Maluku 1; Semalam di Tulehu

tulehu
Selamat datang di kampung sepak bola

Catatan perjalanan ke Maluku, bagian pertama.

“PERHATIAN, PERHATIAN. Diberitahukan kepada seluruh penumpang pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 786 tujuan Ambon, bahwa pesawat Anda mengalami penundaan penerbangan hingga pukul 13:30 waktu setempat karena alasan operasional.”

Pengumuman itu membuat kami (saya dan Mamie) harus mengubah rencana, dari plan B ke plan C. Kalau berangkat dari Makassar jam 13:30 maka berarti kami tiba di Ambon sekisar jam 16:30 yang berarti kami sudah ketinggalan kapal cepat terakhir menuju Amahai yang berangkat jam 16:00. Tidak ada cara lain, kami harus mengubah rencana dengan menginap semalam di Tulehu biar besoknya lebih gampang menuju pelabuhan.

Semua berawal dari rencana liburan berdua. Awalnya tujuan kami adalah Sorong, Papua Barat lalu menyeberang ke Raja Ampat. Minimal ke Waisai karena Misool dan Wayag sepertinya sangat tidak terjangkau. Sayang, Sorong dan Waisaipun rasanya tidak terjangkau. Seingat saya tiket pesawat ke Sorong dari Makassar masih ada di kisaran harga Rp.700an ribu, tapi ternyata saya salah. Tiket termurah ke Sorong dari Makassar adalah Rp.1,2 juta yang berarti sangat jauh dari budget awal kami. Terpaksa Sorong dan Raja Ampat ditunda dulu.

“Bagaimana kalau ke Ambon saja?” Usulan itu lalu hadir menggantikan rencana awal ke Sorong. Ambon rasanya masih masuk akal, harga tiket pesawat ke sana dari Makassar masih sangat terjangkau. Lagipula Ambon dan Maluku sudah lama ingin saya sambangi tapi tak pernah jadi kenyataan.

Deal! Kita ke Ambon.

Setelah melalui sesi konsultasi dengan Almascatie – seorang kawan baik asal Ambon, akhirnya kami memilih untuk menghabiskan waktu di Sawai, Seram Utara. Awalnya yang terpikir adalah Pantai Ora yang sangat terkenal itu, sayang lagi-lagi faktor biaya jadi pertimbangan. Pantai Ora sudah jadi objek wisata yang mahal, mungkin karena popularitasnya yang makin melejit.

“Sawai lebih cocok untuk orang yang suka menulis.” Kata Almas di chat. Alasannya karena Sawai masih relatif belum tersentuh dan masih asri. Penginapan di Sawaipun masih berdekatan dengan kampung, jadi kita dengan mudah bisa berinteraksi dengan warga kampung.

Kedengarannya menarik. Dan akhirnya Sawailah yang jadi tujuan kami. Saya dan Mamie kebetulan bukan tipe orang yang sekadar berwisata dengan datang ke satu tempat, menikmati alam lalu pulang. Sedapat mungkin kami berinteraksi dengan warga lokal, menikmati sebuah daerah apa adanya.

Rencana A, dari bandara Pattimura kami ke kota Ambon dulu untuk menginap semalam. Keesokan harinya barulah kami menyeberang ke Sawai. Tiket pesawat sudah terbeli, tapi giliran mencari penginapan di Ambon, masalah lalu muncul. Ternyata tanggal kedatangan kami masih dalam rangkaian pelaksanaan Pesparawi (pesta paduan suara gerejawi) tingkat nasional ke XI tahun 2015. Pantas saja beberapa hotel yang coba kami pesan semua menolak dengan alasan kamar penuh.

Waktunya pindah ke rencana B. Kata Almas kapal cepat terakhir yang menyeberang ke Seram ada di jam 16:00 sore. Kalau pesawat kami berangkat tepat waktu berarti kami masih punya selisih waktu 1 jam dan masih bisa mengejar kapal terakhir ke Seram. Lagi-lagi sayang karena semua rencana B itu terpaksa batal karena ada penundaan penerbangan.

