Delapan Hari, 2000 Kilometer (2)


Setelah di bagian pertama saya bercerita perjalanan ke Tiom, kali ini dilanjutkan dengan perjalanan panjang ke Paniai.


Rabu pagi. Jayapura menyambut kami dengan hangatnya matahari, membuat kami harus melupakan dinginnya Wamena. Jayapura seperti biasa, tetap panas dan gerah. Berbeda jauh dari Wamena yang pagi ketika kami tinggalkan rasanya begitu dingin. Dua hari di daerah pegunungan yang dingin lumayan membuat kami kegerahan di kota segerah Jayapura. Jaket harus saya lepas, keringat mengucur membasahi kaos yang saya pakai.

Kami harus berhenti beberapa jam di Jayapura sebelum terbang ke Nabire, kota pesisir lain di bagian barat Papua, dekat dari bagian serupa punggung burung. Nabire juga tidak akan lama menjamu kami, karena kami harus langsung beranjak ke pegunungan tengah bagian barat. Tepatnya ke Paniai. Tapi kami tidak akan langsung ke Paniai. Perjalanan meninggalkan Nabire akan dimulai kira-kira pukul 17:00 WIT, dan itu berarti kami akan melewati malam di jalan antara Nabire-Paniai. Bukan pilihan yang tepat sebenarnya mengingat jalur Nabire-Paniai kadang selalu menyajikan kejutan-kejutan yang tidak selamanya menyenangkan.


Jalur Nabire-Paniai
Hutannya lebih lebat

Karenanya, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di Moenamani, ibukota Kabupaten Dogiyai. Jalur antara Dogiyai dan Paniai adalah jalur paling ditakuti supir. Melewatinya ketika malam tiba tentu bukan pilihan waras. Karenanya, kami memutuskan melewati malam di Moenamani dan melanjutkan perjalanan keesokan paginya ke Paniai. Moenamani dan Enarotali, ibukota Paniai ditempuh kira-kira 1,5 jam. Tidak terlalu jauh.

“Kalau pagi, yang palang-palang belum bangun,” begitu kata supir yang membawa kami malam itu.

Palang-palang memang jadi momok menakutkan antara Nabire-Paniai, khususnya antara Dogiyai dan Paniai. Satu palang bisa ditebus dengan uang Rp.50 ribu, atau Rp.100 ribu. Kadang kala perjalanan tidak lagi dihadang para pemalang iseng, tapi juga perampok. Benar-benar jalur yang menguji nyali.

Keberuntungan Di Tengah Kesialan.

Kami tiba di Moenamani sekitar pukul 22:30 WIT. Kota itu sudah sangat sepi, namanya saja kota kecil di pegunungan. Apalagi, malam itu hujan turun mengguyur Moenamani membuat udara yang biasanya sejuk jadi terasa lebih dingin.

Saya sudah memesan penginapan, namanya Penginapan Dogiyai milik seorang ibu asal Tana Toraja. Penginapannya sederhana, tapi kamarnya banyak. Kami sudah pernah menginap di sana sebelumnya, dan setahu kami itu satu-satunya penginapan di Dogiyai. Tapi, meski sudah memesan lewat telepon kami tidak bisa masuk begitu saja. Pintu pagar penginapan terkunci, suasana sepi.

“Permisiii!” Saya berteriak agak kencang, tapi tidak ada sahutan dari dalam. Pagar saya ketuk-ketuk dengan gembok yang tergantung. Tidak ada sahutan dari dalam. Nomor telepon yang saya simpan, saya coba telepon. Tapi nomor itu tidak aktif, entah karena memang nomornya tidak aktif atau jaringannya yang sedang tidak bagus.

Setengah jam kami berdiri di depan pagar, berteriak, memberi salam, mengetuk pintu pagar, dan bahkan supir kami membunyikan klakson. Tapi tidak ada sahutan dari dalam. Sampai akhirnya kami menyerah dan beranjak ke penginapan lain sesuai rekomendasi pak supir.

Ternyata masih ada satu penginapan lagi di kota kecil itu. Penginapan Al El namanya. Letaknya di tepi jalan utama yang melintasi Dogiyai menuju Paniai. Untungnya, penginapan itu masih terbuka meski jarum jam sudah menunjukkan pukul 23:00 WIT. Hujan gerimis masih menyambangi Dogiyai ketika seorang pria muda membukakan pintu penginapan.

Penginapan Al El lebih kecil dari Penginapan Dogiyai yang tadinya akan kami sambangi. Tapi, meski kecil penginapan ini jauh lebih nyaman. Tempat tidurnya enak, seprei dan sarung bantalnya wangi. Paling penting, wifinya lancar. Kami bisa membeli voucher seharga Rp.20.000 untuk dua jam. Sekadar agar bisa terhubung ke dunia luar. Memberi kabar keberadaan kami hari itu.

Sungguh sebuah keberuntungan di tengah kesialan.

Setelah menghangatkan tubuh dengan teh manis dan kopi, kami masing-masing masuk ke kamar yang sudah disiapkan untuk kami berempat. Malam masih dingin, memaksa saya tidur di dalam selimut yang wangi. Sampai akhirnya saya terlelap. Gabungan antara capek dan ngantuk sungguh ampuh membuat tidur saya nyenyak malam itu.

Hingga pagi menjelang.


Pagi di Moenamani

Di luar, kabut menyelimuti Dogiyai. Tidak setebal kabut di Tiom, tapi tetap saja membawa nuansa pegunungan yang dingin. Saya mandi air dingin, membiasakan tubuh dengan udara yang dingin hanya untuk membuat tubuh lebih segar.

Di luar, tanah masih basah sisa hujan semalam. Kabut tipis menggelayut di langit. Anak-anak berseragam sekolah tanpa jaket berjalan riang melintasi jalan utama. Pagi yang syahdu di Lembah Kamo.

Selamat Datang di Paniai.

Kami melintasi jalan lebar menuju Paniai, berkelok di punggung bukit, menanjak dan sesekali menurun. Sesekali kami melintasi kampung, melihat warga yang mulai sibuk di pagi hari. Anak-anak berjalan ke sekolah, ibu-ibu berjalan ke pasar, dan para lelaki berjalan ke kebun atau sekadar duduk malas-malasan bergerombol di tepi jalan.

Jalur Dogiya-Paniai agak berbeda dengan jalur Wamena-Tiom. Meski sama-sama melintasi pegunungan, tapi karakter gunungnya berbeda. Jalur Dogiyai-Paniai lebih menanjak dengan tikungan yang lebih tajam. Gunungnya tidak setinggi gunung di jalur Wamena-Tiom. Meski begitu, keduanya sama-sama menawan. Sama-sama menawarkan sajian alam yang indahnya tak terlukiskan.

Udara pagi menembus dari jendela mobil, membuat saya sedikit menggigil. Kami makin tinggi meninggalkan permukaan laut. Paniai berada di ketinggian 1600an mdpl, dan meski cuaca pagi itu cerah tapi embusan angin tetap saja membuat dingin menembus kulit.

Ini kesembilan kalinya saya meniti jalur ini selama setahun setengah. Sudah mulai terasa biasa, meski tetap saja menawarkan pemandangan yang selalu membuat saya terkagum-kagum.

Sekitar setengah sembilan pagi, kami akhirnya tiba di Madi – kota besar kedua di Paniai setelah Enarotali. Madi dan Enarotali terpisah kira-kira 5 km. Enarotali bisa dibilang pusat ekonomi, di sana ada pasar dan beragam pusat kegiatan ekonomi. Madi, bisa dibilang pusat pemerintahan. Semua kantor pemerintahan, dari kantor bupati sampai kantor dinas-dinas semua ada di Madi. Dan di Madi juga kegiatan kami dua hari ini dilangsungkan.


Madi dilihat dari ketinggian
Madi pagi itu

Kami datang terlalu cepat. Para peserta belum datang. Di undangan disebutkan kalau acara akan dimulai pukul 09:00 WIT, tapi namanya Indonesia apalagi di kota pegunungan, jam pasti akan sangat melar seperti karet. Pukul 09:00 WIT, satu per satu peserta datang. Sebagian besar ibu-ibu. Mereka adalah kader Posyandu dan bidan Puskesmas yang akan dilatih selama dua hari.

Senyum mereka ramah sekali. Menyambut kami, menjabat erat tangan kami. Salah seorang dari mereka bahkan menjabat tangan saya begitu keras sampai rasanya agak sakit.


Mama-mama di tepi Danau Paniai

“Aduh! Mama nih keras macam apa!” Seru saya bercanda

Dia tertawa lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. “Masih pagi toh? Harus semangat,” jawabnya. Dan semangat itu yang menemani kami selama dua hari kegiatan. Semangat mama-mama yang menjalar ke kami, orang kota yang sudah merasa bersyukur diterima dengan tangan terbuka di Paniai.

*****

Kami turun ke Nabire di hari Jumat sore yang cerah. Mama-mama peserta pelatihan dan semua panitia lokal menjabat tangan kami. Menitipkan doa semoga perjalanan kami lancar dan tanpa halangan. Mereka melambaikan tangan dan menebarkan senyum, membawa kehangatan di sore yang sejuk di Paniai.


Danau Paniai di pagi hari

Ini yang selalu saya rindukan dari kota-kota kecil di Papua. Sambutan hangat dan jabat erat dari mereka yang menerima kami. Dari kota pesisir di Agats sampai kota dingin di pegunungan seperti Tiom dan Enarotali. Semua sama, sama-sama menawarkan kehangatan.

Doa mereka juga yang membuat perjalanan kami lancar sampai Nabire. Meski dua kali bertemu palang di jalan, tapi semua tidak masalah. Asal tidak sampai menggasak barang-barang bawaan kami, tidak ada masalah. Sampai akhirnya kami tiba di Nabire malam sekitar pukul 21:00 WIT.

Tubuh terasa capek. Delapan hari dan jarak sekitar 2000-an kilometer. Perjalanan yang menguras tenaga, tapi selalu berhasil memberi cerita baru buat kami. Papua memang tidak pernah gagal membuat saya betah. [dG]