Beragam Kisah Para Supir

Ini kejadian waktu ke Kalumpang
Ini kejadian waktu ke Kalumpang

Selama dua tahun ini saya banyak bertemu dengan bapak-bapak supir. Pertemuan dengan mereka justru membuat cerita sendiri bagi saya.

“Pak Syaiful lulusan pertanian?” Tanya bapak itu. Dia supir yang mengantar saya selama tugas di Jambi.

“Bukan pak. Saya malah dulunya kuliah komputer,” jawab saya.

“Eh iya ya. Dulu sudah pernah cerita,” empat bulan sebelumnya ketika pertama kali ke Jambi, kami memang sudah pernah bertemu.

Kami sama-sama diam, saya kembali sibuk dengan smartphone dan dia sepertinya kembali fokus ke tugas utamanya mengendali mobil supaya baik jalannya. Hingga kemudian beberapa detik setelahnya, dia berucap:

“Pacar saya itu lulusan pertanian pak,”

Okey, here we go!” Kata saya dalam hati.

Sejak pertama berangkat, pak supir berinisial A itu sudah mulai mencoba mencurahkan hati dan perasaannya. Iya, dia senang sekali curhat. Empat bulan sebelumnya ketika kami pertama bertemu dia sudah curhat tentang rumah tangganya yang sudah di ujung tanduk dan siap-siap berakhir. Lalu sekarang nampaknya dia hendak curhat soal percintaannya. Awalnya saya berusaha menghindar, tapi akhirnya saya terpojok dan mau tak mau menanggapinya.

“Oh ya?” Awalnya saya bingung harus menanggapi bagaimana. Hanya kalimat itu yang keluar, sekadar sebagai tanda kalau saya antusias dan mau mendengarkan curhatannya.

Dan selebihnya adalah sejarah. Dia mulai bercerita tentang kisah cintanya dengan seorang wanita muda yang terpaut usia dua puluhan tahun dengannya. Keluarga si wanita muda itu menentang keras cinta mereka. Alasannya, si wanita masih terlalu muda dibanding dirinya, plus dia seorang sarjana sementara si bapak “hanya” seorang supir. Alasan lainnya tentu saja adalah karena status si bapak yang seorang duda.

“Saya sudah bilang ke pacar saya; sudahlah dek, kita putus saja. Kamu cari saja laki-laki lain yang sederajat dengan kamu. Tapi, pacar saya tidak mau pak, dia malah bilang; tak mau aku bang, aku maunya sama abang saja. Kalau abang mau bawa aku lari, aku mau saja bang. Itulah pak, pusing saya,” kata si bapak sambil terus menjalankan mobil.

Lalu, apa yang saya lakukan? Apa lagi kalau bukan pura-pura antusias sambil sesekali memberikan saran yang sebenarnya sekadar formalitas. Dalam hati saya terus bergumam; duh, sampai kapan derita ini akan menimpa saya ya Allah?

Bukan apa-apa, saya orang yang tidak cocok dijadikan tempat curhat. Dari dulu saya tidak terbiasa mendengarkan curhat orang, apalagi orang yang tidak terlalu akrab. Teman-teman saya dulu lebih sering mencari orang lain untuk curhat daripada ke saya, alasannya karena saran saya biasanya malah menyesatkan.

Dan, hari itu curhatan pak supir berakhir begitu saja. Saya tidak bisa memberi saran yang masuk akal meski dia terus meminta.

*****

Pak A, supir yang mengantar saya di Jambi memang jadi supir paling unik yang pernah saya temui. Selama dua tahun belakangan ini kebetulan kerjaan saya mengharuskan saya mengunjungi banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang, termasuk supir yang mengantar selama perjalanan.

Beberapa supir memberi kesan tersendiri. Terakhir ke Jambi di akhir bulan Agustus yang lalu, supir yang mengantar kami sangat antusias menunjukkan beberapa tempat di kota Jambi, termasuk sebuah jembatan panjang yang menghubungkan kota Jambi dengan kabupaten Tanjung Jabung Timur.

“Kita ke sana dulu ya, mumpung bapak ada di Jambi. Tidak tahu kan kapan bisa ke sini lagi?” Katanya. Lalu diantarnya kami ke jembatan itu. Jembatan yang ternyata sudah pernah kami lihat.

Si bapak juga dengan senang hati menghentikan kendaraannya dan menawarkan kami berfoto.

Satu hal lagi yang berkesan dari si bapak adalah kebiasaannya merokok yang sangat kuat. Ketika hendak naik ke atas mobil, Afdhal-teman seperjalanan-memintanya untuk mematikan rokok.

“Tidak apa-apa bu, nanti jendelanya dibuka saja,” si bapak supir mencoba bertahan.

“Tidak pak, saya asma. Kalau ada asap rokok bisa-bisa saya pingsan,” kata Afdhal juga mencoba bertahan.

Akhirnya si bapak mengalah, mematikan rokok, masuk ke mobil, menaikkan kaca dan mulai bersungut-sungut.

“Wah, gawat ini. Gawat ini!” Katanya sambil terus bersungut-sungut.

Saya geli dalam hati, membayangkan bagaimana tersiksanya dia dalam perjalanan 6 jam dari kota Jambi ke Merangin. Tak urung selama perjalanan, setiap ada kesempatan berhenti dia langsung menyulut rokoknya dan mengisapnya selagi bisa.

