Musik dan Wisata

Pakkacaping
Pakkacaping
Pakkacaping ( sumber : disbudpar Polman )

Makassar dan Bugis juga punya musik tradisional, ada irama sinrilik dan ada juga irama pakkacaping. Sinrilik dimainkan dimainkan dengan alat musik yang digesek, sementara kacaping dipetik. Biasanya kedua alat musik itu mengiringi syair yang penuh dengan nasehat leluhur atau cerita sejarah.

Waktu itu saya baru pertama menginjakkan kaki di Bali. Bersama teman-teman kami ikut paket tur wisata ke beberapa tempat yang terkenal di pulau Dewata. Ada satu kesan yang begitu menancap dari kunjungan perdana itu. Hampir di semua tempat yang saya datangi, entah itu tempat wisata atau tempat makan bernuansa khas Bali, saya selalu bisa menemukan suara gending Bali yang melenakan kuping.

Waktu berlalu, dalam bilangan tahun saya kemudian bertandang ke Bandung. Ini memang bukan kali pertama saya ke kota yang dijuluki kota kembang itu, tapi baru sekali ini saya sukses memasuki beberapa tempat wisata yang ada di sana. Kenangan seperti yang saya dapatkan ketika ke Bali beberapa tahun sebelumnya kembali terulang. Kali ini saya kembali mendengarkan musik khas Sunda yang diperdengarkan di beberapa tempat wisata dan rumah makan. Alunan musik itu benar-benar membuai.

Waktu kembali berlalu dan sepanjang 2010 saya rajin menginjakkan kaki di kota Jogjakarta. Di kota yang terkenal sebagai kota pelajar itu hal yang sama saya dapati. Tempat wisata seperti candi Prambanan dan beberapa tempat belanja serta tempat makan juga selalu memutar gending Jawa, irama yang membuai dan menegaskan kalau saya sedang ada di sebuah tempat di pulau Jawa.

Pikiran saya melayang ke beberapa tempat wisata di kota Makassar. Benteng Ford Rotterdam, Balla Lompoa, Bantimurung dan sekitarnya, juga beberapa tempat makan favorit di seputaran kota yang dekat dengan laut ini. Saya belum pernah menemukan buaian nada seperti yang saya rasakan di Bali, Bandung dan Jogja.

Makassar dan Bugis juga punya musik tradisional, ada irama sinrilik dan ada juga irama pakkacaping. Sinrilik dimainkan dimainkan dengan alat musik yang digesek, sementara kacaping dipetik. Biasanya kedua alat musik itu mengiringi syair yang penuh dengan nasehat leluhur atau cerita sejarah.

Sayangnya kedua musik tradisional itu makin ditinggalkan. Belasan tahun yang lalu masih ada TVRI SulSel yang setia meluangkan beberapa jam waktunya dalam seminggu untuk menayangkan dua musik tradisional itu. Sekarang, semua sudah berlalu tentu saja. Kesenian khas daerah Sulawesi Selatan itu jadi barang langka. Jumlah pelakunya juga makin sedikit, minat anak muda untuk belajar dua alat musik tradisional itu makin menipis. Ini tentu mengkhawatirkan. Bukan tidak mungkin kesenian khas SulSel ini akan hilang ditelan jaman.

Beberapa tahun yang lalu di Bantimurung, sebuah tempat wisata alam yang populer dekat kota Makassar, ada seorang lelaki tua tuna netra yang setia memainkan kecapi dan membawakan lagu khas Bugis-Makassar. Alunan kecapinya lumayan membuai dan membawa ciri khas Sulawesi Selatan. Bapak tua tunanetra itu duduk bersila di pinggir jalan memainkan irama kecapi ditemani sebuah kaleng tempat menadah pemberian para pengunjung yang lewat.

Sayangnya pihak pengelola tempat wisata Bantimurung tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan kemampuan si bapak tua. Seandainya mereka mau, mereka bisa memanfaatkan jasa si bapak tua untuk menghibur para pengunjung dengan musik tradisional. Beri dia satu tempat khusus untuk manggung, beri dia kesempatan untuk memainkan musik tradisional SulSel dan niscaya para pengunjung akan merasa terhibur. Bukankah itu sebuah simbiosis mutualisme ?

Satu keheranan yang selalu muncul di kepala saya. Kenapa tempat-tempat ikonik di kota Makassar tidak pernah tertarik untuk menampilkan musik tradisional Sulawesi Selatan ? Kenapa tempat makan khas dan terkenal seperti Lae-Lae, Paotere, Kampung Popsa atau tempat lainnya tidak pernah berpikir untuk selalu memutar alunan lagu tradisional Sulawesi Selatan ? Kenapa mereka tidak mau meniru apa yang dilakukan pengelola tempat wisata dan tempat makan di Jawa dan Bali ?

Musik memang tidak dapat dilihat, tapi semua orang tahu bahwa secara tidak sadar musik mempengaruhi orang yang mendengarnya. Alunan musik yang khas dan diperdengarkan terus menerus tanpa sadar menancap jauh di dalam otak sehingga suatu waktu nanti musik itu akan muncul di permukaan bersamaan dengan memori tentang sebuah perjalanan. Bukan tidak mungkin alunan musik itu akan membuat orang rindu untuk kembali ke tempat di mana dia mendengarnya.

Saya suka berangan-angan, dan salah satu angan-angan saya adalah membuat sebuah tempat makan yang menyajikan makanan khas Sulawesi Selatan. Dalam angan saya, tempat makan itu saya buat dengan interior khas Sulawesi Selatan dan sepanjang hari akan saya perdengarkan musik khas Sulawesi Selatan. Bagi saya sebuah tempat wisata adalah gabungan antara apa yang bisa dilihat, dirasakan dan didengarkan.

Sekarang saya memang masih berangan-angan sambil berharap suatu hari nanti angan-angan saya bisa jadi kenyataan. Atau, siapa tahu dari postingan blog ini pemerintah kota,? pengelola kawasan wisata atau pemilik rumah makan mau mengambil ide saya ? Silakan, karena saya memang berharap ada yang mau merealisasikannya.

Bukankah nikmat rasanya menikmati objek wisata suatu daerah atau menikmati makanan khasnya sambil menikmati musik tradisional ?

[dG]