Bertemu Jalan Putus di Mamuju
Bertemu kembali dengan jalan yang buruk dan bahkan terputus karena longsor.
Matahari mulai bangun. Sinarnya perlahan menyirami sekujur bumi Sulawesi Barat. Saya, Yuyun dan Atta-supir kami, terlontar-lontar di atas sebuah mobil Toyota Avanza. Sesekali badan kami terlontar ke atas, lalu ke kiri, lalu ke kanan. Sungguh bukan gambaran ideal sebuah perjalanan.
Hampir satu jam sudah kami meninggalkan aspal mulus yang rata, berbelok masuk ke jalan desa yang sudah lupa kapan terakhir kali bertemu aspal. Sisa-sisanya masih terlihat, tapi mulai hilang seperti bayangan tentang masa kelam jaman Orde Baru. Hingga kemudian yang tersisa adalah lubang-lubang berisi air sisa hujan semalam. Lubang itu adalah saksi mata putusnya hubungan jalan tanah itu dengan aspal, entah berapa belas tahun yang lalu.
Pagi itu kami hendak ke Kecamatan Kalumpang, sebuah daerah di utara kota Mamuju, Sulawesi Barat. Kecamatan itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota Mamuju, mungkin hanya sekira 60 km. Tapi, jarak itu menjadi menyiksa karena jalan yang berat dan sama sekali tidak ramah. Sebagai pembuka, 20 km pertama adalah jalanan beraspal mulus yang berkelok-kelok, naik-turun di punggung bukit. Sisanya yang kurang lebih 40 km, kita hanya akan berjumpa dengan jalan tanah berlubang yang di musim hujan akan menjadi licin dan berair. Jangan lupa juga 21 sungai kecil yang harus dilewati tanpa bantuan jembatan. Iya, 21! Kalian tidak salah baca. Ketika hujan semakin deras, sungai itu berubah menjadi lebih liar, lalu memaksa pelintas untuk menunggu dia jinak kembali. Kadang berjam-jam, kadang pula hingga harus melewati malam.
Cerita lain tentang perjalanan ke Kalumpang bisa dibaca di sini.
Bertiga kami meninggalkan kota Mamuju pukul 4:30 dini hari. Bayangan kami, perjalanan akan memakan waktu empat jam sehingga kami bisa tiba sekira pukul sembilan pagi di Kalumpang. Setelah kegiatan berakhir, kami akan kembali ke Mamuju siang hari. Hujan yang turun dengan derasnya di tengah malam sempat membuat kami kuatir. Tapi tugas adalah tugas, kita harus tetap berangkat!
*****
Matahari sudah benar-benar bangun ketika Atta menginjak rem dalam-dalam. Jalanan agak menurun dengan kondisi yang licin. Di depan kami sebuah pohon melintang dari kanan jalan yang menempel ke perbukitan. Pohon itu agak menungging, satu sisinya bertumpu ke lereng bukit yang gundul, sisi lainnya rebah di jalan. Sepertinya pohon itu sisa longsoran bukit yang ada di sebelah kanan jalan. Buktinya, ada alur tanah yang tergurat dari atas bukit hingga ke jalan dengan pohon itu sebagai penggarisnya.
Tepat di ujung pohon itu tanah berlumpur bertemu dengan gundukan tanah yang memisahkan jalan dan jurang. Jaraknya tidak sampai dua meter, dari ujung pohon dan tepian gundukan. Sama sekali menutup kemungkinan buat sebuah mobil untuk melintas.
“Barupi tadi malam kayaknya pak,” kata seorang anak berseragam SMP yang saya tanya tentang pohon dan longsoran itu. “Kemarin sore ndak ada pi,” sambungnya.
Pria berseragam SMP itu hendak ke sekolah yang ada di seberang longsoran. Dia berkaos biru muda dengan celana biru tua seragam SMP. Kakinya telanjang, tidak terbungkus sepatu atau sandal. Dengan sangat berhati-hati dia naik ke gundukan yang ada di kiri jalan, meneruskan perjalanan agar sampai ke sekolahnya di seberang sana.