“Sehari saya bisa habis tiga bungkus,” katanya. Hadeh! Pantas saja dia bersungut-sungut ketika diminta untuk tidak merokok selama perjalanan.

*****

Supir lain yang juga berkesan buat saya adalah seorang supir yang mengantar saya di Jayapura tahun 2014. Beliau orang Sulawesi Selatan, tepatnya orang Enrekang yang merantau ke Jayapura. Meski sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, rupanya kami tidak bisa langsung akrab. Sepanjang jalan saya mencoba berinteraksi dengan dia, tapi jawabannya selalu pendek-pendek dan terkesan acuh tak acuh.

“Ini ya Danau Sentani?”

“Iya pak,”

“Dari sini ke kota Jayapura masih jauh?”

“Iya pak,”

“Jayapura masih sering hujan pak?”

“Tidak pak,”

Dan selesai sudah. Walhasil, selama perjalanan kami lebih banyak diam. Dia sibuk mengendalikan mobil, saya sibuk menengok smartphone atau sesekali menikmati pemandangan. Entah karena memang si bapak memang pendiam atau dia malas berinteraksi.

Supir berbeda saya temui di Bali dan Lombok. Mereka adalah supir-supir yang rajin sekali bercerita, bertanya dan memberi informasi. Apa saja, baik dari alam, budaya, sejarah dan banyak lagi. Singkatnya mereka bisa jadi local guide yang menyenangkan. Sayangnya, bapak supir yang saya temui di Bali pada akhirnya mengeluarkan kalimat yang langsung membuat saya ilfill.

“Saya punya tamu orang Makassar juga pak. Pak Jamal namanya. Wah dia orangnya baik sekali, kalau selesai saya antar kemana-mana dia pasti ngasih amplop tip yang besar,” katanya.

Saya langsung paham maksudnya. Hilang sudah kesan yang ditanamkannya selama beberapa puluh menit sebelumnya. Setelah itu saya lalu menjaga jarak, takut dimintai amplop tip yang sama seperti yang diberikan pak Jamal.

Sementara itu bapak supir yang mengantar saya saat terakhir ke Lombok bulan Juli kemarin sangat antusias menerangkan banyak hal. Sepertinya dia punya wawasan luas juga tentang sejarah dan budaya Lombok. Mungkin memang sehari-harinya dia terbiasa mengantar wisatawan sehingga dia begitu lancar bercerita banyak hal tentang Lombok.

Enaknya lagi karena si bapak tidak mengakhiri ceritanya dengan cerita pelanggannya yang lain yang rajin memberi tip.

Oh iya, saat ke Mamuju beberapa hari yang lalu kami bertemu dengan satu supir yang menurut saya unik. Uniknya karena meski dia berasal dari Kecamatan Kalumpang yang jauh dari kota Mamuju, Sulawesi Barat, dia kukuh menggunakan logat Jawa. Logat Jawa yang saya maksud itu seperti menggunakan kata sih, koq, nggak, dan semacamnya. Logat yang tentu saja aneh buat kami orang Sulawesi.

Nggak koq, ini jalannya emang udah lama kayak gini,”

Dalam hati saya bergumam; ngapa moe, sama-sama jaki kapang orang Sulawesi. Meski kami (saya dan Afdhal) sudah terus bercakap-cakap dalam logat Sulawesi untuk menunjukkan kalau kami bukan orang dari seberang, dia tetap saja kukuh dengan logat Jawanya. Sampai akhirnya saya menyerah, mencoba berdamai dengan kekukuhannya meski agak jengah juga.

Ah saya hampir lupa pada supir yang mengantar kami selama di Malinau. Pak Jeremiah namanya. Supir bertubuh gemuk pendek ini sangat loyal dan perhatian pada penumpangnya. Ketika menuju desa Setarap yang medannya luar biasa berat, dia santai saja meski sebenarnya Avanza miliknya tidak layak dipakai menembus medan berat itu.

Saat bertemu jembatan kayu gelondongan yang rapuh dia malah meminta kami penumpangnya untuk turun. Alasannya, dia takut mobilnya terbalik dan supaya kami aman, biar kami jalan kaki saja melewati jembatan. Syukurlah, kami akhirnya bisa sampai di Desa Setarap dengan selamat. Tapi kesan yang ditinggalkan pak Jeremiah sungguh membuat saya terharu. Dia begitu perhatian pada kami para penumpangnya. Dia pun tetap tenang meski jalanan begitu buruk dan mungkin saja merusak mobilnya.

*****

Bertemu dengan banyak orang adalah salah satu bagian yang paling saya nikmati dari pekerjaan ini. Rasanya menyenangkan bertemu dengan berbagai karakter manusia yang memberi kesan tersendiri. Ada yang mengesalkan tapi tak sedikit juga yang memberi kesenangan tersendiri. Salah satunya ya para supir yang mengantar saya selama perjalanan tugas.

Mereka adalah juga manusia, punya perasaan dan punya keinginan. Sebagian dari mereka memang tak bisa mengontrol perasaannya hingga kemudian terjerumus untuk curhat bahkan pada saya yang baru dikenalnya. Sebagian lagi sungguh sulit untuk bahkan sekadar diajak bercerita.

Itulah menariknya manusia. Karakter yang beda-beda justru membuat hidup kita semakin kaya. Bukan begitu? [dG]