Madura 3: Negeri Yang Terbuka
“Madura itu menyerap banyak pengaruh dari luar. Di sini ada pengaruh Jawa, Arab, China hingga India.” Kata JJ Rizal, sejarawan muda yang duduk di samping saya dalam perjalanan menuju Sumenep. Kami tergabung dalam rombongan yang sama, rombongan Cultural Trip Potret Mahakarya yang menjelajah Madura selama 3 hari 2 malam sejak 13 Desember yang lalu.
Sebagai orang pesisir, Madura memang sangat rentan menerima pengaruh dari luar dalam berbagai bentuk. Daratan yang dekat dengan laut memungkinkan para pendatang untuk sekadar singgah atau malah menetap lama di pulau Madura.
Belum genap sehari kami sudah melihat langsung pengaruh luar dalam budaya khas orang Madura. Tepatnya pada corak batik gentongan dari Tanjung Bumi, Bangkalan. Corak batik gentongan adalah gabungan dari corak-corak batik lain di Nusantara, sebagian adalah corak batik dari tanah Jawa. Penyebanya adalah para suami mereka yang melaut hingga ke tanah Jawa biasa pulang dengan membawa batik dari negeri yang mereka datangi untuk istri terkasih di rumah.
Batik yang dibawa suami mereka kemudian menumbuhkan ilham untuk membuat batik yang sama dengan beberapa modifikasi corak. Perempuan Madura kemudian membatik, menciptakan corak baru yang diilhami corak dari luar dan menggabungkannya dengan ciri mereka yang tegas, cerah dan berani. Jadilah batik baru yang tak kalah indahnya dengan batik-batik Jawa yang dibawa suami mereka.
Besoknya kami dibawa ke keraton kesultanan Sumenep. Dengan cepat saya bisa menangkap pengaruh budaya Tionghoa pada arsitektur keraton Sumenep. Saya tidak salah karena ternyata keraton Sumenep memang didesain oleh orang Tionghoa bernama Lau Piango. Lau Piango adalah satu dari 6 orang Tionghoa pertama yang datang dan menetap di Sumenep. Diperkirakan dia melarikan diri dari Semarang akibat huru-hara Tionghoa yang menyebabkan tewasnya ribuan orang Tionghoa di Semarang pada sekisar tahun 1740.
Ciri Tionghoa pertama yang bisa dilihat adalah pada pemilihan warna corak ukiran keraton yang banyak menggunakan warna kuning emas dan merah terang. Dua warna ini lekat dengan orang Tionghoa karena dianggap sebagai warna yang membawa kesejahteraan dan kesuburan. Ciri lainnya adalah pada ujung atap keraton bentuknya melengkung seperti rumah-rumah Tionghoa pada umumnya.
Pengaruh Jawa bisa dilihat dari ragam ukiran yang terpatri pada pintu, jendela, kusen maupun pada beragam alat rumah tangga. ?Masuk ke pendopo keraton, pengaruh Eropa yang kental dengan cepat bisa kita lihat pada simbol keraton. Simbol keraton Sumenep itu adalah pemberian dari kerajaan Inggris sehingga jelas sekali pengaruhnya yang hadir lewat simbol kuda, naga, kesatria berbaju besi, mahkota a la Eropa dan simbol salib di atas mahkota. Lambang ini digunakan oleh Kanjeng Tumenggung Tirtanegara yang memerintah sejak tahun 1750.
Pengaruh Tionghoa juga dapat terlihat jelas di Masjid Jamik Sumenep. Masjid yang berada di seberang alun-alun kota Sumenep ini sekilas terlihat seperti vihara karena warna dan ukirannya yang didominasi warna kuning terang. Masuk ke dalam masjid terasa sekali kentalnya budaya Tionghoa yang berpadu dengan budaya Arad dan Jawa. Sungguh perpaduan budaya yang saling melengkapi dan menghasilkan kekayaan yang luar biasa.
Pengaruh Arab dan India.