Tak berapa lama dua motor datang dari arah belakang kami. Di atasnya ada dua pasang laki-laki dan perempuan muda. Berempat mereka datang dari arah yang sama dengan kami, mereka hendak kembali ke Kalumpang. Melihat kondisi jalan yang tertutup pohon dan tanah berlumpur, mereka berhenti sejenak, berbincang dalam bahasa lokal sebelum salah satu motor itu maju, siap untuk melintasi jalanan yang terputus. Penumpangnya turun dan berjalan kaki.
Motor pertama adalah Yamaha Vega. Tanpa kesulitan berarti pengemudinya berhasil melintasi jalanan yang terputus meski ban motornya harus berkalang lumpur. Penumpangnya yang seorang perempuan muda berjalan berjinjit di antara lumpur, naik ke gundukan yang tanahnya lebih keras lalu berhenti di sana menunggui motor yang satu lagi yang akan menyeberang.
Motor yang satu ini menyeberang dengan payah. Jenisnya Yamaha Mio dengan plat yang masih putih menandakan dia motor baru. Yamaha Mio yang adalah motor matic tentu bukan motor yang pas untuk medan yang seperti itu. Motor itu meraung-raung di tengah kubangan lumpur, bannya berputar tapi tak ada gerakan maju sedikitpun. Bau hangus tercium di udara. Motor itu baru bisa lepas dari kubangan ketika pengendara motor yang satu membantu. Dengan kakinya dia mendorong motor Yamaha Mio sekuat tenaga hingga motor itu lepas dari kubangan lumpur. Dia sendiri tidak peduli, setengah dari kakinya yang berbungkus sepatu itu tenggelam di lumpur. Warna hitam sepatunya tertutupi warna cokelat kekuningan dari tanah berlumpur.
“Ya sudah, kita balik ke Mamuju,” akhirnya kami mengambil kesimpulan setelah melihat perjuangan dua motor itu menyeberangi jalanan yang terputus.
Dengan mobil Avanza, rasanya bodoh sekali jika memaksa untuk melintasi jalan itu. Sebelah kanan pohon, sebelah kiri gundukan tanah yang di sebelahnya adalah jurang. Bahkan mobil 4WD sekalipun rasanya akan sulit untuk menembusnya.
Akhirnya kami berbalik, kembali ke Mamuju dan menukar rencana hari itu dengan rencana lain. Kalumpang terpaksa kami lupakan, pohon yang rebah ke jalan dan lumpur yang dalam menghalangi kami ke desa yang eksotis itu.
*****
Kami beruntung, bisa kembali ke “dunia nyata” dengan mudahnya. Tinggal berputar, menyusuri jalan yang tadi kami susuri dan beberapa jam kemudian sudah bertemu dengan aspal dan kehidupan modern. Tapi, bagaimana dengan warga Kalumpang? Mereka tidak bisa segampang itu berputar dan meninggalkan jalan yang terputus akibat longsor dan hujan. Mereka harus menembusnya, dengan jalan apapun, dengan risiko apapun. Kalau tak bisa juga, maka mereka harus menunggu sampai jalan bisa dilewati kembali. Satu jam, dua jam, tiga jam, bahkan mungkin sehari semalam. Sampai jalan bisa dilewati kembali.
Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, sebentar lagi akan masuk ke usia 72 tahun. Tapi, masih banyak juga jalan di Indonesia yang belum bertemu dengan yang namanya aspal, atau sudah lupa kapan terakhir bertemu aspal. Entah sampai kapan, mungkin sampai usia Indonesia yang keseratus tahun? Atau jangan-jangan lebih dari itu?
Selama masa itu belum datang, warga hanya bisa pasrah dan menjalani hidup apa adanya. Dengan semua risiko dan tantangan yang tak ringan. [dG]
Vlog tentang jalan rusak itu di Mamuju: