Pulau Samalona Yang Berubah
Salah satu pilihan tempat wisata di Makassar yang paling terkenal adalah Pulau Samalona. Sekarang, pulau itu sudah berubah.
SAYA SAMPAI LUPA KAPAN TERAKHIR KE PULAU SAMALONA. Saking lamanya. Kalau tidak salah ingat memang sudah lebih setahun sejak terakhir saya mampir ke pulau yang berada tidak jauh dari kota Makassar ini.
Pulau Samalona memang jadi salah satu alternatif mudah dan menyenangkan bagi orang Makassar yang ingin berwisata. Khususnya wisata laut dan pantai. Tahu sendirilah, di Makassar sudah tidak ada lagi pantai yang representatif yang bisa dipakai sebagai tempat wisata.
Memang ada Pantai Akkarena yang tak jauh dari Pantai Losari, tapi pantai itu berpasir hitam. Hanya cocok sebagai tempat nongkrong di tepi pantai yang memang ada restorannya. Selebihnya, rasanya lebih baik mencari pantai lain.
Dan terpilihlah Pulau Samalona sebagai salah satu tempat wisata di Makassar.
Pulau ini tidak terlalu jauh dari kota Makassar, bisa ditempuh dengan perjalanan menggunakan perahu kayu bermesin selama kurang lebih 30 menit. Paling lama 45 menit kalau memang kapalnya berjalan lambat. Ada dua tempat yang umum dipakai untuk menyeberang ke Pulau Samalona; satu di dermaga depan Benteng Rotterdam, satu lagi di dermaga Kayu Bangkoa.
Saya dan teman-teman biasanya lebih sering menyeberang dari dermaga Kayu Bangkoa. Di sana kami sudah punya tukang kapal langganan bernama Daeng Tayang. Beliau ini sudah melayani kami selama bertahun-tahun, bahkan soal harga beliau tidak pernah pusing mau dibayar berapa.
“Kattemo, terserah ji katte,” begitu katanya setiap kali kami bertanya berapa ongkos menyeberang dengan perahunya.
Dalam bahasa Makassar, kalimat itu berarti; Anda saja, terserah Anda mau kasih berapa. Kan kami jadi bingung harus bayar berapa? Jadilah setiap kami menyeberang ke Samalona, kami memindahkan empat lembar uang merah dan satu uang biru ke tangan Daeng Tayang. Entah angka itu terlalu murah, pas atau malah terlalu mahal. Seingat kami dulu memang ongkos menyeberang sampai ke pulau itu adalah Rp.400.000 sampai Rp.450.000. Kami tidak tahu apakah angka itu sudah berubah atau masih tetap.
Pulau Samalona Sudah Berubah
Malam sebelum kami berangkat (22 Oktober 2016) langit Makassar dicurahi hujan ringan. Saya sempat khawatir, jangan-jangan Sabtu pagi hujannya masih enggan beranjak. Bagaimana mau ke pulau kalau hujannya masih betah? Mau bikin apa di sana? Belum lagi, perahu pasti berpikir dua kali untuk menyeberang karena hujan berarti potensial mengundang ombak yang tinggi.
Tapi syukurlah, ketika matahari datang hujan pun pergi.
Kami bisa menyeberang ke Pulau Samalona dengan tenang. Ombak tenang, angin laut membuai, wana biru cerah di mana-mana. Tuhan memberkati rencana kami pagi itu.
Lalu tibalah kami di Pulau Samalona setelah melewati perjalanan selama lebih kurang 30 menit dan sempat mampir sejenak di Pulau Lae-Lae. Supir kapal kami berganti, sepertinya Daeng Tayang ada urusan atau kegiatan lain sehingga dia memberikan kendali kapal kepada orang kepercayaannya.
Pulau Samalona masih memikat, sama seperti biasanya. Belum merapat saja kami sudah bisa melihat jernihnya air laut yang membuat isi lautan terpampang jelas. Tidak terlalu banyak ikan yang berenang, mungkin mereka malu karena manusia bisa dengan jelas melihat kegiatan mereka dari atas, utamanya ketika mereka mau kawin. Makanya mereka lebih memilih berenang jauh dari pulau, biar tidak di-ciye-ciye-in sama manusia.
Ada yang berubah di Pulau Samalona. Balai-balai di bagian utara pulau seperti habis dipoles, jadi lebih baru dan dilapisi karpet. Biasanya balai-balai itu hanya berlantai bambu yang dibiarkan telanjang begitu saja.
Di depan balai-balai ada beberapa payung warna-warni yang berdiri tegak menaungi beberapa plastik segi empat yang dibuat menjadi kursi. Benar-benar terlihat seperti pantai wisata. Hari itu katanya memang ada yang berencana menggelar acara ulang tahun di Pulau Samalona, tapi menurut pemilik balai-balai yang tempatnya kami sewa, memang suasana Pulau Samalona ya seperti itu setiap harinya.
