Mengintip Keunikan Desa Adat Sade

ilustrasi

Desa Adat Sade di Lombok Tengah yang masih teguh memegang adat suku Sasak.

Seorang pria muda dengan batik biru dan sarung khas Sasak menyambut kami. Dia adalah pemandu wisata di Desa Adat Sade, salah satu dusun yang masuk dalam wilayah Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Arah desa ini sekira 40an km sebelah selatan kota Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat. Tidak terlalu jauh dari bandara Lombok Praya.

Saya lupa nama si pria muda itu, tapi dalam satu jam ke depan dialah yang mengajak kami berkeliling dan mengenalkan Desa Adat Sade kepada kami. Beberapa warga di sana memang berprofesi sebagai pemandu wisata di desa wisata yang konon sudah terkenal sejak tahun 1970an itu.

Melewati gerbang desa, pria muda itu mulai memperkenalkan tentang Desa Adat Sade. Katanya ada 150 kepala keluarga yang berdiam di wilayah itu, uniknya mereka semua masih punya hubungan darah. Orang Sasak di Desa Adat Sade memang melarang warganya untuk menikah dengan orang luar. Mereka hanya boleh menikah dengan sesama keluarga, entah sepupu sekali atau sepupu dua kali. Pokoknya tidak boleh dengan orang luar.

Kalaupun ada yang akhirnya menikah dengan orang luar, mereka harus membayar denda adat. Besarnya kira-kira sama dengan harga dua atau tiga ekor sapi. Selain itu, si pelanggar adat tidak boleh lagi menetap di dalam desa dan harus menetap di luar.

desa adat sade
Bagian depan Desa Adat Sade

Keunikan lainnya dari orang Sasak di Desa Adat Sade adalah ketika seorang laki-laki akan melamar seorang perempuan. Umumnya ketika seorang pria jatuh hati pada seorang perempuan dan ingin menjadikannya istri, maka dia akan datang ke orang tua si perempuan dan melamarnya baik-baik. Tapi, orang Sade tidak. Mendatangi orang tua si perempuan dan melamar anaknya akan dianggap sebagai pelanggaran adat atau semacam penghinaan.

Terus, caranya bagaimana dong?

Nah bagi orang Sasak di Desa Adat Sade, seorang laki-laki harus menculik si perempuan pujaan hatinya, membawanya pergi dari desa. Setelahnya dia akan mengirimkan utusan dari pihak keluarganya untuk datang ke pihak keluarga si perempuan, sekadar memberi tahu kalau dialah yang membawa lari anak perempuan mereka. Proses itu kemudian akan dilanjutkan dengan proses pernikahan seperti umumnya seorang laki-laki dan perempuan menikah.

“Kalau seperti ini terjadi di kampung bapak, kira-kira bagaimana?” Tanya si anak muda yang jadi pemandu kami.

“Oh, kalau di kampung kami itu namanya silariang pak. Hukumannya? Ya mati di ujung badik,” kata saya sambil tertawa.

Apa sih silariang itu? Baca di sini penjelasannya.

Begitulah, lain lubuk lain belalang. Lain daerah, lain juga kebiasaannya.

Desa Adat Sade, Teguh Memegang Adat.

Desa Adat Sade masih temasuk kawasan yang dihuni warga yang teguh memegang adat. Meski modernisasi sudah masuk (terlihat dari listrik dan alat-alat komunikasi yang mereka gunakan), tapi lingkungan asli orang Sasak masih terjaga.

Rumah-rumah masih berdiri dengan arsitektur tradisional, tiang dan dindingnya dari kayu, atap dari alang-alang dan kuda-kuda penyangganya masih dibuat tanpa menggunakan paku. Lantainya dari tanah liat yang dua minggu sekali dipel menggunakan kotoran kerbau. Kotoran kerbau ini fungsinya untuk mengendapkan debu dan menghalau binatang seperti nyamuk.

desa adat sade
Suasana Desa Adat Sade

Kami dipersilakan masuk ke salah satu rumah milik warga. Beberapa potongan gambar artis, baik artis dalam negeri maupun artis Korea terpampang di dinding. Nampaknya salah satu penghuni rumah itu adalah anak muda yang juga ikut tren kekinian. Bagian pintu depan dibuat sangat rendah sehingga orang harus membungkuk agar bisa masuk.

