Jalan-Jalan Ke Luar Negeri?
“Untuk apa liburan ke luar negeri? Negeri kita juga punya semuanya koq!”
Kalimat di atas dulu sering saya pakai, waktu itu saya memang berpikir untuk apa jalan-jalan ke luar negeri? Toh negeri kita juga punya semua keindahan yang ada di luar negeri itu. Kala itu saya mengucapkan kalimat di atas dengan penuh rasa bangga, seakan-akan saya orang paling nasionalis yang ada di negeri ini. Sekarang, saya menganggap kalimat itu sangat naif. Keluar hanya karena saya memang tidak punya kesempatan untuk jalan-jalan ke luar negeri dan lantas memoles kalimat di atas sebagai pengingkaran atas semua ketidakmampuan saya.
Sejujurnya, ke luar negeri pernah jadi impian saya waktu saya masih lebih muda dari sekarang. Mungkin sebagian besar orang Indonesia juga pernah punya mimpi yang sama. Jalan-jalan ke Eropa, Amerika atau negara-negara lain yang sudah kerap muncul dalam brosur wisata, tayangan di televisi atau di media cetak. Masalahnya, hanya sedikit dari orang-orang yang bermimpi itu yang bisa merasakan wujud dari mimpi indahnya plesiran ke luar negeri. Apalagi dulu kita belum mengenal kata backpacking, jalan-jalan ke luar negeri selalu dianggap sebagai aktifitas mahal.
Ketika kemudian backpacking jadi populer, orang-orang kemudian jadi bisa ke luar negeri, mendatangi negeri jauh tanpa harus merogoh kocek sangat dalam. Satu-dua orang teman-teman yang saya kenalpun mulai bisa menjejakkan kaki di negeri yang dulu saya impikan. Mungkin tanpa sadar saya mulai iri, mereka koq bisa? Saya koq tidak bisa? Mungkin semacam perasaan orang yang mimpinya direnggut.
Ketika mereka bisa mewujudkan mimpinya ke luar negeri saya masih diam di negeri sendiri. Bahkan mendatangi tempat-tempat eksotis di negeri sendiripun saya tidak bisa. Dan untuk menghibur diri sendiri saya mulai sinis, mengeluarkan pertanyaan kenapa harus ke luar negeri? Toh semua juga ada di negeri sendiri. Sayangnya karena meskipun ada di negeri sendiri saya juga buktinya belum bisa menikmatinya. Jadi anggaplah pernyataan dan pertanyaan itu sebagai pernyataan dan pertanyaan naif yang sebenarnya diliputi rasa sakit hati dan sedikit iri karena tidak bisa seperti itu.
Lalu sekarang saya sadar, ternyata pergi ke luar negeri juga ada banyak keuntungannya. Tidak peduli apa alasan orang untuk ke luar negeri, benar-benar hanya mau menghabiskan waktu dan uang, mau menikmati eksotisme alam dan pengalaman baru atau entah apa lagi alasannya. Alasan boleh beragam, hasil yang didapatpun bisa beragam. Dari yang merasa lebih percaya diri karena sudah pernah ke luar negeri sampai yang merasa mendapatkan pencerahan jiwa dan merasa lebih bersyukur hidup di Indonesia.
Saya hanya bisa mengutip beberapa kalimat dari kawan-kawan atau orang yang pernah berplesir ke luar negeri. Rata-rata dari mereka bilang kalau jalan-jalan ke luar negeri malah membuat mereka mencintai Indonesia dan punya niat untuk jadi orang yang lebih baik setelah melihat sendiri bagaimana perilaku hidup orang di luar negeri (utamanya negara yang lebih maju). Disiplin, tepat waktu, etos kerja dan semacamnya lantas jadi panutan bagi mereka. Sisanya mereka bersyukur karena di Indonesia mereka tidak harus hidup dalam aturan ketat yang mengikat, pun mereka masih bisa bersantai dan menikmati waktu seperti yang mereka mau. Itu belum termasuk cuaca hangat yang tak membuat kita tidak butuh jaket tebal.
*****
Dua tahun lalu saya dapat dua undangan ke luar negeri gratis, tepatnya ke Singapura dan Malaysia. Dua undangan itu saya tolak dengan halus, alasannya karena saya tidak punya passport dan undangannya mendadak. Sebenarnya itu cuma alasan karena aslinya saya memang tidak terlalu berminat datang ke dua negara itu, setidaknya sampai sekarang. Malaysia dan Singapura dua negara yang paling sering didatangi orang Indonesia, setidaknya oleh teman-teman dalam llingkaran saya, dan entah kenapa itu malah bikin saya (masih) malas ke sana, mungkin karena sudah terlalu biasa. Alasan yang bodoh memang.