Di belakang hari kami mensyukuri perubahan rencana itu setelah merasakan sendiri betapa tidak mudahnya penyeberangan ke Seram dan perjalanan ke Sawai. Rencana C memang nampaknya lebih realistis. Kami menginap semalam di Tulehu dan baru menyeberang keesokan harinya.

*****

16:30 WIT, pesawat kami mendarat dengan sempurna di bandara Pattimura, Ambon. Akhirnya setelah sekian lama mengimpikannya, saya bisa juga menginjakkan kaki di tanah Maluku. Pikiran saya langsung melayang ke masa 16 tahun lalu. Masa ketika seorang kawan kuliah bernama Faisal Tuharea memperkenalkan Ambon kepada kami, teman-teman kuliahnya. Kami sudah menyusun rencana, selepas liburan semester akan ke Ambon mengunjungi tanah kelahirannya yang menawan itu. Sayang, belum lagi liburan semestar datang Ambon sudah didekap kerusuhan. Sejak itu keinginan mengunjungi Ambon belum pernah jadi kenyataan.

Sampai kemudian kesempatan itu akhirnya datang juga.

Matahari sore menyengat kota Ambon. Cahaya keemasannya terpantul di atas teluk Ambon. Kami sudah ada di atas mobil Avanza yang dikemudikan pak Femmy, seorang supir yang direkomendasikan Almas.

Sepanjang perjalanan sang supir banyak bercerita tentang Ambon, juga tentang Pesparawi yang masih sementara digelar. Perjalanan dari bandara ke Tulehu melewati jalan yang beragam. Dari lurus memanjang, berkelok-kelok selayaknya menyusuri huruf S, sampai menanjak dan menurun. Hingga kemudian sebuah tugu besar di pertigaan bertuliskan: SELAMAT DATANG DI KAMPUNG SEPAKBOLA TULEHU terlihat.

Ah, ini dia kampung yang jadi latar kisah di novel Zenrs berjudul; Jalan Lain ke Tulehu dan tentu saja film Indonesia paling sukses tahun 2014 berjudul; Cahaya Dari Timur; Beta Maluku. Sepak bola dan Tulehu adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Mungkin Tulehu satu-satunya kampung di Indonesia yang berani menyebut diri mereka sebagai kampung sepak bola. Ada banyak pemain sepak bola Indonesia yang lahir dari kampung di pesisir pulau Ambon ini. Saat ini disinyalir ada 300 pesepakbola asal Tulehu yang bermain di liga profesional Indonesia dan bahkan memperkuat tim nasional Indonesia di berbagai lapisan.

Kata warga setempat, di Tulehu ada 3 lapangan sepak bola besar. Lapangan Matawaru, lapangan Darussalam dan lapangan Hurnala. Di antara ketiganya lapangan Matawarulah yang paling besar dan berukuran standar. Selain 3 lapangan sepak bola itu, Tulehu juga punya 3 sekolah sepak bola; ada Hurnala FC, Tulehu Putra dan Maenahu FC.

Tulehu adalah gudang pesepakbola yang tak pernah kehabisan stok. Konon ketika Ambon atau Maluku terlambat menerima penerima pemberitahuan untuk mengikuti sebuah pertandingan berskala nasional, Tulehu selalu muncul sebagai penyelamat. Stok pemain yang banyak membuat mereka tak perlu repot melakukan seleksi dan persiapan lagi. Semua sudah tersedia, tinggal dipakai saja.

*****

SORE SEBENTAR LAGI BERANJAK PERGI ketika kami berhenti di sebuah penginapan sepelemparan batu dari gerbang pelabuhan Tulehu. Penginapan Salam namanya, dikelola seorang pria tua berjanggut tebal berwarna keperakan. Logat melayunya kental sekali dan oleh seorang warga lainnya dia disebut sebagai “warga gelap dari Malaysia.” Entah dia bercanda atau tidak, tapi sepertinya si bapak memang berasal dari Malaysia. Logat melayunya sangat khas.