Bagaimana dengan pengaruh India? Tentu saja pengaruh negeri di Asia Selatan ini juga ada, seperti halnya di hampir semua wilayah Nusantara. Pengaruh India hadir lewat dua agama yang berkembang, Hindu dan Budha. Madura pernah jadi bagian kerajaan Majapahit sehingga di beberapa tempat dapat ditemukan artefak dari jaman Hindu dan Budha.
Pengaruh Arab datang belakangan lewat agama Islam yang dibawa dari tanah Jawa. Sejak saat itu Madura kemudian berubah jadi salah satu wilayah yang sangat kuat memegang ajaran agama Islam meski tidak bisa lepas seluruhnya dari pengaruh-pengaruh budaya lainnya.
Di beberapa kesempatan saya bahkan merasa Madura sangat erat dengan Makassar. Kontur daerahnya mengingatkan saya pada kabupaten Jeneponto, sebelah selatan kota Makassar. Lautan di sebelah kiri, tanah datar yang tandus di kanan serta sesekali bukit batu yang keras benar-benar membawa ingatan saya pada Jeneponto. Kisah tentang bagaimana orang Madura menegakkan kehormatan mereka di ujung clurit juga hampir sama dengan bagaimana lelaki Makassar menegakkan kehormatan mereka di ujung badik.
Insting saya tidak salah. Orang Makassar ternyata sudah lama menginjakkan kaki mereka di Madura, tepatnya lewat Karaeng Galesong yang meninggalkan kerajaan Gowa karena tidak setuju dengan perjanjian Bungayya yang mengkerdilkan kerajaan Gowa. Di tanah Madura, Karaeng Galesong bergabung dengan Trunojoyo menyerang kerajaan Mataram sekisar tahun 1674. Saking eratnya hubungan mereka, Trunojoyo bahkan menikahkan anak gadisnya dengan putra Karaeng Galesong.
Sebagai negeri yang kebanyakan penduduknya hidup di pesisir, Madura memang sangat terbuka untuk semua pengaruh. Dalam rentang berabad-abad kehidupan mereka beragam pengaruh datang dan menetap di pulau ini, merasuk dalam keseharian warga yang bisa dilihat dari adat istiadat hingga ragam arsitektur mereka.
Pengaruh dari sana-sini itu kemudian tumbuh menjadi ciri tersendiri dari pulau dengan 4 kabupaten ini. Semuanya kemudian membuat Madura jadi salah satu daerah yang kaya akan cerita budaya dan sejarah. Percayalah, menyenangkan rasanya bisa datang dan menjejakkan kaki di sebuah daerah yang terasa sangat dinamis dan tidak menolak perubahan. Cerita-cerita tentang budaya dan sejarah Madura sungguh menyenangkan untuk disesap dan kelak diceritakan kembali karena tanah Madura memang kaya dengan cerita sejarah dan budaya. [dG]
Catatan: tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan pertama dan kedua.
sebagai arsitek (pernah kuliah arsitek maksudnya, tp ga jadi arsitek #halah), banyak sekali inspirasi bangunan yang bisa diambil dari bangunan2 yg kita lihat di Madura. masih googling2 masalah tembok tanpa semennya Asta Tinggi. sama batu bata putih bukan merah itu.
Itu ada itungannya neng, antara volume dan berat bahan batu batanya
kenapa pakai bata putih ya? kenapa bukan bata merah?
dari kemarin saya juga penasaran cuma belum sempat nanya
mungkin karena di Madura kurang tanah liat?
Kontur tanah di Madura banyak batu kapur, tanah liat terlalu “mahal” untuk diolah lg jd batu merah lbh baik dipakek buat lahan pertanian. Alasan lain lbh efisien waktu bangun rumah, bisa lbh cepat dibandingkan pake batu bata merah
Ya, pengaruh arsitektur Cina memang sangat terasa pada bangunan dan ornamen di Keraton Sumenep. Kagum sekali saya menyaksikan langsung asimilasi budaya yang beragam di Madura.
betul pak, asimilasi budaya yang beragam itu justru menghasilkan ciri baru yang kaya.