Dulu saya pernah bilang kalau Tibet adalah negara yang paling ingin saya datangi. Itu gara-gara satu episode dari komik TinTin yang jadi salah satu episode TinTin favoritku. Lalu kemudian datang film 7 Years In Tibet yang makin membuat saya jatuh cinta pada negeri atap dunia itu.
Tapi itu dulu, sampai kemudian datang Afghanistan mengubah semuanya. Saya jatuh cinta pada negeri berselimut debu ini gara-gara buku Selimut Debu-nya Agustinus Wibowo. Dari buku itu saya jadi penasaran sama Afghanistan, penasaran pada negeri yang katanya akrab dengan kata perang dan kekerasan ini. Setahun yang lalu saya bertemu dengan warga Afghanistan yang datang belajar ke Indonesia, tepatnya di Makassar. Dari interaksi singkat itu saya malah jadi semakin jatuh cinta pada Afghanistan, makin ingin menjejakkan kaki di negeri itu. Bahkan dengan konyolnya saya berkata, saya hanya mau ke luar negeri dengan biaya sendiri kalau itu ke Afghanistan.
Begitulah, tiap orang punya pilihannya sendiri-sendiri. Mereka yang bisa ke luar negeri tentu tidak akan melewatkan kesempatan yang mereka punya, sementara yang belum punya kesempatan hanya bisa menunggu atau sambil menunggu sesekali mengeluarkan pernyataan yang sebenarnya berangkat dari rasa iri dan sakit hati. Atau mungkin juga tidak, karena ada juga orang yang benar-benar tak punya niat untuk plesir ke luar negeri.
Kalau kalian bagaimana? Ingin plesir ke luar negeri juga? [dG]
Tentu mau daeng. Luar negeri ibarat dunia baru, ingin melihat suasana dan atmosfer berbeda dari Indonesia, tempat berpijak saat ini.
moga bisa bersilaturrahmi sama daeng
http://www.hardyzhu.blogspot.com
terima kasih sudah mampir 🙂
Saya ingin punya kesempatan agar dapat plesir ke luar negeri, menyaksikan, merasakan keadaan di negara lain secara langsung, Tapi apalah daya sebagai pendidik anak-anak bangsa aku memiliki waktu begitu terbatas. Mungkinkah daku punya kesempatan di lain waktu 😀
Jangan berkecil hati, kalau kita sudah berencana Insya Allah semesta akan mendukung!
Iya, saya mau juga, tapi butuh persiapan untuk itu…sambil mempersiapkan diri, ada baiknya waktu penantian itu saya isi dengan menjelajahi daerah disekitar saya terlebih dahulu *jawab dengan serius bedeng* 😀
dan saya belum sempat-sempat ke NTT dan NTB…duh!
*jawab serius juga* hahaha
Makin jauh berpetualang dari Indonesia, maka akan makin sayang dan cinta kepada Indonesia karena ternyata suhu ternyaman hanya ada di negara kita 🙂
nah, kalau kakak Syamsul mi yang ngomong saya tinggal mengiyakan saja
hihihi
Sy berobsesi membawa anak istri tuk ke India, berfoto bersama dpn monumental lambang keabadian cinta Taj mahal. Kedengarannya sieh alay, tapi itulah obsesi. Pengen jg merasakan dinginnya rumah Iglo di Eskimo, mancing salmon di new zealand atau sekedar bersepeda kumbang menyusuri kota kuno di Inggris raya seperti alur dalam komik favorit kanak kanak ku 5 sekawan karangan enid blyton. Mgkin kedengaran mustahil tapi who Knows? … Yg pasti skg masih nabung pengen berhaji plus sambil mengunjungi mesjidil Aqsa di Yerusalem. Safari spiritual sepertinya lbh baik… Amin.
Saya hanya bisa mengaminkan…
semoga semua harapan kita jadi kenyataan
Pergilah ke luar negeri, maka kau akan mengenali negerimu sendiri. Sok iyes aja, etapi emang beneran, pas udah di luar negeri, kita bisa melihat Indonesia lebih “dekat” Karena saat itu kita tak berada di dalamnya.
Kalau ada kesempatan, gunakan saja bang. Betul, jangan mengingkari dengan selubung “ah kita harus mengenal negeri kita”. Betul, memang negeri kita wajib dijelajahi, tetapi ke luar negeri juga equally membuka mata kita lebih lebar karena keluar dari batasan bahasa dan budaya. Bila bertandang ke bagian lain negara kita menerbitkan rasa bangga sebagai warga Indonesia, berkunjung ke negara lain juga bisa menerbitkan rasa bangga sebagai warga dunia PLUS yang dikatakan diatas: makin bangga terhadap identitas Indonesia kita.
Kalau saya terus terang homesick gan, susah sekali ninggalin kampung halaman mangkanya gak ada niat untuk plesiran ke luar negeri paling mungkin nanti kalau dapat rezeki bisa naik haji ke luar negerinya. 😀