“Tujuh puluh ribu.” Kata si bapak sambil mengangkat lima jari tangan kanannya dan dua jari tangan kirinya ketika saya menanyakan harga per kamarnya.

Harga yang sesuai dengan fasilitas yang sangat sederhana. Hanya kamar berukuran kurang lebih 3×4 m dengan kamar mandi yang untungnya cukup bersih, satu dipan kayu berkasur tipis, satu meja kecil ukuran 40x60cm dan satu kursi kayu. Pintunyapun dari tripleks yang dikunci dengan gembok. Tidak masalah buat kami, toh kami hanya menginap semalam. Cuma buat menaruh tas, meluruskan badan sebelum akhirnya besok menyeberang ke pulau Seram.

Selepas sholat maghrib kami bergeser ke arah barat, ke depan pelabuhan Tulehu. Tujuannya tentu saja mencari makan malam. Jaraknya tidak terlalu jauh, dengan jalan kaki santai bisa ditempuh tidak sampai 15 menit. Di depan pelabuhan berjejer beberapa pedagang makanan, dari makanan padang, bakso sampai nasi kuning! Yah, nasi kuning. Entah kenapa, nasi kuning rupanya sangat akrab dengan orang Ambon. Dimana-mana mudah sekali menemukan pedagang nasi kuning dengan lauk beragam yang justru ramai berjualan di malam hari.

Ikan asar di depan pelabuhan Tulehu

Tapi malam itu kami langsung tertarik pada ikan cakalang asap yang oleh orang Ambon disebut ikan asar. Seorang ibu berjilbab biru berumuran sekisar 40an tahun menawarkan ikan asar yang dijajakannya di atas meja kayu sederhana di bawah bangunan tak berdinding beratapkan seng. Sepotong ikan cakalang siap makan sepanjang kurang lebih 15cm dijual seharga Rp. 15.000,-, ukuran yang lebih panjang dijual Rp. 20.000,-. Sangat murah menurut saya.

Sebenarnya si ibu- yang belakangan saya tahu disapa Mama Ina- tidak menyediakan tempat untuk menyantap ikan asar di lapaknya, tapi dia berbaik hati mempersilakan kami duduk di lapak sebelahnya yang kosong. Kami akhirnya memilih menyantap ikan asar ukuran sedang di atas meja kayu yang kosong di samping dagangan Mama Ina.

Mama-mama pedagang di depan pelabuhan Tulehu

Tidak hanya ikan asar, tapi beragam jajanan lokal yang juga dijajakan ibu-ibu sepanjang lapak di sebelah Mama Ina kami sambangi. Ada jajanan bernama suami yang terbuat dari singkong, ada papeda (makanan dari sagu yang dibuat kenyal), ikan goreng berukuran 10cm dan sayur kacang panjang. Untuk semua penganan itu –tidak termasuk ikan asar-kami mengeluarkan uang tidak sampai Rp20 ribu. Murah dan semuanya masih segar. Sambil bercakap-cakap dengan Mama Ina semua jajanan dan ikan asar itu perlahan-lahan berpindah ke perut kami.

Seorang bocah datang mendekat. Dirayunya Mama Ina dengan gaya anak kecil yang khas, merajuk seperti setengah memaksa. Mama Ina membuka kaleng biskuit bulat di mejanya, selembar uang kertas ditariknya lalu disodorkan ke lelaki kecil itu. Wajah si lelaki kecil mendadak riang, tersenyum lebar dan berlalu. Beberapa menit kemudian dia datang dengan bungkusan nasi goreng di tangannya, duduk di samping kami dan mulai bersantap.

Rizky mau jadi pemain bola kah seng?

“Ade kalo besar mau jadi pemain bola ka seng?” Tanya saya pada bocah berumur kira-kira 7 tahun itu. Namanya Rizky, putra Mama Ina. Beberapa menit sebelumnya dia sudah menyebutkan namanya ketika saya tanya.