Penginapan Di Pulau Samalona
Pemilik balai-balai yang kami sewa juga menyewakan rumahnya untuk para wisatawan. Dari penuturannya, harga penginapan di Pulau Samalona adalah Rp.500.000,- semalam. Penginapan itu bisa muat banyak, jadi termasuk murah bagi yang datang berombongan.
Harga itu belum termasuk makanan tentu saja. Kita bisa memesan makanan dari penduduk. Saya kurang tahu berapa kisaran harganya, tapi sepertinya di atas Rp.100.000,-. Itu sudah termasuk nasi, ikan, cumi dan sambal.
Karena kami hanya berencana berada setengah hari di Pulau Samalona, jadi kami tidak merasa perlu menyewa rumah. Cukup menyewa balai-balai seukuran lebih kurang 2m x 2.5m dengan harga Rp.50.000,- per petak.
“Pakai maki semua, satu mo bayar,” kata ibu muda pemilik balai-balai.
Karena hari itu pengunjung sedang sepi, jadi dengan baik hatinya dia mempersilakan kami memakai dua petak balai-balai dengan hanya membayar satu petak saja. Percayalah, penduduk Pulau Samalona memang sebenarnya baik hati, tidak sombong dan tidak matre. Mudah-mudahan selamanya seperti itu.
Aslinya Pulau Samalona ini hanya dihuni oleh delapan kepala keluarga. Nama-nama mereka terpampang di dermaga. Kedelapan penghuni awal itu lalu beranak-pinak dan anak-anak merekalah yang kemudian membangun rumah-rumah di Pulau Samalona sampai sekarang.
Perubahan lain yang terasa di Pulau Samalona adalah adanya pemancar Wifi ID punya Telkom. Iya, Wifi ID! Jadi selain bisa menikmati laut dan pantai yang indah, wisatawan juga bisa sekaligus mengunggah foto-foto narsis mereka langsung dari TKP! Tidak ada lagi delay atau tagar #latepost seperti biasa kalau ke pulau.
Sayang hari itu kami datang ketika purnama masih belum hilang, jadinya air laut menjadi surut. Bagian utara Pulau Samalona yang biasa dipakai untuk snorkeling atau diving jadi benar-benar surut dan menyulitkan pengunjung. Bagian itu memang penuh dengan banyak karang sehingga pas buat mereka yang mau melihat keindahan bawah laut.
Buat yang mau sekadar berenang atau leyeh-leyeh di pasir, bagian timur adalah bagian yang pas. Di bagian itu tidak terlalu banyak karang, jadi kita bebas untuk berenang atau bermain air tanpa takut kaki merusak karang atau karang merusak kaki.
Hanya dua bagian Pulau Samalona itu yang sering dijelajahi pengunjung. Dua sisi lainnya lebih banyak tetap tersembunyi dan tak tersentuh. Padahal luas Pulau Samalona tidak seberapa luas, hanya sekira 4Ha saja.
Kami kembali ke Makassar ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 13:00 lewat. Agak terlambat dari jadwal gara-gara ada beberapa teman yang masih begitu menikmati pengalaman snorkeling di Pulau Samalona. Tukang kapal sampai datang mengingatkan, maklum biasanya selepas pukul 13:00 ombak akan meninggi dan perjalanan pulang akan lebih berat.
Syukurnya meski kapal berjalan sangat lambat, kami akhirnya bisa mendarat kembali ke tanah Makassar, meninggalkan Pulau Samalona yang selalu membuat kami rindu untuk kembali.
Pulau Samalona memang sudah berubah, menjadi lebih cantik dan lebih nyaman buat pengunjung. Pulau yang bentuknya terus berubah-ubah karena abrasi itu memang jadi pilihan tempat wisata di Makassar. Rasanya kami harus sering-sering ke sana karena menurut beberapa orang kelautan, di tahun 2020 Pulau Samalona kemungkinan akan habis ditelan air laut. Duh jangan sampai deh. [dG]
Ini vlog saya tentang Pulau Samalona yang sekarang. Ada musisi lokal yang keren!
Keren Daeng Vlognya… ingin buat macam begitu. itu daeng pakai aplikasi apa untuk edit videonya?
editnya pakai Adobe Premiere om hehehe
mantap tawwa, saya baru2 kemarin ke samalona
Halo mas, kontak Daeng Tayang ada ga yah??
wah mas sayangnya dg.tayang sudah ganti nomor
tapi kalau ke penyeberangan bisa nanya ke pemilik kapal di sana