dibilang orang. Walhasil, Antimo yang saya telan belum juga bekerja kami sudah harus turun ke daratan.


Begini tampak luar kapal Bahari Express yang membawa kami ke Waisai

Tapi tak masalah. Toh akhirnya kami menginjakkan kaki di Raja Ampat.

Raja Ampat, kami datang! [dG]

Bersambung ke bagian kedua