Bocah itu tersenyum malu-malu, lalu menjawab “Mau. Mau jadi macam Messi sa.” Kami tertawa bersamaan.

Sepak bola adalah urat nadi kampung Tulehu. Anak laki-laki membangun mimpi mereka menjadi pesepakbola sejak kecil, mengikuti jejak pria yang lebih dewasa yang sudah lebih dulu mencecapi pahit manisnya dunia sepak bola.

Tulehu yang masuk ke dalam wilayah kecamatan Salahutu ini adalah kampung muslim, kalau dari arah kota Ambon kita lebih dulu akan melewati kampung Passo yang dihuni mayoritas Nasrani. Dua kampung ini di masa kerusuhan Ambon sempat terlibat dalam pertikaian panjang yang merenggut nyawa manusia. Syukurlah semua sudah berlalu, Passo dan Tulehu bisa kembali hidup tenang berdampingan seperti selayaknya manusia yang mencintai kedamaian.

*****

Danke mama, mama pung ikan sadap!

KAMI TERUS MENYANTAP beragam hasil laut dan olahan tangan ibu-ibu Tulehu di bawah lapak dagangan sederhana di depan pelabuhan. Sesekali kuping kami menangkap obrolan dengan logat khas Maluku yang cepat dan bernada tinggi. Beberapa di antaranya bisa saya tangkap maksudnya, tapi ada juga yang tidak. Dalam hati saya meyakinkan diri, saya benar-benar sudah di Maluku!

Sambil menikmati ikan asar dan beragam panganan lain, kami berbincang-bincang dengan Mama Ina. Beliau sangat ramah, menjawab pertanyaan kami dengan senyum tipis yang tersungging di bibirnya. Melihat kami makan tanpa ada minuman, disuruhnya seorang gadis cilik ke warung di seberang jalan membeli dua botol air mineral.

“Ikan ini ibu yang bikin sendiri?” Tanya saya.

Iyo. Saya bangun jam 5 subuh, tarus ke pelabuhan beli ikan. Habis itu baru saya asapi sampai siang. Jam 12 biasanya dapa tidur siang sadiki. Sore jam 5 saya baru ke sini.” Jawabnya dengan logat Maluku. Semua huruf “e” terdengar seperti kita melafalkan “ember”. Lalu dipalingkannya wajahnya, menatap ikan-ikan yang tersusun di atas meja.”Cari uang itu harus sabar.” Lanjutnya. Nadanya lirih tapi entah kenapa saya menemukan ketegaran di sana.

Kata-kata itu membuat saya tercekat. Entah ada berapa banyak ibu-ibu seperti Mama Ina, ibu-ibu yang ikut membanting tulang menegakkan tiang ekonomi keluarganya. Mereka kadang tak peduli lagi pada rasa lelah, mereka harus terus bekerja demi keluarga, demi anak-anak dan demi masa depan. Mama Ina dan mungkin jutaan wanita lain di Indonesia adalah wanita-wanita yang luar biasa, pahlawan sesungguhnya yang tak pernah tersorot terangnya lampu panggung.

“Ah, seng usah.” Kata Mama Ina ketika saya tanya berapa harga yang harus kami bayar untuk sepotong ikan asar dan dua botol air minum.

Mungkin dia berpikir kami adalah tamunya, dan karenanya dia menolak meminta bayaran untuk ikan yang kami santap. Tapi saya bersikeras, kami adalah pembeli yang kebetulan saja menumpang makan di sebelah lapaknya. Selembar uang saya serahkan meski Mama Ina juga hendak menolak. Saya terus memaksa sampai akhirnya dia menerimanya.

Dari Tulehu kami menyeberang ke Sawai. Baca ceritanya di sini

Kami berpamitan dan mengucap salam, bukan hanya kepada Mama Ina tapi juga beberapa ibu-ibu pedagang lainnya yang begitu ramah melayani pertanyaan kami. Malam makin merambat menjauh, angin laut membuai perlahan ketika kami berjalan kembali ke penginapan Salam. Besok perjalanan panjang menanti. [dG]