“Ini simbol, agar kita sebagai tamu membungkuk menghormati pemilik rumah,” kata pria yang mengantar kami. Atap rumah juga dibuat rendah, rasanya hanya beberapa jengkal di atas kepala saya.

Tidak banyak kamar dalam rumah tersebut, hanya ada beberapa sekat yang memisahkan area privat dan publik. Anggota keluarga tidur di lantai beralaskan kasur tipis atau tikar yang digelar di atas lantai tanah. Anak gadis tidur di bagian dalam, konon ini untuk mempersulit para perjaka yang ingin “menculik” mereka.

Dalam kawasan Desa Adat Sade ada beragam jenis rumah (bale). Ada bale tani atau rumah yang dipakai untuk tinggal sehari-hari, ada bale barugak yang digunakan sebagai tempat pertemuan atau tempat memusyawarahkan satu masalah atau persoalan. Kemudian untuk empat atau lima keluarga ada juga lumbung padi yang digunakan bersama-sama. Terakhir ada satu rumah kecil yang bernama bale kodong. Bale kodong ini berfungsi sebagai tempat sementara buat pasangan pengantin baru, semacam tempat berbulan madu begitulah.

Bentuk keteguhan lain dari para penghuni Desa Adat Sade adalah kemauan mereka menjaga tradisi menenun. Para perempuan desa itu diwajibkan untuk bisa menenun, tanpa kemampuan itu mereka tidak boleh menikah dulu. Tidak heran jika di sekujur desa, perempuan dengan mesin tenun tradisional atau hasil tenunnya bertebaran. Ada kain sarung, kain untuk baju, selendang hingga asesoris seperti gelang. Semua berwarna-warni, khas orang Sasak.

tenunan sasak
Tenunan khas orang Sasak

Sebagian tenunan itu masih menggunakan bahan-bahan asli dari alam. Mereka bahkan masih memintal sendiri benangnya, lalu menggunakan bahan seperti kunyit atau kulit pohon untuk mewarnainya. Namun tidak semua juga seperti itu, ada juga beberapa kain tenunan yang sudah menggunakan benang pabrikan.

Pria muda itu terus mengantarkan kami berkeliling Desa Adat Sade. Terus bercerita tentang kebiasaan dan keunikan desanya sambil sesekali memperkenalkan kami kepada para perempuan yang menenun. Kami juga tidak lupa membeli beberapa kain tenunan dari para perempuan penenun itu, sekadar buah tangan dari Desa Sade.

Di akhir tur keliling desa kami berhenti di masjid desa. Dhuhur baru saja lewat, kami memutuskan untuk sholat dulu sejenak sebelum meninggalkan desa. Saya menyelipkan selembar rupiah ke tangan si pemandu wisata yang memang tidak menetapkan tarif itu.

“Matur tampiasih,” kata saya. Dalam bahasa Sasak itu artinya, terima kasih.

“Pada-pada, pak” jawab si pemandu wisata yang lalu tersenyum meninggalkan kami.

Buat saya setidaknya ada 5 alasan untuk datang ke Lombok. Ini alasannya

Matahari masih sangat menyengat ketika akhirnya kami meninggalkan Desa Adat Sade menuju Pantai Kuta, Lombok. Mengagumkan juga bahwa di jaman milenium seperti sekarang masih ada sekelompok warga yang memegang teguh adat istiadat mereka dengan segala keunikannya. Mudah-mudahan saja mereka masih terus bertahan hingga ratusan tahun yang akan datang. [dG]