Jogja Memang Istimewa

Malioboro

Di sini waktu rasanya seperti berhenti ya? Semua seperti slow motion

Pesawat Sriwijaya Air yang saya tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Adi Sutjipto, Jogjakarta. Siang itu Jogja dipayungi awan mendung tipis, udara agak panas pertanda sebentar lagi hujan turun. Dari bandara kami dijemput teman-teman komunitas blogger Jogja dan dibawa ke Jl. Dagen, tepatnya di hotel Whiz tempat saya dan teman-teman akan menginap selama beberapa hari ke depan.

Ini entah untuk yang keberapa kalinya saya menginjakkan kaki di propinsi paling Selatan di pulau Jawa ini. Pertama kali menginjak Jogja sekitar tahun 2000, tapi kunjungan pertama ini tidak berbuah manis. Baru sekitar beberapa bulan kemudian saya kembali ke Jogja dan bisa menjelajah banyak tempat.
Sekitar tahun 2009-2010 berkali-kali saya kembali ke kota ini, dan makin sering mejelajahi banyak sudut kota. Saya yang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama, kemudian makin merasa cinta pada kota yang diperintah Sri Sultan Hamengkubuwono X ini.

Jogja selalu punya aura yang menyenangkan walaupun sudah makin ramai dibanding 12 tahun yang lalu. Sudut-sudut kotanya begitu khas, denyut nadi kota ini begitu membekas untuk mereka yang datang berkunjung. Sepulang dari sana, saya selalu merasa ada lambaian dari jauh yang memanggil saya untuk kembali ke Jogja.

Pendopo Dalem

Malam kedua di Jogja kami habiskan dengan makan malam ramai-ramai di Pendopo Dalem, Keraton Jogjakarta. Sebuah pendopo yang masih masuk dalam lingkungan keraton dengan arsitektur khas Jawa yang tetap dipertahankan. Makanan yang disajikan juga makanan khas Jawa, menu angkringan tepatnya. Saya mencoba berbagai menu, dari menu makanan berat sampai jajanan pasar yang sederhana tapi menggoda.

Malam berikutnya saya menghabiskan malam di sebuah angkringan di kota Gede bersama teman-teman Loenpia yang ada di Jogja. Menu yang sama dengan suasana berbeda. Kalau sebelumya menu angkringan berada dalam pendopo yang lebih nyaman, kali ini benar-benar berada di pinggir jalan yang sederhana. Duduk sambil lesehan.

Siluet Stasiun Tugu

Tapi selalu ada yang sama. Kehangatan, suasana akrab dan kesederhanaan. Jogja memang penuh dengan semua itu. Setiap sudutnya seperti gambaran tentang kesederhanaan dan kehangatan warganya.

Jogja adalah kota kedua yang saya cintai setelah Makassar. Jogja seperti juga Makassar selalu membuat saya ingin kembali. Kalau Makassar adalah kota tempat saya pulang, maka Jogja sepertinya jadi kota tempat saya datang.

” Di sini waktu rasanya seperti berhenti ya? Semua seperti slow motion ” Kata Ical, teman perjalanan saya kali ini. Ini pertama kalinya dia ke Jogja, dan saya tahu dia juga merasakan kenyamanan yang sama dengan yang saya rasakan 12 tahun yang lalu.

Jogja memang istimewa, dan saya selalu ingin kembali ke sana.

[dG]